Bab 5 Prince of Ayers

23 2 0
                                    

Sebenarnya Brun bukan tidak menyadari tatapan kebencian dari Bunda Ratu Himmelen. Dia, Aesir sejati yang mewarisi ilmu pengendali udara mampu mendengar umpatan sepelan apapun. Namun tetap tenang adalah salah satu usaha terbaiknya malam ini.

Para pelayan berkeliling untuk mengisi mangkuk sup sebagai makanan pembuka.

"Lilla, selamat datang kembali ke Alfheim." Raja Gull tersenyum hangat kepada putri kesayangannya yang malang.

"Terima kasih, Ayah." Lila menjawab sambil bangkit dari tempat duduknya dan membungkukkan badan sekilas, lalu duduk kembali.

Sesaat matanya bersirobok dengan tatapan tajam Brun, buru-buru Lilla menunduk pura-pura merapikan serbet di pangkuannya. Sebenarnya ada banyak hal yang ia ingin bagikan kepada sahabat kecilnya itu, tetapi entah mengapa Lilla merasa Brun menjauhinya semenjak diumumkan pertunangannya dengan Svart.

"Mari, silakan dinikmati hidangannya." Ucapan Raja Gull mengagetkan Brun.

Makan malam kali ini tak semeriah biasanya. Tak ada iringan musik, tak ada canda tawa dari orang-orang yang duduk mengelilingi meja oval besar itu. Mungkin semua memang merasakan kesedihan yang sedang Lilla alami. Hanya bunyi denting sendok perak yang beradu dengan piring saji. Sesekali terdengar Bunda Ratu menawarkan ini itu kepada Lilla yang sedang tidak nafsu makan.

Berbeda sekali dengan saat pertama kali kedatangan Brun di istana ini, tepatnya makan malam pertama Brun saat dikenalkan sebagai putra angkat Pangeran Sølv. Brun merasa sangat takjub memasuki ruang makan Kerajaan Alfheim yang terkenal kemutakhiranya, tetapi memiliki ruang makan klasik lengkap dengan meja oval besar yang berhiaskan lilin-lilin yang berjajar dengan dudukan antik.

Brun yang kala itu baru ditemukan dari persembunyiannya, menderita hipotermia parah akibat tetap tinggal di gua saat salju mulai turun. Kala itu Brun yang masih berusia tujuh tahun enggan meninggalkan makam Grå, adiknya. Dia merasa sangat bersalah tidak bisa melindungi adiknya, hingga Grå harus meninggal dalam dekapannya.

Brun kecil sangat kurus. Berhari-hari dia tidak makan hanya karena fokus merawat adiknya yang melemah. Mereka berdua disembunyikan oleh seorang panglima perang kepercayaan ayahnya, sesaat setelah Istana Ayers sengaja dibakar agar tidak dikuasai penjajah.

"Tetaplah di sini, lindungi adikmu baik-baik. Secepatnya paman akan menjemputmu nanti, Prince." Ucapan terakhir sang panglima.

Kala itu Brun sama sekali tidak tahu apa yang terjadi. Dia pikir hanya perlu menjaga Grå sementara seperti sedang bermain piknik-piknikan. Namun setelah beberapa hari berlalu Brun mulai curiga mengapa tak ada yang menjemput mereka. Hingga bekal makanan yang dibawa serta bersama bungkusan pakaian telah habis.

Itulah sebabnya Brun sangat bersuka cita saat Uncle Sølv menawarkan selimut hangat dan beberapa roti di hari pertama mereka bertemu. Pria kekar berambut abu-abu itulah yang kini menjadi ayahnya.

***

Puding buah sebagai makanan penutup telah dihidangkan. Meja makan pun sudah dirapikan. Saat seperti ini suasananya lebih santai dan sudah diizinkan saling berbicara bebas.

"Brun, apa kabar? Sudah lama kamu tidak ke mari," sapa Paduka Raja Gull.

"Iya, Yang Mulia," sahut Brun sambil mengangguk sekilas.

Melihat Raja Gull mendekati Brun, Uncle Sølv pun buru-buru mendampingi Brun.

"Bagaimana Sølv persiapan Brun menjadi Panglima Utama?"

Uncle Sølv sekilas melihat sekeliling sebelum menjawab, "Brun masih harus banyak belajar lagi, tetapi saya bisa pastikan saat Pangeran Blå naik tahta dia akan siap mendampinginya."

Dia harus berhati-hati saat membicarakan tentang Brun, sebab banyak orang menentang keberadaan Brun di istana ini, mengingat Brun hanya pendatang di Alfheim. Sebagai saudara laki-laki Raja Gull, Uncle Sølv pun tahu bahwa keberadaannya di istana ini sering dianggap sebagai ancaman. Bahkan saat ditunjuk sebagai Menteri Pertahanan pun, kesetiaannya sering diragukan.

Apalagi Brun yang hanya anak angkatnya, posisinya di Alfheim lebih sulit. Itulah sebabnya Uncle Sølv lega saat Brun memilih memegang kendali pada Divisi Perbekalan Perang di saat Raja Gull memberinya kesempatan memilih jabatan sebagai lulusan terbaik Akademi Militer Alfheim.

***

Setibanya kembali di South Palace kediaman mereka, Uncle Sølv mengajak minum teh ramuan untuk membantu pencernaan putranya. Brun sangat mengagumi ayahnya itu, dia selalu mengingat setiap hal kecil tentangnya.

"Ini, silakan." Pangeran Sølv menyerahkan secangkir teh harum berwarna biru.

"Terima kasih, Ayah."

"Bagaimana persiapanmu untuk menggantikan posisi ayah sebagai panglima perang?" tanya Uncle Sølv sambil menatap dalam kepada putra kesayangannya itu.

"I'm not sure, Ayah." Brun memandang jauh ke depan melalui jendela besar di depannya.

Uncle Sølv tidak pernah bisa memaksa kepada Brun, sebab dia menyadari beban yang ditanggung Brun sangatlah berat. Menjadi anak korban perang, membuatnya tak mudah untuk tampil. Beribu rasa bersalah selalu menghantui Uncle Sølv saat menatap Brun yang sedang memandang jauh ke arah Planet Ayers.

Sebagai seorang ayah angkat Uncle Sølv selalu merasa kurang memberi kasih sayang, sehingga menyebabkan Brun merindukan Ayers. Di sisi lain, Brun tenggelam dalam lamunannya mengenang masa kecilnya, saat menjadi Putra Mahkota Kerajaan Ayers kesayangan seluruh planetnya. Brun tumbuh ceria bersama Grå, adiknya dengan penuh kasih sayang. Mereka tidak pernah membayangkan apa yang terjadi di masa depan. Hingga hari pernyerbuan itu terjadi, hingga papanya harus terbunuh hari itu juga. Mama pun lebih memilih mengakhiri hidupnya di depan jasad papa. Brun dan Grå harus disembunyikan di hutan. Sampai akhirnya Grå juga harus mengembuskan napas terakhirnya di pangkuan Brun.

Brun kecil tak pernah tahu apa yang terjadi, dia hanya melihat istananya terbakar, saat dirinya dibawa dengan Stjerner pesawat supersonic kendaraan khusus antar kerajaan di Verdensrommet oleh Uncle Sølv.

"Brun, sudah malam. Mari kita istirahat." Tepukan lembut ayahnya tak urung mengagetkannya.

"Oh, iya, Ayah. Silakan duluan, nanti aku menyusul." Brun mengangguk hormat.

"Jangan begadang, ya. Calon Panglima Perang Alfheim tak boleh sakit," ucap Pangeran Sølv sambil tersenyum lembut.

Brun membalasnya dengan tersenyum lembut, sambil mengantar ayahnya hingga dasar tangga. Brun kembali ke ruang kerja dengan segala pikiran yang berkecamuk di kepalanya. Tentang ayahnya yang berambisi menempatkannya menjadi bagian penting di Kerajaan Alfheim. Walaupun Brun tidak menyukai ide itu, tetapi dia tidak berdaya menolaknya. Bagaimana dia bisa melukai orang yang telah menyelamatkan hidupnya, menjaganya hingga kini.

Juga tentang Planet Ayers dan Suku Aesir yang masih bertahan di sana, mana mungkin Brun pura-pura tidak tahu. Apalagi belakangan Brun tahu bahwa yang menghancurkan tanah kelahirannya adalah Kerajaan Alfheim, dan semua itu atas ide dari Ibunda Ratu Himmelen. Seringkali hatinya bergejolak ingin memberontak, tapi ditahannya. Brun merasa belum tepat saatnya.

Lalu bagaimana Lilla? Brun yakin dengan apa yang dirasakan dalam hatinya. Ini bukan sebuah rasa setia sahabat kecil, kasih sayang seorang kakak angkat atau pengabdi setia istana. Brun yakin sedih dan gembira dalam hatinya yang bertaut dengan Lilla adalah sesuatu yang luar biasa.


Bersambung

Anyeong Sahabat Mika,

Terima kasih sudah berkenan membaca, jangan lupa vote dan komen ya, terima kasih.

Pic: WallpaperCave

Begin AgainWhere stories live. Discover now