Twelfth Planting

627 135 7
                                    


Twelfth Planting


Daisy menunjukkan sinopsis dan prolog yang telah dibuat untuk dikoreksi Dinda. Selesai membacanya, menurut Dinda tidak ada masalah.

"Kenapa sifat karakternya seperti agak mirip lo ya, Day?" Dinda mengetik di laptopnya sambil sesekali melihat Daisy.

"Nggak sepenuhnya. Masa sih, Din?" Daisy malah jadi berusaha meyakinkan dirinya kalau karakter tokoh utama perempuan yang dia tulis, bukanlah terinspirasi darinya. "Ini sebenarnya naskah yang pernah mau gue ajuin ke Mbak Reski. Tapi gue yakin Mbak Reski nggak bakal suka." Daisy menghela napas. Lalu dia menjelaskan jika Mbak Reski tidak menyukai karakter perempuan yang menye-menye. Ditambah lagi tokoh laki-lakinya playboy. Tapi Daisy merasa cerita itu masih bisa dia kembangkan. Jadinya, dia melirik lagi sinopsis yang nyaris terbuang kemudian meraciknya kembali. Dia tidak peduli Mbak Reski akan menyukai naskah itu atau tidak, karena naskah itu akan dibawa ke platform.

"Oh gitu. Bagus deh. Daripada lo bikin karakter baru lagi, mendingan ngambil yang lama. Tinggal dipoles-poles aja. Gue nih, sejak platform ini di gue, duitnya kenceng, gue ambilin dah semua naskah-naskah lama gue. Nggak gue post langsung dong, tapi gue rombak! Lumayan bikin puyeng sih karena naskahnya dari jaman di mana gue belum begitu paham sama tata bahasa. Ya, tapi lo taulah, wangi duitnya kenceng banget, jadi gue hajar aja, asal bisa jadi duit!" Dinda tergelak sendiri menyadari sikap ambisiusnya. Menurut Daisy malah, bukan ambisius. Tapi mengerjakan penuh optimisme. Dia malah senang melihat semangat Dinda yang sedikit menular kepadanya.

"Doain gue bisa sukses seperti lo ya, Din?"

"Aamiin. Pasti gue doain. Asal lo selalu semangat." Dinda melepas kacamatanya kemudian bangkit dari duduk. "Eh, gue mau sekalian ambil minum sama cemilan. Lo mau minum apa?" tanya Dinda sembari membuka kulkas mini yang tersedia di dalam kamar.

"Apa aja deh yang ada di situ."

Dinda mengambil dua botol minuman teh rasa buah, berikut sebungkus besar keripik kentang dan sebungkus kecil kuaci. Mereka jeda mengerjakan naskah, dan memilih bersantai menikmati cemilan.

Tiba-tiba ponsel Daisy berdering.

"Halo Tante."

Ternyata Tante Elis.

"Maaf baru ngabarin kamu. Tante mau bilang, mulai besok pagi, kamu bisa mulai kerja di toko. Kamu udah bilang mau kan?"

"Iya, Tan. Boleh." Daisy menjawab dengan cepat. Dia tentunya senang bisa bekerja di toko, apalagi dia juga sedang tidak begitu sibuk beberapa hari ini. Soal naskah, akan dia kerjakan sepulang kerja. Atau kapan saja ketika ada waktu. Pokoknya sesantainya saja.

"Kamu lagi di luar rumah ya?"

"Iya, ini lagi di rumah temen."

"Ooo, Tante kira kamu lagi di rumah."

Daisy melirik Dinda setelah telepon ditutup. Kata Tante Elis, pulang nanti, kalau sempat mampir di toko. Daisy mengiyakan saja karena sekitar setengah jam lagi dia pulang dan akan langsung mengambil taksi menuju ke toko. Dinda bilang ingin mengantarnya, tapi Daisy menolak.

***

"Tante bilang nggak begitu sibuk." Daisy menyesali keputusannya berlama-lama nongkrong di rumah Dinda ketika toko sedang kelimpungan karena salah satu pegawai mendadak cuti sakit.

"Tadi memang nggak begitu sibuk. Tapi tiba-tiba aja ada pesanan mendadak."

Daisy tersenyum tipis, kemudian kembali bekerja membentuk karton menjadi kotak kue. Siang itu ada pesanan dadakan dari sebuah kantor pemerintah. Katanya untuk konsumsi rapat dengan jumlah pesanan sebanyak 200 kotak. Jumlah pesanan sebanyak itu sebagian sudah besar sudah selesai dikemas. Kini hanya tersisa sekitar dua puluhan kotak lagi yang masih harus diisi. Mereka sudah bisa duduk santai.

Let's Settle DownWhere stories live. Discover now