Apakah Melvin Pernah Menidurinya?

55 9 0
                                    


     Emily membasuh wajah dengan air yang mengalir dari keran wastafel. Kedua telapak tangannya menutupi wajah ketika air mata mengalir dan menyatu dengan cipratan air yang membasahi wajahnya.

Emily menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, berusaha menahan diri agar tidak menangis.

Saat ini dirinya berada di restroom khusus wanita di gedung auditorium. Ia menunggu hampir lima belas menit untuk memastikan tak ada orang di dalam restroom ini, sehingga ia bisa sedikit mengekspresikan diri dengan cara menangis tanpa dilihat oleh siapa pun.

"Berapa tarifmu malam ini?"

Kalimat itu tak henti terngiang-ngiang di kepala Emily.

Kejadian tak mengenakan hati yang ia alami di bar tempatnya bekerja paruh waktu, membuatnya masih terbayang-bayang sampai sekarang.

Bagi sebagian orang, mungkin ini terkesan melebih-lebihkan. Namun, tiap kali mengingatnya, Emily merasa jijik pada dirinya sendiri.

Kejadian itu bukan pertama kalinya Emily alami. Ia sudah pernah mendapatkan perlakuan kurang ajar ketika ia bekerja di sebuah tempat karaoke satu tahun lalu.

Setidaknya waktu itu ia berhasil melindungi diri sendiri dan melaporkan perbuatan pelaku kepada pemilik tempat karaoke yang beruntungnya mau memihak padanya.

Dan dalam kejadian tempo hari, beruntungnya ada Melvin yang menyelamatkannya sebelum ia benar-benar dibawa ke hotel oleh pria Asia cabul itu. Entah akan bernasib bagaimana dirinya kalau tidak bertemu Melvin.

Inilah yang selalu menjadi momok negatif bagi Emily dalam prinsip hidupnya yang keempat, yaitu melakukan pekerjaan apapun untuk bisa mendapatkan uang. Setidaknya dirinya memang menjerit keras untuk menolak menjadi pelacur, tetapi tetap saja bekerja sebagai pelayan di tempat hiburan malam pun sudah menjadi momok yang mengkhawatirkan.

Kalau tak butuh pemasukan untuk tabungan biaya kuliahnya, Emily tak akan mau bekerja di bar atau tempat karaoke. Bekerja menjadi pelayan atau barista di restoran dan kafe saja sudah cukup.

Setelah membasuh wajahnya sekali lagi untuk menghilangkan bayang-bayang kejadian di bar dua malam yang lalu, Emily pun menghela napas panjang.

Ia mematikan keran air, mengeringkan wajahnya dengan tisu, lalu memakai tasnya sekaligus membawa paper bag berisi jaket milik Melvin dan beranjak keluar dari restroom.

Ia berniat mengembalikan jaket yang sudah ia cuci bersih itu kepada sang pemilik.

Emily ingin pergi ke ruang kelas jurusan bisnis. Namun, ketika hampir tiba di pintu keluar auditorium, ia melihat orang yang ingin ia temui.

Emily pun mempercepat langkahnya untuk menghampiri orang itu seraya memanggil.

"Hai, Melvin!" Emily berujar setelah akhirnya berdiri tepat di hadapan pria jangkung tersebut.

Pria itu menaikkan kedua alisnya, menatap Emily dengan tatapan heran.

"Aku ingin mengembalikan jaket milikmu yang kau pinjamkan waktu itu. Tenang saja, sudah kucuci sampai bersih dan tidak ada yang kurang. Silakan dicek," tutur Emily seraya menyodorkan paper bag berisi jaket mahal berwarna hitam yang ia bawa pada pria di hadapannya.

Pria itu asal menerima saja dan masih menatap Emily.

"Aku benar-benar berterima kasih atas bantuanmu. Maafkan aku karena menumpahkan minuman ke pakaianmu dan bahkan membuatmu repot-repot harus membawaku ke kantor polisi." Emily kembali bertutur.

Ia sudah siap jika pria di hadapannya itu menyahut dengan ketus dan pedas. Namun, alih-alih mendapat sahutan yang ia perkirakan, ia malah melihat pria itu menghela napas pelan.

Beyond the FaultWhere stories live. Discover now