Part 2: Competition

1.2K 163 12
                                    



Kompetisi antara Singto dan Krist semakin sengit sampai murid lain di sekolah itu termasuk para guru dan kakak kelas juga menyadarinya. Krist dan Singto selalu berebut mendapatkan peringkat satu paralel di tiap ujian akhir semester. Jika di semester ini Krist mendapat peringkat satu maka di semester berikutnya Singto yang mendapat peringkat satu dan begitu seterusnya.

Bukan cuma berkompetisi secara nilai akademis, mereka juga berkompetisi dalam talenta-talenta lain yang mereka miliki. Singto yang merupakan seorang kapten team basket berhasil memenangkan pertandingan basket melawan sekolah lain. Tak mau kalah, Krist juga mengikuti kompetisi berenang tingkat provinsi dan berhasil memenangkan medali emas.

"Udahlah Wan... Gapapa kali ini gak bisa ikut kompetisi. Siapa tau tahun depan bisa.", ujar Singto ketika berusaha menenangkan sahabatnya yang sedang sedih karena gagal ikut kompetisi berenang.

"Padahal kau tau to. Aku udah latihan susah payah dari tahun lalu. Tapi tetep aja aku gak bisa ngalahin rekornya Krist. Makanya dia yang jadi perwakilan sekolah buat ikut kompetisi bukan aku.", jawab Tawan.

"Jadi kau mau nyalahin Krist?"

"Bukan mau nyalahin Krist. Aku cuma kecewa sama diri sendiri. Kenapa sesusah apapun aku berusaha tetep gak bisa ngalahin Krist?"

"Setiap orang itu punya kesempatannya masing-masing wan. Mungkin sekarang bukan kesempatanmu.", ujar Singto dan sepertinya Tawan memahaminya. Pria itu sudah mulai lebih tenang.

Beberapa minggu setelah memenangkan kompetisi renang, Krist mengundurkan diri dari club renang. Alasannya keluar dari club renang karena ia dimarahi oleh ayahnya yang tidak ingin Krist menggeluti dunia olahraga. Ayah Krist tidak ingin identitas putranya sebagai seorang omega akan ketahuan jika Krist menggeluti karir sebagai atlet. Karena tidak menutup kemungkinan di dunia olahraga akan ada pengecekan medis yang berisiko, karena gender kedua Krist yang asli bisa ketahuan. Ayah Krist hanya ingin agar Krist berkompetisi dalam bidang akademis saja dan menghindari hal-hal yang dapat membuat identitasnya terekspos.

Tawan masuk ke dalam ruang kelasnya dengan keadaan hati yang nampak tidak baik. Dari raut wajahnya terlihat ia sedang kesal. Ia langsung duduk di kursinya dan memendam wajahnya di tas ranselnya.

"Kenapa wan?", tanya Singto yang menghampiri tempat duduk Tawan.

"Krist keluar dari club! Kalo dia mau keluar dari club kenapa gak dari kemaren-kemaren? Sekarang sekolah kita gak punya perwakilan buat lanjut ke kompetisi nasional!", ujar Tawan penuh penekanan.

"Malah bagus dong kalo dia keluar jadi kan kau bisa gantiin dia ikut kompetisi nasional?"

Tawan menggebrak mejanya. "Gak bisa segampang itu to! Yang bisa ikut kompetisi nasional itu cuma yang menang di kompetisi tingkat provinsi. Egois banget si Krist itu! Kalo gak niat gak usah ikut kompetisi dari awal!", ujar Tawan marah-marah.

Singto tidak tahu harus bersikap apa. Sebagai seorang teman dekatnya Tawan seharusnya ia ikut marah pada Krist. Tapi anehnya ia tidak bisa marah pada rivalnya itu.

Singto menyadari bahwa akhir-akhir ini ia semakin senang menanggapi kompetisi dingin antara dirinya dengan Krist bukan dengan alasan Krist adalah rivalnya. Tetapi memang karena Singto suka mencari perhatian Krist. Walaupun Krist selalu memandangnya dengan tatapan tajam dan wajah jutek, tapi anehnya Singto selalu menyukai itu. Aneh. Ia sering terngiang-ngiang tatapan tajam dan wajah jutek Krist setiap kali melihatnya.

Sejak Tawan tidak suka pada Krist, semakin jarang Singto dapat melihat Krist atau sekadar berpapasan dengan Krist di kantin maupun di lorong sekolah, karena Tawan selalu menyeretnya untuk menghindari berpapasan dengan Krist.

"Apa sih wan?", ujar Singto ketika Tawan menarik-narik lengannya ketika Singto sedang antri ingin membeli nasi ayam goreng di kantin.

"Itu. Ada Krist dateng."

"Ya terus kalo ada Krist kenapa emangnya?", ucap Singto secara verbal padahal dalam hatinya berucap, mana? Mana Krist? Udah lama banget gak liat....

Belum sempat Singto melihat batang hidung Krist, Tawan sudah menariknya kembali ke kelas. "Kau kenapa sih wan? Kan aku lapar!"

"Kau kan bawa bekal kenapa masih mau beli ayam kantin?! Padahal bekalmu udah buatan chef sekelas chef hotel bintang lima.", ujar Tawan.

"Kan aku juga pengen makan ayam Bu Natcha. Emangnya kenapa sih kau gak mau banget papasan sama Krist?", padahal Singto hanya ingin pergi ke kantin. Siapa tahu ia bisa melihat wajah Krist.

"Aku takut to.", jawab Tawan.

"Takut kenapa?"

"Janji jangan bilang siapa-siapa ya? Cuma kau yang tahu."

Singto mengangguk pada temannya itu.

"Pas Krist keluar dari club renang, aku marah banget kan. Terus aku mau ngerjain dia gitu. Aku nulis surat yang isinya hujatan buat dia. Pas aku mau tarok surat itu di lokernya, aku gak sengaja lihat botol obat. Tapi... obat itu...", Tawan menggantung ucapannya dan membuat Singto makin penasaran.

"Obat apa?!"

"Itu obat supresan omega.", jawab Tawan sembari berbisik di telinga Singto.

"HAH?!", Singto sampai berteriak saking terkejutnya sampai Tawan membungkam mulutnya. "Yakin kau?!"

"Yakin to. Aku yakin seratus persen. Soalnya obat supresan itu sama kaya yang dipakai kakakku. Makanya to aku takut. Udah kau jangan dekat-dekat sama Krist, takutnya dia beneran omega. Kau tahu kan omega itu bahaya banget buat alfa? Kalo omega itu saudara sendiri sih gapapa, tapi kalo omega itu bukan saudara... Feromonnya bisa bikin kau gila...."

Singto menepuk bahu temannya itu. "Ngayal kau. Mana mungkin omega bisa masuk di sekolah ini? Kau lupa kalo daftar ke sekolah ini harus pakai surat hasil test gender kedua?"

"Eh iya juga ya..."

"Paling kau salah. Cuma mirip aja itu obatnya. Atau itu punya omeganya kan kau gak tahu.", ujar Singto.

"Eh bener juga kau! Kan kalo udah umur 17 tahun biasanya alfa-alfa konglomerat kaya dia udah punya omega yang bakal jadi jodohnya kan? Eh bentar... Berarti kau juga udah ada omega dong? Ciee ciee cieee siapa tuh? Cantik gak?", Tawan langsung tertawa-tawa dan mulai menggoda temannya.

"Sstt!! Aku belum liat omega yang dijodohin ke aku. Tapi gak mau aku sama anak kenalan ayahku."

Gak aku gak mau dijodohin... Soalnya aku sukanya sama alfa., batin Singto. Alfa yang ia maksud adalah Krist Perawat. Seorang alfa yang membuat Singto meragukan dirinya sebagai alfa. Mau mengelak seperti apapun, Singto tidak dapat membohongi diri sendiri bahwa dirinya menyukai Krist. Ia menyukai seorang alfa.

Tapi cerita Tawan membuat Singto semakin curiga.... Apakah benar Krist sebenarnya bukan seperti yang dikira semua orang? Benarkah penciumannya yang mencium aroma feromon omega itu bukan hanya perasaannya semata?

Aku harus mencari tahu kebenarannya. Apakah aku memang menyukai seorang alfa atau aku menyukai seorang omega yang menyamar sebagai alfa?







- To be Continued -

My Alpha is My OmegaOù les histoires vivent. Découvrez maintenant