Eighth Attempt

718 130 11
                                    

Akhirnya bisa update lagi

Kemarin udah janji mau rajin update ternyata malah jadi males2an 



Eighth Attempt

Giras memarkirkan motor matic di area yang lengang serta menjauh dari tengah jalan. Orang-orang memarkirkan kendaraan dengan tertib, meski tidak ada tanda rambu lalu lintas. Sepagi itu, ketika matahari mulai merangkak naik, kompleks sudah ramai dengan aktivitas warga yang berolahraga, mulai jogging, bersepeda, hingga sepatu roda. Beberapa warga berpakaian santai dengan alas kaki sandal, sama seperti dirinya, yang sepertinya lebih berminat mencari sarapan ketimbang berolahraga.

Di rumah Om Irwan tersedia sebuah ruang kecil berisi peralatan gym seperti treadmill dan sepeda statis. Tapi semenjak tinggal di sana, dia belum pernah mencoba memakainya. Rutinitas olahraga belum lagi disentuhnya karena hingga hari ketiga, dia lebih senang menghabiskan waktu dengan tidur. Berminggu-minggu mengurus kepindahan ke Jakarta lumayan menguras waktu dan energi. Dia hanya melampiaskan jam-jam istirahat yang terabaikan dengan tidur ketika dia mendapat kesempatan.

Pagi itu, Giras terbangun oleh bunyi alarm ponsel yang dia sendiri juga heran, kapan menyetelnya. Mungkin dia tengah berhalusinasi bahwa dia harus bangun pagi dan mencari sarapan di luar. Kenyataannya, dia memang terbangun dengan perut perih karena lapar. Otaknya pasti terkuras banyak semalam karena berpikir.

Tante Elis tengah berada di teras, di antara bunga-bunga kesayangannya. Dimana-mana, perempuan seumur mama dan Tante Elis punya kegemaran serupa. Bertanam bunga. Atau bertanam tanaman hias. Mama pernah menjelaskan bahwa tidak semua tanaman hias adalah tanaman bunga, begitupun sebaliknya. Sementara menurut Giras, tetanaman yang ditanam sebagai hiasan, juga tidak salah dikatakan tanaman bunga. Karena penamaan bunga terdengar lebih simpel ketimbang tanaman hias. Bukannya mama juga kerap mengatakan hendak membeli bunga, sementara yang dibawanya pulang adalah tetanaman seperti Monstera dan sirih Belanda? Jadi, Giras merasa, dia juga tidak salah-salah amat.

"Udah bangun, Ras?" tanya Tante Elis saat Giras menyapanya di teras.

"Tumben ya, Tan?"

Tante Elis mengangguk. "Padahal semalam kamu tidur larut ya?"

"Mungkin karena kemarin-kemarin udah bosen tidur terus, Tan." Giras menoleh ke arah jalanan saat dua orang yang berpakaian olahraga sedang berlari tergesa-gesa, seolah khawatir dikejar matahari yang semakin menanjak. Butuh niat untuk bangun berolahraga, sementara kasur lebih menggoda untuk ditiduri. Apalagi sambil menyetel musik pengantar tidur.

"Kamu mau sarapan apa? Mau nasi goreng?"

"Di kompleks ada yang jualan sarapan nggak, Tan? Ntar aku jalan aja nyari. Sekalian lihat-lihat kompleks."

"Lumayan banyak. Dekat-dekat sini ada yang jualan nasi uduk sama lontong sayur. Tinggal belok kiri aja sekali, ada kios kecil. Ada juga yang jualan bubur ayam, tapi agak jauh dari sini. Kalau nggak mau jalan kaki, kamu bisa naik motor. Ada di garasi tuh."

Semuanya terdengar enak dan membangkitkan nafsu makan. Nasi uduk, lontong sayur dan bubur ayam adalah trio menu sarapan yang kerap dinikmati di pagi hari. Sangat khas Jakarta. Berbeda sewaktu di Surabaya, di mana nasi pecel dan lontong balap menjadi menu sarapan yang banyak tersedia di mana-mana, mulai dari pikulan sampai gerobakan.

"Enak semuanya, Tan. Tapi sepertinya, aku mau nyobain bubur ayam."

"Wah kalau itu, mesti ke taman. Mang Tarjo jualan di situ setiap pagi." Tante Elis menyemprotkan air ke permukaan daun. Telaten sekali. Mungkin seekor lalat pun akan tergelincir di atas permukaan daun yang kini nampak super glowing seperti kulit model iklan skincare.

Let's Settle DownWhere stories live. Discover now