Part 22 : Kecewa

5.5K 514 64
                                    


 "Aku mau tidur di apartemen aku."

Dimas menatap Brisia sejenak lalu kembali menatap jalan di depannya. Tanpa protes, dia mengendarai mobilnya sesuai keinginan Brisia. Suasana hati Brisia sedang tidak baik. Itu sebabnya Dimas langsung menurut tanpa protes sedikit pun.

Sepanjang perjalanan, hanya keheningan yang hadir di antara mereka berdua. Brisia hanya menatap keluar jendela dan Dimas menatap lalu lintas di depannya yang ramai. Sesekali, Dimas memalingkan wajahnya mengecek kondisi Brisia.

Isak tangis sudah tidak ada, tapi mata bengkak karena menangis sejak kemarin tidak akan secepat itu hilang. Kepergian Liam melengkapi kesedihan atas kehilangan satu keluarga kecil itu.

Setahun yang lalu kanker serviks merenggut Silva, istri Mas Gilang. Dua tahun setelahnya, kecelakaan mengambil Mas Gilang dari sisi Liam. Dan kemarin, Liam, anak mereka ikut bersama mereka ke surga.

Dimas sekali lagi menatap Brisia. Kalau ada yang bilang Brisia wanita yang lemah, mungkin mereka tidak mengenal istrinya ini dengan baik. Karena bagi Dimas, Brisia adalah wanita yang kuat. Tidak mudah melihat orang yang disayangi pergi begitu cepat.

Apalagi kepergian Liam.

Bocah pintar yang begitu disayangi Brisia. Bahkan dia ingin membuat taman bermain hanya untuk Liam jika ponakannya itu sudah sembuh.

Mungkin, itu hanya percakan ringan sebelum mereka tidur beberapa minggu yang lalu. Tapi Dimas yakin Brisia akan mewujudkannya jika Liam sembuh.

Saat mobilnya memasuki basement, Dimas baru sadar mereka berdua tidak bicara sepatah kata pun sejak tadi. Biasanya, wanita di sampingnya ini akan berceloteh panjang lebar hingga membuat kuping Dimas sakit.

Saat ini wanita berpakaian serba hitam di sampingnya sedang sedih. Dia tidak mungkin mengharapkan hal itu terjadi. Tapi setidaknya, Dimas ingin Brisia mencurahkan perasaan dan kesedihannya.

Begitu mobil sudah terparkir, Brisia langsung turun meuju lift. Dimas sampai harus berlari kecil untuk mengejar.

"Kamu mau makan apa?" tanya Dimas saat mereka sudah berada di dalam lift.

Gelengan Brisia tidak membuat Dimas menyerah. "Kamu belum makan sejak tadi. Makan sedikit sebelum tidur. Aku pesan sekarang, ya?"

"Aku nggak lapar," jawab Brisia bertepatan dengan pintu di depan mereka yang terbuka.

"Kamu harus makan. Jaga kondisi kamu juga."

Brisia tidak membalas. Dia hanya berjalan menuju pintu apartemennya. Menekan kata sandi lalu masuk ke apartemennya yang gelap.

Dimas pikir Brisia akan menyalakan lampu, tapi wanita itu terus berjalan menuju sofa abu-abu di ruang tamu. Mau tidak mau Dimas harus menajamkan matanya untuk mencari sakelar lampu. Beruntung instingnya kuat hingga dia bisa menemukan sakelar itu di dekat pintu masuk.

Terakhir kali Dimas datang ke tempat ini sebelum mereka menikah. Sekarang, Dimas baru menyadari kalau apartemen ini sedikit berubah. Lantai tempat mereka berada sekarang sudah terdapat billiard dan beberapa mesin game.

Mungkin Brisia menjadikan lantai ini sebagai kantor sekaligus tempatnya kumpul-kumpul. Kamar wanita itu pasti pindah ke lantai dua karena setahu Dimas apartemen istrinya ini memiliki dua lantai.

"Makasih sudah anterin aku. Kamu boleh pulang."

Dimas mendekati Brisia yang duduk bersandar di atas sofa. Matanya menutup rapat, menyembuyikan semua kesedihan atas kepergian Liam. "Aku bawa baju ganti. Nggak perlu pulang buat ambil."

"Aku mau sendiri."

Dimas bersedekap menatap Brisia yang masih tetap menutup matanya. "Aku nginap di sini."

"Pergi!"

