Quand On Souriait Pour Rien

2.7K 213 1
                                    


quand on souriait pour rien = ketika kita tersenyum tanpa alasan

Regi menarik selimut untuk membungkus tubuhnya dan bangkit dari tempat tidur. Kakinya terbungkus kaos kaki wool. Tirai jendela kamar dia buka lebar-lebar. Udara masih dingin namun dia ingin menikmati matahari pagi di Lyon yang lebih tenang dan asri dibandingkan Paris. Tidak terdengar suara sirene dari kejauhan.

"Bonjour. Kamu cepat banget bangun," ucap Maya.

"Di tempat baru kadang aku susah tidur," kata Regi sambil merapatkan selimut di dadanya.

Di hari pertama menginap di tempat baru, Regi selalu bangun kepagian. Dia butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan kasur yang ditidurinya. Untuk beradaptasi dengan sekeliling, Regi mengatasinya dengan jalan-jalan pagi.

"Dingin ya tapi aku pengin jalan kaki pagi," kata Regi sambil menutup jendela.

"Nanti aja, siangan sedikit. Jam segini belum banyak tempat yang buka," ucap Maya.

"Sekitaran rumah aja. Lihat-lihat pemandangan," ucap Regi.

"Aku masih ngantuk," ucap Maya menarik selimut. "Kamu ajak Gaël saja," lanjut Maya sambil menepuk-nepuk bantalnya.

"Ogah! Aku mending jalan sendiri," tukas Regi.

"Terserah kamu. Ini kunci ada di meja rias. Kalau keluar pintu ditutup ya." Maya kembali meringkuk dan tertidur.

Regi mencuci muka seadanya. Dia mengenakan tight hitam, sweter, sneaker dan coat. Ditangannya ada serenceng kunci milik Maya. Suasana rumah masih sepi. Lorong kamar masih remang-remang. Regi melewati kamar Gaël dan Atilla yang tertutup rapat. Tidak terlihat cahaya sedikit pun. Regi menurun tangga sangat pelan agar tidak ada yang terbangun. Di depan pintu gerbang dia mencari-cari kunci gembok di antara serenceng kunci yang diberikan Maya.

"Bonjour," suara berat memanggil.

Regi nyaris meloncat kaget. Dia memberikan pelototan ketika melihat Gaël sudah bersandar di pojokan sambil mengisap rokok dengan tenang. Pria itu mengenakan beanie yang menutupi seluruh dahi. Turtleneck-nya sengaja ditarik sampai ke dagu. Dengan gaya seperti itu, tubuh Gaël nyaris menyaru dengan dinding. Yang terlihat jelas hanya hidungnya yang merah dan matanya bulat yang menatap tajam ke arah Regi macam burung hantu yang sedang bertengger di pohon.

"Kamu ngapain di situ? Bikin kaget," omel Regi.

"Ngabisin ini," ucap Gaël menunjukan rokok yang terselip di jemarinya. Pria itu menghisap dalam-dalam dan mematikannya.

"Allor, kamu mau jalan-jalan?" tanya Gaël berjalan ke arah Regi yang sudah membuka pintu gerbang.

"Pengin lihat-lihat sekeliling aja," ucap Regi.

Gaël mengangguk. Pria itu memasukkan kedua tangan ke dalam kantong celana. Menatap Regi lurus-lurus macam minta diajak tetapi enggan berbicara. Ekspresinya dingin seperti biasa.  Sedikit terlihat ada kerlipan dimatanya. Tampangnya tengil sekaligus ganteng.

"Mau ikut?" tanya Regi tak tahan ditatap oleh mata cokelat itu.

"Boleh juga," ucap Gaël singkat.

"Aku enggak punya tujuan pasti. Jangan protes ya."

"Apa aku kelihatan kayak tukang protes?" tanya Gaël.

Bibir Gaël yang sudah tertekuk itu semakin melengkung ke bawah macam anak kecil yang sedang protes.

Komentar Gael membuat Regi tertawa. Pria itu tidak pernah bermaksud melucu tetapi ucapannya selalu terdengar lucu di kuping Regi.

"Aku hanya antisipasi," tukas Regi.

Love Rendezvous in Paris (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang