Fifth Attempt

802 149 7
                                    

Fifth Attempt 


Daisy separuh berharap, Giras akan memanggilnya untuk berhenti ketika Daisy melintasi halaman samping. Sialnya, cowok itu masih ada di sana. Duduk-duduk menikmati pemandangan asri di sekitar halaman, berjongkok di depan kolam ikan.

Tujuan Daisy ke kamar untuk mengecek ponsel ternyata ada gunanya juga. Segera setelah membuka chat, sebuah pesan masuk dari Dinda mengenai tawaran menulis di platform. Di situ malah tertera nama dan nomor Whatsapp editor yang bisa membantunya mengarahkan proses perjalanan naskah. Berhubung selama ini Daisy tidak pernah membaca-baca perihal ketentuan naskah di platform kepenulisan online, dia butuh waktu cukup lama untuk memahami ketentuan yang ada.

Hmm, kalau dilihat-lihat sih, cukup menggiurkan.

Setidaknya sampai Daisy membaca persyaratan untuk bisa mendapatkan penghasilan.

Ya ampun. Seratus ribu kata sebulan?

Lupakan soal gaji yang menggiurkan.

Dia bisa mati berdiri demi menulis seratus ribu kata sebulan. Otaknya tidak akan mampu

Oke. Sebenarnya, Dinda tidak hanya mengirimkan naskah ke satu platform saja. Dia juga mengirimkan alamat e-mail pengiriman naskah di platform berbeda, Lisnulis. Tapi katanya, di situ sedikit lebih lama prosesnya dan besaran uang yang didapatkan juga tidak sebesar di platform yang pertama. Penghasilan sangat dipengaruhi oleh jumlah dukungan pembaca.

Masalahnya ada di sini.

Daisy bukan pengguna media social aktif. Jadi, dia tidak yakin dan tidak tahu bagaimana cara menarik pembaca untuk membaca tulisannya di platform. Penjualan sepenuhnya bergantung dari begitu gencar penerbit mempromosikan buku-bukunya. Penerbit pernah menyarankan Daisy untuk membuka akun Instagram sebagai media promosi. Tetapi akun itu tidak begitu aktif karena Daisy memang jarang memosting sesuatu di sana. Padahal salah satu strategi jualan adalah dengan memanfaatkan media social pribadi. Daisy merasa tidak memiliki hal menarik untuk diposting. Dia tidak suka selfie. Dia tidak cukup kreatif untuk membuat akun TokTik yang sekarang tengah booming.

Daisy pun menyadari seberapa malas dirinya untuk hal yang orang sebut sebagai self branding.

Dinda : jd gimana?

Daisy : belum tau

Dinda : Jgn kelamaan mikir. Sekarang, antrian di editor lagi panjang banget. Naskah masuk bulan ini, baru bisa diproses tiga bulan lagi.

Daisy : serius?

Dinda : seriuslah. Sambil nungguin naskah di ACC, kamu bisa nulis naskahnya. Buat aja dulu sinopsis, tiga bab pertama, sama ngisi identitas.

Daisy : Oke. Oke. Nanti ya aku lihat-lihat dulu.

Iya. Lihat-lihat aja dulu. Ntar juga didiemin. Nggak diapa-apain.

Daisy membuang napas frustrasi.

Kenapa sih dia bisa jadi sepasif dan semalas ini?

Padahal Daisy cukup yakin kalau sebenarnya dia punya potensi. Tapi potensi tanpa eksekusi hanya akan berakhir menjadi sebuah hal sia-sia. Ketika dia masih terus berpikir-pikir dan lihat-lihat dulu, mungkin saat itu, Dinda serta ratusan penulis lain sudah menghasilkan puluhan bahkan ratusan juta rupiah.

Memang tidak ada kata terlambat dalam berkarya. Tapi menjadi cekatan, sudah pasti akan mendatangkan hasil yang lebih cepat.

Hh, nggak ada pilihan lain.

Setelah mengakhiri obrolan di Whatsapp, Daisy beralih membuka laptop.

Hmm, mau melakukan apa sekarang?

Let's Settle DownWhere stories live. Discover now