"Kamu kenapa? Aku tau kamu sedih, tapi kamu menghindar dari aku?" Dimas tidak tahan lagi. Brisia mendiamkannya. Itu artinya, ada sesuatu yang salah dengannya. Dia tidak tahu apa. Dan Brisia pun sejak tadi tidak memberi penjelasan.

"Aku kenapa? Kamu yang kenapa!"

"Aku nggak akan tahu salah aku apa kalau kamu nggak bilang, Brisia." Dimas masih berusaha menahan nada bicaranya tetap tenang. Saling meninggikan nada suara tidak akan mengubah apapun. Hanya akan memperkeruh suasana. Itulah yang menjadi prinsip Dimas jika sedang adu argument.

Brisia berdiri dengan tatapan sedih. "Aku nggak bisa nemenin Liam di saat-saat terakhirnya. Kamu tahu itu salah siapa?" Brisia menarik napasnya dalam. "Kamu!" tunjuknya.

"Seandainya kamu pulang dan bilang keadaan Liam yang sebenarnya, aku bisa pamit ke dia. Aku masih bisa nemenin dia di saat-saat terakhirnya!"

Merasa tidak ada lagi yang harus dia utarakan, Brisia berlari menuju tangga ke kamarnya. Untuk pertama kalinya Brisia kesal dengan Dimas.

"Brisia, aku minta maaf."

Ternyata Dimas tidak meninggalkannya. Suaminya itu mengejarnya hingga ke ujung anak tangga di lantai atas. Sampai cengkraman Dimas di lengannya terasa barulah langkah Brisia berhenti.

"Brisia, aku minta maaf. Aku memang salah. Seharusnya apapun yang akan terjadi, aku tetap mempertemukan kamu dan Liam," ujar Dimas penuh penyesalan.

Sambil mendongak, Brisia menatap wajah Dimas lama. Setelah itu dia menarik lengannya dari cengkraman Dimas. "Kamu tahu aku nggak akan pernah bisa marah ke kamu."

"Jadi aku bisa nginap di sini sama kamu?" kejar Dimas.

"Aku butuh waktu." Brisia mundur selangkah. "Nggak bisa marah bukan berarti nggak bisa kecewa ke kamu."

"Brisia-" ucapan Dimas terpotong karena Brisia sudah masuk ke dalam kamarnya diikuti bunyi pintu yang ditutup.

Dimas sadar kalau keputusan yang dia ambil salah. Seburuk apapun suatu berita, lebih baik disampaikan daripada di tutupi. Karena cepat atau lambat semua pasti akan terungkap. Seperti sekarang, seandainya dia mengatakan keadaan Liam yang sebenarnya, mungkin Brisia masih bisa bersama Liam di saat-saat terakhirnya.

Pintu yang tertutup di depannya membuat Dimas menyerah dan berbalik. Istrinya butuh waktu dan dia akan memberikannya. Meski setiap anak tangga yang dilewati seperti memintanya untuk berbalik dan membujuk. Namun, memaksa Brisia saat ini tidak akan memberi hasil apapun.

Jujur, Dimas ingin Brisia menjadikannya tempat menangis. Bersandar di bahunya meski hanya sebentar dan sesenggukan seperti biasanya. Bukan hanya mengurung diri di dalam kamar seorang diri.

***

Potret Liam sedang tersenyum sambil mengangkat ibu jarinya mengalirkan desiran aneh ke tubuh Dimas. Foto itu diambil Dimas sebelum Liam masuk ke dalam ruang kemoterapi beberapa minggu yang lalu. Foto itu diambil sebelum kondisi bocah kecil itu memburuk.

Ibu jari Dimas menngusap wajah Liam sekilas. Senyum kesedihan muncul di bibirnya saat melihat gigi susu Liam yang sudah tanggal satu di depan. "Maafin Om Dimas. Seharusnya Om tetap bilang ke Tante Brisia tentang keadaan kamu."

Dimas menutup matanya. Meredam semua kesedihan yang dia rasakan karena kepergian seorang malaikat kecil yang baru hadir di hidupnya.

"Maafin Om karena belum bisa buat tante kamu bahagia seperti permintaan kamu."

.

.

.

4/2/2022

Jangan lupa vote dan comment untuk part ini. Share juga cerita ini ke teman-teman kalian biar makin rame.

.

Baca cerita-ceritaku yang lain di lapak sebelah. Dijamin nggak kalah seru dibanding cerita ini.

Follow akun instagram kepenulisan aku di @__bels ya...

Drama QueenWhere stories live. Discover now