30. Kejutan Aina

35.1K 1.9K 38
                                    

30.

"MAHIRA!" Teriakku saat melihat sosok Mahira melengang masuk ke dalam café. Kontan aku pun berdiri sembari melambaikan tangan kanan. Tak lama ia pun tersenyum, karena sudah melihat keberadaan diriku.

Hari aku memang janjian bertemu dengan Mahira. Beberapa hari lalu, ia mengabarkan akan datang ke Jakarta untuk mengurusi kasusnya beberapa bulan lalu. Sebenarnya aku sudah menawarkan agar ia menginap di rumahku, tetapi Mahira menolak. Ia datang bersama kedua orangtuanya, yang sekalian juga berniat menengok cucu-cucunya, anak-anak Mbak Rianti. Jadi karena ia tak menginap, kami memutuskan untuk janjian bertemu.

"Sorry nih telat, Ai. Duh macet banget sih!" Mahira nyengir saat sudah di dekat mejaku. Aku tersenyum lalu menghampirinya dan memeluknya.

"Alasan klasik, huh!" cibirku saat melepaskan pelukan. "Kangen euy!"

Mahira tertawa sesaat, lalu menarik kursi dan mendudukinya. Aku pun menyusul, kembali ke kursi yang kutempati sebelumnya. Kami duduk berhadapan.

"Jadi gimana kabar lo?" tanyaku sembari memindai penampilan Mahira. Dalam pandanganku, ia jauh lebih baik dan sehat. Tubuhnya sudah semakin berisi. Sorot matanya juga jauh lebih hidup. Melihat dirinya yang seperti sekarang, diam-diam dalam hati aku bersyukur.

"Gue baik. Lo gimana?"

Aku tersenyum lebar. "Baik juga, Ra. "

"Kelewat baik kayaknya,"

Keningku mengernyit bingung. Mahira tertawa. "Itu muka nggak bisa dibohongin. Sumringah banget," kekehnya."Beda sih ya orang kalau udah kawin."

Aku tertawa lalu menggeleng. "Makanya lo juga nikah,"

Mahira terkekeh. "Boleh. Tapi kamu yang cari lakinya gimana?"

"Huss, lo kira nyari suami kayak nyari baju?..."

Obrolan kami terhenti sesaat karena kedatangan seorang pelayan. Sesaat setelah menuliskan pesanan kami, aku pun kembali melanjutkan pembicaraan.

"Eh, Pakde Bude mana? gue kira mereka ikut ke sini?"

Mahira menggeleng. "Dimana-mana anak tuh kalah sama cucu. Apalagi cucu yang imut-imut menggemaskan macam Hisyam dan Kamil. Udah nggak akan Ibu, Bapak ingat aku,"

Tawaku kembali pecah. "Cemburu, Ra! Eh, tapi Hisyam dan Kamil segede apa ya? Makin gembul nggak tuh pipinya anak dua?" tanyaku mengingat dua ponakan kembar Mahira. Dulu saat kami masih tinggal bersama, tiap minggu jika bukan Mbak Rianti yang mengunjungi kami maka kami yang akan mengunjunginya. Dan karena itu aku jadi dekat dengan si kembar.

"Makin ngeselin yang ada, Ai. Suka ngeberantakin barang."

"Namanya anak-anak. umur mereka ada kali ya tiga tahun. Uh kan lucu-lucunya itu, Ra!"

Dahi Mahira berkerut sejenak. Ia baru akan membuka mulut ketika seorang pelayan datang membawakan pesanan kami.

"Ai," katanya setelah pelayan pergi. "Kamu ngomongin si kembar bukan karena ngebet pengen punya anak kan?"

"Eh, emang belum isi lo? Ck, Arga usahanya nggak maksimal ya?"

Aku melotot seketika. "Beuh, omongan lo, Ra." ucapku dengan wajah memerah. "Mesum."

Mahira terbahak. Jemari kanannya terangkat membentuk huruf V. "Piss, ah! Bercanda, Ai! Kamu ini ya masih aja susah diajak bercanda."

Aku merengut. Mahira ini kebiasaan, bercanda sama nyela nggak bisa dibedain. Aku baru mau menanggapi ucapananya, ketika tiba-tiba mataku menangkap sosok yang sudah sangat kukenal tengah berjalan ke arahku.

Senandung Cinta AinaWhere stories live. Discover now