23. Calista

31.6K 1.8K 32
                                    

23. Calista

"Ai! Aina!"

Aku tersentak. Arga menggeleng. "Kamu kenapa? Ada yang kamu pikirin?"

"Nggak. Nggak ada,"

"Cewek itu kalau bilang nggak ada apa- apa berarti ada apa- apa,"

Bahuku mengendik. Acuh. Kulayangkan pandangan pada balik kaca café. Pemandangan jalanan tampak padat, tapi tidak macet. Ramai. Maklum malam minggu, waktunya bagi pasangan menghabiskan malam bersama. Pasca futsal, Arga memang membelokkan mobil kemari. Café favoritnya jika berkumpul bersama sahabat- sahabatnya, menurutnya.

Tiba- tiba perasaanku merasa terusik. Dari ekor mataku, aku bisa merasakan Arga masih intens menatapku, membuatku merasa risih seketika.

"Kenapa?" tanyaku sedikit ketus.

"Ya ampun, Bu! Sensi amat? Nggak dapat jatah dari suaminya ya,"

Aku melotot seketika. Wajahku memerah. Arga sialan!

"Ya ampun, Bu. Bilang aja kalau kurang pu...!"

"ARGA!"

Arga terbahak. Aku semakin gusar dibuatnya. "Nggak lucu tahu nggak!" cetusku galak.

Tawa Arga berhenti seketika. "Ok, ok!" tetapi aku masih melihat sudut bibirnya berkedut, refleks aku mendelik dan tawa Arga benar- benar terhenti.

"Cewek- cewek tadi nyebelin ya? Apa yang mereka bilang ke kamu sampe uring- uringan begini? Tadi kamu berangkat baik- baik aja,"

Aku menelan ludah susah payah. Haruskah aku menanyakan tentang Calista. Nama yang sejak tadi menjadi beban pikiranku. Entah mengapa ada perasaan tak rela saat wanita- wanita "gaya" tadi tadi mengatakan bahwa Arga dan Calista adalah pasangan serasi.

Sesak.

"Nggak. Aku nggak papa." Mungkin belum saatnya. Tidak sekarang!

"Yakin?" Kuanggukkan kepala mengiyakan. Hubungan kami baru saja membaik. Tidak elok rasanya menyebut nama lain. Seperti orang ketiga, meski ya aku belum tahu siapa sebenarnya gadis itu. Tapi nanti tidak sekarang, bisikku dalam hati.

"Kamu nggak lagi bohong kan?"

Kali ini aku mengangguk cepat, menghilangkan jejak cemas di wajah Arga. "Nggak!"

Arga menatapku ragu namun akhirnya ia menyerah. "Ya udah kalau gitu. Habiskan makananmu selanjutnya kita pergi,"

"Pergi? Kok kedengarannya kamu nggak akan bawa aku pulang?"

Arga menyeringai miring. "Duh Nyonya, ikut saja ya dan jangan berisik!"

Bibirku mengerucut kesal. "Iya iya,"

"Heh, itu bibir ya minta dicium tah?"

Mataku melebar. Sialan setan mesum muncul pula!

***

Aku mengernyit, kami benar- benar tidak pulang ke rumah. Entah kemana Arga akan membawaku, aku memilih diam. Namun aku tergelitik untuk bertanya saat kusadari laju kendaraan melewati rumahnya. Mungkin ia bermalam di rumah Mama, mengingat sejak kepindahan kami tak pernah melakukannya.

"Mau ke rumah mama?" Dahiku berkerut, aku menoleh menatap Arga yang terlihat fokus dibalik kemudi.

"Nggak," jawabnya tanpa mengalihkan pandangan.

"Terus?"

"Nanti juga tahu." katanya misteri.

Rasa penasaranku semakin besar, tetapi aku memilih bungkam. Toh, aku pergi dengan suamiku. Kalau ada apa- apa jelas dia yang akan bertanggungjawab.

Senandung Cinta AinaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora