Tanya

245 11 0
                                    

Tidak ada mendung, petir berkilat menyambar otak Permata untuk bekerja rodi saat mbak Neta bertanya.

"Per, kamu dekat sama adiknya Elang?"

Permata yang sedang berbaring di kasur mengerjakan tugas di laptop dengan mendengarkan musik anime seketika terkejut lalu memandang sumber suara.

Saat ini mbak Neta sedang menggunakan krim malam di kaca lemari Permata. Tumben sekali padahal biasanya di kamarnya sendiri.

"Maksudnya Berlian mbak?" Permata memandang mbak Neta.

"Iya. Mbak lupa namanya."

"Nggak lah mbak, cuma teman aja. Entah, tuh orang kenapa kok tadi ngajak pulang bareng."

Mbak Neta tahu bang Elang karena dulu dari TK sampai SMA, mbak Neta adik kelasnya bang Elang.

"Mbak denger mereka mau buka mall baru. Kamu udah denger?"

"Masa iya mbak. Permata baru denger. Kaya banget ya mereka mbak." Permata menjeda mengetik di laptop dan menghadap mbak Neta lagi.

"Iya, kaya banget. Pengusaha sukses."

"Mbak Neta tahu kabarnya bang Elang sekarang?" Permata kepo.

"Kalau nggak salah, abangnya nikah sama anak pejabat tinggi."

"Wih keren ya mbak. Selevel."

"Nggak sembarangan orang bisa jadi menantu keluarga mereka. Kamu harus ingat itu Permata."
Mbak Neta berbalik badan dan memandang Permata sambil tersenyum.

"Iya mbak. Mereka keluarga terpandang dan pebisnis tentunya mencari keluarga yang terpandang juga atau dapat bekerjasama dengan mereka."

"Betul. Bahkan nikahannya Elang kalau nggak salah masuk koran 4 tahun lalu."

"Wih, sayangnya korannya nggak sampai Bandung ya mbak. Pengen lihat jadinya, pasti mewah banget." Permata mengingat dirinya yang 4 tahun lalu belum ada di rumah.

Mbak Neta menyudahi memoles wajahnya lalu ke kamarnya.

"Huftt, untung mbak Neta nggak tanya aneh-aneh. Berlian bukan temen mbak, tapi musuh." Monolog Permata di kamarnya sendiri.

####

"Kamu sudah menentukan pilihan mau ambil prodi apa?" Laki-laki separuh baya itu menghentikan membaca koran dan menanggalkan kaca matanya di meja tamu.

Anaknya yang baru saja masuk rumah seketika langsung duduk di seberangnya.

"Manajemen?"

"Sesuai keinginan ayah, kamu akan segera lulus dan untuk universitasnya seperti yang sudah kita bicarakan sebelumnya."
Ayahnya menghentikan menyesap teh dan memandang penerus bisnisnya.

"Apa harus ke sana? Mengapa tidak kuliah di sini saja?"

"Di sana lebih baik. Ayah mau yang terbaik buat kamu. Jangan kecewakan ayahmu dan menurutlah seperti kakakmu."

"Tapi. . ." Ucapan itu berhenti karena interupsi suara bentakan.

"Jangan membantah. Jika kamu tidak mau, kamu boleh keluar dari rumah ini dan jangan menggunakan motor atau mobil milik ayah."
Laki-laki itu berucap sambil berdiri.

Anaknya syok tidak percaya akan kata yang keluar dari mulut ayahnya.

"Ayah, sabar. Dengarkan dulu yang ingin Berlian katakan." Ucap istrinya ikut berdiri dan mengelus bahu suaminya.

"Ini yang terbaik buat dia." Ucap ayah Berlian lalu pergi berjalan ke ruang kerjanya.

"Ayah, Berlian mau menuruti perintah ayah tapi Berlian punya satu syarat. Anggap saja kita impas, ayah memaksa Berlian untuk ke Singapura dan Berlian meminta sesuatu yang harus ayah setujui sebagai gantinya."

Ayahnya berbalik dan tersenyum miring.

"Katakan."

"Apapun yang Berlian lakukan di sekolah ayah tidak perlu ikut campur dan harus menyetujuinya."

"Oke. Jika tindakanmu keluar batas maka ayah tetap ikut campur."

"Tidak akan."
Ucap anaknya lalu pergi menaiki tangga menuju kamarnya.

####

2 April 2023

Berlian Permata Where stories live. Discover now