Drugs

50 7 4
                                    

    Emily mengulum bibirnya dan meremas-remas bagian ujung coat krem yang ia kenakan. Ia melirik singkat ke samping, menatap Melvin yang kini masih fokus menyetir mobil.

Emily merasa agak canggung dan gugup, sedikit tidak menyangka bisa berada di dalam mobil itu, mobil milik seorang pria populer di kampus yang tak mengherankan bila digandrungi banyak kaum hawa.

Akan tetapi, saat ini Melvin justru terlihat biasa-biasa saja dan sangat tenang, seolah keberadaan Emily di dalam mobilnya sama sekali bukan hal yang patut dia pusingkan.

Emily pun berpikir kalau mungkin saja jok mobil yang ia duduki saat ini, sudah biasa diduduki oleh wanita-wanita lain yang dekat dengan pria tampan tersebut.

"Apa kau tahu? Ujung kunci mobilku lumayan runcing," kata Melvin tiba-tiba.

"Eh?" Emily mengerjapkan matanya beberapa kali, bingung dengan pernyataan Melvin.

"Jika kau terus-menerus menatapku seperti itu, aku tak segan menancapkan ujung kunci itu ke matamu dan mencungkilnya."

Emily pun langsung buang muka dan tertegun mendengar ucapan sadis Melvin.

Ia tidak tahu Melvin hanya bercanda atau memang sekadar menggeretak, tapi intinya ia jadi makin canggung perkara gugup dan takut.

Keheningan terjalin di dalam mobil itu sampai beberapa menit kemudian. Hingga akhirnya, Emily pun kembali mengingat sesuatu yang pernah diucapkan Heather beberapa waktu lalu soal wanita bernama Cassie.

Kemarin ketika ia sedang bersama Heather di kampus, Heather sempat menunjukkan padanya seperti apa sosok Cassie. Dari situ kemudian Emily tahu kalau Cassie adalah mahasiswa semester akhir yang merupakan primadona di jurusan bisnis dan manajemen.

"Aku ... jika kau mengantarku seperti ini ... apakah pacarmu tidak akan marah?" tanya Emily dengan sangat hati-hati dan sedikit ragu.

Pria itu menoleh pada Emily dan menatap wanita itu selama beberapa saat, lalu mengerutkan keningnya dan bertanya, "Memangnya siapa pacarku?"

"Ehm ... Cassie?"

Melvin berdecih pelan dan tersenyum miring. "Bagaimana kau bisa mengira kalau dia pacarku?"

"Hanya menebak saja." Emily mengangkat bahunya sekejap.

"No, she's not." Melvin berujar datar.

Emily pun manggut-manggut mendengar jawaban Melvin. Ia termenung sejenak untuk berpikir dan mengingat ucapan Heather waktu itu yang bilang kalau Melvin bercumbu dengan Cassie. Setelah menerka-nerka, ia pun mengambil kesimpulan pribadi kalau Melvin dan Cassie mungkin sekadar terikat ranah Friends with Benefit saja. Mungkin.

"Oh, hei, aku baru ingat," ujar Emily pada Melvin, "aku harus ke supermarket dulu. Jadi, tidak apa-apa kalau kau mau menurunkanku di halte bus depan."

Melvin melirik sekilas pada Emily, lalu menjawab, "Tidak masalah. Aku juga ingin beli bir."

"Ah, begitu rupanya." Emily tersenyum. "Terima kasih banyak."

Dalam perjalanan, ponsel Melvin tiba-tiba berdering. Emily pun melihat kalau ternyata ponsel Melvin diletakkan di dalam laci dashboard yang ada di hadapannya.

Melvin menjulurkan tangannya ke depan Emily dan itu membuat Emily secara refleks langsung mundur, menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi agar Melvin bisa membuka laci dashboard tanpa terhalang olehnya.

Pria berjaket hitam itu mengambil ponselnya dari dalam sana. Dia tidak menutup laci dashboard karena kerepotan harus sambil fokus menyetir.

Maka dari itu, membiarkan laci dashboard tetap terbuka, Melvin mengangkat telepon dari temannya sembari kembali mengemudikan mobil.

