Eleventh Planting

666 128 3
                                    



Eleventh Planting


Nenek Ami terlihat menikmati waktunya berada di panti.

Daisy sudah mendapatkan apa yang dia harapkan hari itu. Bisa dibilang, hanya butuh sedikit finishing lagi sebelum benar-benar mengirimkannya ke mbak Reski. Sementara, prolog untuk tulisan di platform juga sudah mendapat sekitar 500 kata. Untuk ukuran prolog, rasanya itu sudah cukup.

Dengan menyandang tas ransel, Daisy menghampiri nenek Ami. Hari semakin beranjak sore. Sudah waktunya pulang.

"Ayo, Nek. Sudah jam setengah lima." Dua orang nenek, memutar pandangan ke arah Daisy, seolah kedatangannya baru saja merusak kesenangan mereka mengobrol.

Nenek Ami memalingkan kepala sejenak kepada Daisy. "Kamu udah mau pulang?"

"Iya. Pulang sama Nenek juga dong." Daisy tersenyum.

Raut wajah Nenek Ami menunjukkan keinginan untuk tetap tinggal di sana.

Tapi tekad Daisy sudah bulat. Nenek harus pergi dan pulang bersamanya.

"Bisa nambah waktu setengah jam lagi?" Nada suara Nenek Ami terdengar memelas.

Daisy menurunkan ransel dari bahu. Mungkin ini alasan mengapa mama sangat jarang mengantar nenek ke panti. Mama tidak begitu suka membujuk nenek sementara yang Daisy tahu, membujuk manula tidak semudah membujuk anak kecil yang tinggal diimingi es krim atau permen. Relatif juga sih sebenarnya. Karena kenyataannya, ada juga tipe anak-anak yang sulit dijinakkan bahkan oleh orangtua sendiri.

"Kalau telat pulang, nanti Nenek udah kesorean mandinya." Daisy tidak mungkin beralasan mereka bisa kemalaman sampai di rumah karena jarak antara panti dan rumah juga tidak begitu jauh. Hanya butuh paling lama sepuluh menit untuk sampai.

"Nenek nggak apa-apa nggak mandi."

Nah lho?

"Kalau Nenek nggak mandi, nanti nggak bisa tidur lho? Badannya gatal semua?"

Nenek Ami menggeleng. "Ini aja nggak terasa gatal."

Salah satu nenek yang memakai setelan rayon berwarna kuning, ikut menimpali.

"Ini juga udah mau selesai ngobrolnya. Bener kata cucunya, sudah waktunya pulang. Andai cucu saya juga bisa sering dateng ke sini. Kalau dateng, juga paling bawel soal mandi. Tapi enak lho, ada yang merhatiin."

Daisy tersenyum kepada nenek bersetelan kuning yang lagi-lagi namanya dia lupakan.

Nenek Liska. Iya. Dia yakin itu namanya.

"Gitu ya?"

"Iya, Nek. Makanya sekarang kita pulang dulu, biar Nenek bisa bersih-bersih. Belum shalat juga kan, Nek?"

Sekitar semenit kemudian, Nenek Ami setuju untuk pulang. Ternyata tidak sesulit yang Daisy bayangkan. Tidak seperti sebelumnya sih. Hari ini, dia tidak perlu ekstra kerja keras untuk membujuk Nenek Ami supaya mau pulang.

Sepanjang perjalanan pulang, mereka mengobrol singkat. Berisi antusiasme Nenek mengenai kunjungan ke panti. Salah satu alasan yang menurut Daisy bisa dimaklumi adalah menemukan kenyamanan yang berbeda. Nenek Ami mungkin bisa diam di rumah dan tidak menuntut untuk sering -sering diantarkan ke panti, tapi dengan begitu, beliau tidak akan merasa bahagia. Salah satu sumber kebahagiaan manusia adalah bisa melakukan hal yang disukainya.

Dalam hal ini, menghabiskan waktu di panti adalah solusi terbaik, ketimbang membawa Nenek untuk tinggal di sana. Daisy yakin masih sanggup merawat nenek di rumah.

Let's Settle DownWhere stories live. Discover now