10. Menyesal

705 169 11
                                    

Anyeong ...
Aku cuma mau ngucapin terima kasih buat yang sudah dukung cerita ini sampai sekarang. Part ini khusus buat kalian yang sudah vote bintang selama ini. Maaf kalau lama, karena aku baru sembuh dari sakit, jadi baru sempat nulis dan post. Terima kasih untuk 1k bintangnya.



Rista berjalan cepat memasuki sebuah kantor perusahaan untuk menemui seseorang di dalam sana. Seseorang yang sudah beberapa hari ini tak dilihat olehnya. Seseorang yang sudah membuatnya naik darah karena mengambil keputusan sepihak. Dia tak terima mendapat surat pengunduran diri dari orang tersebut. Hal itu di luar perjanjian.

"Di mana ruangan dia?" tanya Rista saat mendapati Kelvin sudah ada di dekatnya. Dia baru saja tiba di lantai tujuan setelah keluar dari lift dan disambut oleh asisten Dannis.

"Tuan sedang ada rapat penting dengan dewan direksi. Anda diminta untuk menunggu di dalam ruangan beliau," balas Kelvin sambil mengikuti langkah Rista.

"Aku menyesal sudah percaya dengan dia jika akhirnya akan seperti ini," gerutu Rista masih bisa didengar oleh Kelvin.

Laki-laki di samping Rista hanya diam tanpa ingin menjawab ucapan wanita itu. Tahu akan rencana bosnya melakukan hal itu pada Rista. Kelvin membuka pintu ruangan yang dituju agar sang tamu masuk sesuai perintah sang bos. Keduanya sudah menduga jika Rista akan datang ke kantor itu untuk menemui Dannis setelah menerima surat pengunduran diri.

Tatapan Rista langsung mengitari ruangan yang dia pijak saat ini. Ruangan tempat dia menanti sang empunya kantor. Seperti kantor pada umumnya: rapi, bersih, dan luas. Dia beranjak duduk di salah satu kursi.

"Saya permisi." Kelvin beranjak dari posisinya setelah memastikan gadis itu duduk.

Kenapa aku nggak nunggu di luar saja kalau akhirnya di dalam sini bakal sendirian? Tapi nggak enak juga kalau harus nunggu di luar.

Rista menyandarkan bahu pada kursi. Pandangannya kembali mengitari sekitar. Sebuah pertanyaan hadir dalam pikirnya. Apa jabatan Dannis di perusahaan itu sehingga memiliki ruangan sebesar itu?

Perhatian Rista buyar saat mendengar suara pintu terbuka. Dia segera beranjak dari kursi. Dilihatnya sang empunya ruangan berjalan masuk ke dalam ruangan itu. Rista bergegas meraih surat yang dia terima beberapa jam lalu.

"Apa maksud surat ini?" tanya Rista sambil melempar surat itu di atas meja.

"Sesuai kesepakatan," balas Dannis santai sambil duduk di kursi kerjanya.

"Ini bukan kesepakatan awal kita. Kamu nggak berhak memecat aku dan April karena aku masih punya hak di sana." Rista terdengar kesal.

"Studio itu sudah sepenuhnya menjadi milikku sesuai berkas yang kamu tanda tangani. Apa kamu lupa?" Dannis mengingatkan tanpa menatap gadis itu.

"Apa? Aku nggak salah dengar, 'kan?"

Dannis meraih berkas, meletakkan di atas meja, menginstruksi Rista agar kembali membaca berkas itu. Wajah Rista masih terlihat geram. Dia meraih berkas itu, lalu kembali membaca isi di dalamnya dengan teliti.

"Lembar terakhir adalah perjanjian di mana kamu akan menyerahkan sepenuhnya kendali studio itu padaku setelah pembayaran lunas. Kemarin, aku sudah mengirim semua uang sesuai perjanjian tanpa memotong seperti yang kamu inginkan sebelumnya. Jadi, aku berhak memecat kamu dan April dari studio itu."

"Nggak mungkin. Kamu nggak mungkin membohongi aku seperti ini. Kenapa kamu melakukan ini sama aku? Kamu tau sendiri kalau studio itu kenangan Mas Gema satu-satunya yang aku miliki. Kenapa kamu tega ngelakuin ini sama aku?" tanya Rista dengan raut tak percaya.

Persinggahan TerakhirWhere stories live. Discover now