Rapunzel

317 13 2
                                    

"Sejujurnya hanya ingin lebih lama bersamamu, tapi maaf cara itu menyakitimu "
-BerlianPermata-

"Jalan ke rumah lo ke arah mana?" Berlian bertanya antusias sambil mengayuh sepeda.

"Masih lurus, nanti kalau mau belok, gue akan bilang." Permata menjawab seadanya. Firasatnya merasa tidak enak dengan nada pertanyaan Berlian.

Firasat Permata ternyata benar. Sudah 30 menit mereka bersepeda namun tidak sampai di rumah Permata. Padahal waktu yang diperlukan seharusnya hanya sekitar 5 menit.

Berlian yang selalu bertanya dan berbohong sepanjang perjalanan. Jika Permata bilang arah kanan maka Berlian akan ke kiri. Jika Permata bilang lurus maka Berlian akan belok. Dan, berlaku sebaliknya sampai berulang-ulang.

Kini kondisi Permata menyandarkan dahinya di punggung Berlian. Ia sudah capek memutari jalan dan beberapa kali melewati jalan yang sama.

"Jalan ke rumah lo ke arah mana? Gue beneran tanya ini." Berlian bertanya untuk kesekian kalinya.

"Bodo amat. Gue dari tadi udah bilang." Permata menjawab dengan tetap menyandarkan dahinya di punggung Berlian.

"Kali ini bener." Di nadanya terdengar keseriusan.

"Terserah lo. Gue capek." Permata tidak terpengaruh. Permata masih kesal karena merasa dibohongi sepanjang jalan.

"Kalau nggak bilang. Kita ke rumah gue." Berlian berucap dengan nada yang antusias.

"Cepet, belok kanan di depan." Mendengar kata rumah musuh bebuyutanya. Permata spontan melihat ke depan dan memberikan intruksi.

Berlian tersenyum karena tingkah seseorang yang diboncengnya.

"Kayaknya lo antusias deh ke rumah gue?" Berlian bertanya antusias.

Permata spontan memukul punggung Berlian satu kali.

"Ogah gue ke rumah lo."

"Yakin?"

"Ya yakinlah, ngapain juga ke sana kurang kerjaan aja."

"Nanti, di masa depan. Gue yakin lo jadi penghuni rumah gue. Jadi, seharusnya dibiasakan."

Permata yang mendengarnya berpikir keras dan tidak menanggapi ocehan Berlian.

"Masih lama?" Berlian bertanya karena merasa hening.

"Bentar lagi sampai."

Jawaban Permata menyadarkan Permata untuk tidak memberitahu letak rumahnya. Apabila diberitahu bisa saja Berlian dengan tingkat keberaniannya menjaili Permata sampai ke rumah.

Di sekolah saja sudah membuat tekanan batin apalagi tambah di rumah. Lama-lama jadi penghuni RSJ kalau kayak gitu.

Permata harus mencegahnya. Iya, mencegahnya.

"Stop, ini mau sampai. Lo pulang aja." Permata berkata spontan dan cepat.

Ucapan Permata menghentikan kayuhan Berlian dan sekarang sepedanya berhenti.

"Gue nggak mau." Berlian berfikir sebentar sebelum menjawabnya. Ia merasa curiga dengan ucapan Permata.

"Pulang aja." Permata turun dari boncengan dan tersenyum manis ke Berlian untuk mengusirnya.

Belum sempat Berlian menjawab, suara seseorang memasuki gendang telinganya.

"Rapunzel itu kamu? Cepet masuk, disuruh ibu jemur pakaian." Ucapan mbak Neta dari lantai 2 yang tidak sengaja melihat rambut panjang milik adiknya yang berada di samping rumah.

Mbak Neta dapat melihat punggung Permata yang membelakanginya.

"Iya mbak, bentar." Permata yang terkejut melihat ke arah rumahnya dan menampakkan mbak Neta di lantai 2.

Permata melihat ke arah Berlian setelah melihat mbak Neta.

"Mundur, mundur." Permata mendorong sepedanya untuk mundur sambil melihat si empu yang masih duduk di sepeda.

Berlian memundurkan sepedanya.

"Rapunzel?" Berlian menatap Permata dengan bertanya akan panggilan itu.

"Karena rambut gue panjang." Permata menjawab sejujurnya.

"Cepet pulang sana lo." Pengusiran Permata dengan nada yang tidak santai.

"Gue anter sampai rumah lo."

"Nggak usah. Keluarga gue nggak ngizinin gue bawa cowok ke rumah." Permata beralasan. Karena Berlian itu sosok yang tidak mudah percaya tanpa adanya alasan yang logis.

Namun, alasan itu hanya karangan Permata. Ia tidak mau menjadi bahan ejekan mbak Neta. Apalagi kalau mbak Neta tahu pasti akan melaporkan ke ibunya, kemudian akan dimulai acara introgasi.

Permata tidak mau seribet itu hidupnya.

"Yakin?" Berlian bertanya karena cukup curiga dengan alasan Permata.

"Iya. Lo mau dimarahi mbak Neta?" Benar kan apa yang Permata duga, membohongi Berlian itu tidak mudah. Untung saja Permata membawa kata marah. Permata yakin Berlian akan kalah.

"Yaudah deh. Sana masuk." Berlian mengalah sembari turun dari sepeda dan menyerahkannya ke Permata.

Segera ia menghubungi temannya untuk menjemputnya.

"Lo juga pulang." Permata menghela nafas lega.

Berlian hanya mengangguk.

Permata yang ingin segera pergi dengan bersepeda harus berhenti ketika beberapa sepeda motor berhenti di dekatnya.

"Eh ada Permata. Lo cantik kayak gini Permata." Celetukan Rosi yang membuat semua orang di sana mendengar.

"Aw, sakit." Berlian spontan memukul punggung Rosi dengan helm yang akan dikenakannya.

Sedangkan ketiga temannya lain yang melihat itu hanya menatap horror Rosi karena tidak mengetahui kondisi sehingga membuat si pawang marah.

"Makasih. Sekarang kalian semua pulang aja." Permata tersenyum kecil yang dipaksakan.

Setelah mendengar ucapan Permata, keempat orang pergi dan menyisakan satu orang yang masih tetap di tempatnya.

"Kenapa masih di sini?" Permata memandang orang itu curiga.

"Nggak ada ucapan makasihnya?"

"Makasih udah mau anter gue." Permata akhirnya meloloskan satu kalimat agar orang di depannya segera pergi.

Padahal kalau dipikir. Karena orang dihadapannya lah Permata harus membuang waktu selama 30 menit dengan bersepeda memutari daerahnya.

Boncengan sepeda Permata itu besi. Sepanjang perjalanan Permata mengeluh, namun tak ditanggapi Berlian.

Apalagi ketika melewati polisi tidur. Rasanya sangat menyakitkan.

"Sama-sama." Berlian berjalan mendekati Permata dan menepuk puncak rambut Permata beberapa kali.

Setelah itu ia segera pergi dengan sebelumnya memberikan senyuman manis miliknya.

Tanpa Permata sadari. Sepanjang perjalanan Berlian mengayuh sepeda sehati-hati mungkin dan cukup pelan agar tidak menyakiti Permata yang diboncengnya.

###

22/02/2022

Apa nama julukan kalian di keluarga?

Berlian Permata Where stories live. Discover now