Emily tentu saja peka untuk menutup laci dashboard di hadapannya. Akan tetapi saat ia memegang penutup laci itu dan baru saja akan merapatkannya, kedua matanya tak sengaja menangkap suatu benda yang ada di dalam sana.

Emily menoleh pada Melvin dan melihat pria itu masih sibuk menelepon. Emily mengakui kalau dirinya memang tipikal orang yang selalu merasa penasaran terhadap suatu objek asing yang ia lihat dan selalu berkeinginan memastikan apa objek itu.

Apalagi kelihatannya benda berbungkus plastik di dalam laci dashboard itu agak aneh dan sedikit familier di matanya.

Dengan lancang, Emily pun mengambil plastik kecil itu tanpa izin dari Melvin. Ada dua buah plastik klip yang Emily ambil.

Emily sontak langsung terdiam setelah melihat kalau ternyata salah satu plastik klip itu berisi beberapa butir pil berwarna putih, sementara yang satunya lagi berisi bubuk putih yang tampak sangat mencurigakan.

Emily sudah beberapa kali bekerja paruh waktu di bar dan tempat karaoke. Tak heran bila ia sering melihat para pengunjung tempat 'rawan' itu menggunakan obat-obatan atau narkotika.

Pil putih yang berada di dalam plastik yang saat ini ia pegang, ia tahu kalau itu adalah ekstasi. Sementara bubuk di plastik yang satunya lagi, ia juga tahu kalau itu adalah sabu.

Emily tercengang. Ia membeku cukup lama dengan posisi memegang narkoba itu yang ia ambil dari laci dashboard mobil Melvin.

Melvin yang telah selesai menelepon pun menoleh pada Emily. Melihat Emily lancang memegang kepunyaannya, Melvin kaget. Dia langsung melipir ke tepi jalan dan menghentikan laju mobilnya dengan sedikit mendadak.

"What the fuck?!" Melvin merebut dua plastik itu dari tangan Emily setelah benar-benar sudah menghentikan mobilnya.

Pria tampan berparas campuran Amerika-Irlandia itu mendelik emosi pada Emily. "Mengapa kau lancang sekali?!"

Emily pun tertegun menatap Melvin. Selain karena takut melihat kemarahan Melvin, ia juga masih agak terperangah setelah tadi menyadari kalau isi dari plastik itu adalah narkoba.

"Is it ... drugs?" Emily bertanya dengan penasaran sekaligus ragu. "I-itu ... ekstasi dan sabu, kan?"

Melvin bergeming.

"Kau ... pengguna?"

Melvin memasukkan plastik itu kembali ke laci dashboard, lalu menutup dashboard itu dengan agak keras dan memastikannya telah rapat.

Pria itu menghela napas panjang. Dia menatap Emily dengan tatapan yang sangat tajam, mengancam, dan penuh suratan peringatan tegas.

"Bersikaplah seolah kau tidak tahu apa-apa soal ini. Jika kau berani membeberkan atau memberitahu siapa pun, aku sungguh akan merobek mulutmu dan membuatmu menyesal. Aku juga tak segan memberitahu orang-orang di kampus tentang apa pekerjaan ibumu di Los Angeles. Dengan begitu, kau akan menanggung malu sepanjang masa kuliahmu," ancam Melvin.

Suara bariton Melvin sangat berat dan agak pelan, tetapi tak sedikit pun melunturkan kengerian yang membuat Emily berdebar-debar sekaligus tertegun. Terlebih lagi saat ini hanya mereka berdua di dalam mobil dan tak ada suara apa pun lagi selain betapa tegasnya suara Melvin sendiri.

"Apa kau mengerti?" Melvin menegaskan penuturannya tadi.

"Y-ya ... aku mengerti."

***

a/n:

Holaaa!! Maaf yaa BtF updatenya slow banget :(

Aku usahain kedepannya bisa rutin update lagi. Jangan lupa vote dan komen yang banyak lho yaa hehehe. Ajak juga teman-teman kalian buat baca novel ini. Kan siapa tahu kepincut sama si kembar hahahaha

Instagram: sweet_meylon

Beyond the FaultTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang