Cover bye @aimeeAlvaro
Nathalya Silvia. gadis cantik 24 tahun ditinggal menikah oleh kekasihnya tanpa kepastian. Keluarga Nat--sapaan akrabnya-- yang masih percaya mitos di keluarga besar mereka mendesak Nat untuk segera menikah dan mencari suami...
Saat pulang dari kantor waktu sudah menunjukkan hampir pukul 9 malam. Hal ini membuat Nat memacu kendaraannya lebih kencang dari biasanya. Nat tidak terbiasa keluar rumah di malam seperti ini. Mungkin ini juga salah satu faktor mengapa Riko meninggalkannya karena Nat adalah tipe perempuan yang jarang keluar rumah. Apalagi menghabiskan waktu dengan nongkrong bersama teman ataupun kelabing.
Nat mengerut keningnya ketika melihat sebuah mobil berhenti di pinggir jalan. Sementara, terlihat beberapa orang mengerumuni mobil tersebut dan Nat dapat melihat adanya pengeroyokan terjadi.
Keningnya mengerut ketika melihat salah satu dari empat orang yang berkelahi. Entah mengapa ia merasa mengenali siluet salah satu dari mereka.
Nat turun dari mobil dan menghampiri lokasi pengeroyokan yang memang terjadi di jalan sepi.
"Berhenti!" seru Nat.
Empat orang yang sedang berkelahi itu menghentikan gerakan mereka dan menatap ke arah Nat.
"Heh, ngapain lo di sini? Pergi sana! Jangan ikut campur urusan kami!" usir seorang pria berpakaian preman pada Nat.
Nat menatap ketiga pria berpakaian preman kemudian beralih menatap salah satu di antaranya yang saat ini sudah agak babak belur.
Gadis itu mengangkat sebelah alisnya tidak menyangka jika laki-laki yang dikeroyok oleh ketiga preman tersebut adalah tetangga apartemennya.
"Dia teman saya. Kalian bisa pergi dari sini atau enggak saya akan panggil polisi," ancam Nat. Ekspresi wajahnya yang serius tentu saja membuat ketiga preman itu saling menatap. Namun, bukannya takut ketiganya justru tertawa terbahak-bahak.
"Lo pikir kita takut sama polisi? Sebelum polisi sampai di sini, lo mungkin udah habis karena kita!" balas preman tersebut tanpa takut.
Mereka biasa beroperasi di daerah sini di mana jalanan akan sepi saat jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Ini adalah salah satu jalan pintas yang biasa dilewati ketika para pengemudi menghindari kemacetan.
Mendengar ancaman yang tidak diindahkan oleh para preman tersebut, Nat berdecap.
Gadis itu menunduk dan melepaskan sepatu hak tinggi yang ia kenakan kemudian meletakkannya dengan rapi di pinggir jalan sambil berdoa di dalam hati semoga saja tidak ada kendaraan yang lewat dan menabrak sepatu yang baru dibeli oleh mamanya saat mereka tiba di kota ini.
Setelah itu, Nat menegakkan tubuhnya dan mengangkat sedikit roknya agar memudahkan gerakannya.
"Ayo, maju."
Nat memberi kode agar para preman tersebut maju. Sementara Arga yang saat ini posisinya sudah sedikit babak belur spontan melebarkan matanya dan menggeleng kepala memberi kode pada gadis yang merupakan tetangganya untuk pergi. Sayangnya, para preman itu justru tertawa dan salah satu dari mereka melangkah maju menghampiri Nat sambil terkekeh.
Pria itu mengulurkan tangannya berniat untuk menangkap lengan Nat. Namun, Nat justru menghindar dan melempar tinjunya ke bawah mata preman tersebut. Tidak sampai di situ saja, Nat menendang bagian paling vital pria itu hingga jatuh tersungkur ke aspal.
Nat menegakkan tubuhnya saat melihat lawannya sudah jatuh. Gadis itu kemudian beralih menatap kedua preman yang saling menatap dengan kaget saat melihat gerakan Nat.
"Maju." Pemimpin preman tersebut memberi kode pada anak buahnya untuk maju sehingga mereka berdua melangkah menghampiri Nat dan memberi pelajaran pada gadis yang sudah ikut campur dalam urusan mereka.
Lima menit kemudian.
Nat menatap ketiga preman yang sudah tergeletak di jalan sambil menghubungi nomor polisi yang memang sudah ada di kontaknya. Nomor ini dimasukkan oleh papanya saat mereka baru tiba di kota ini. Papanya ingin Nat segera menghubungi nomor temannya yang berprofesi sebagai polisi ketika Nat menemukan sesuatu yang berbahaya.
Usai menghubungi nomor polisi, Nat segera menghampiri Arga yang saat ini sedang bersandar pada pintu mobil dengan posisi duduk di aspal.
"Mas-nya enggak apa-apa? Kita pergi ke rumah sakit sekarang, gimana?"
"Enggak usah. Saya enggak mau ke rumah sakit. Tolong, bawa saya ke apartemen aja. Nanti saya akan panggil dokter yang biasa merawat saya," sahut Arga.
Arga tidak ingin dibawa ke rumah sakit karena pasti orang tuanya akan tahu apa yang ia alami. Malam ini memang Arga pulang sendiri menggunakan mobilnya. Sementara sopir yang bertugas saat ini sedang izin tidak masuk karena istrinya masuk rumah sakit.
Arga tidak bisa membayangkan jika maminya tahu ia nyaris menjadi korban perampokan. Bisa dipastikan ia tidak akan diizinkan keluar dari rumah selama sebulan penuh. Membayangkannya saja Arga sudah bergidik ngeri. Kalau hanya untuk istirahat di rumah ia tidak masalah. Namun, saat mendengar suara omelan maminya yang meminta ia segera mencari pacar dan menikah, Arga tentu saja tidak tahan. Belum lagi bapak kandung dan ibu tirinya juga pasti akan memberikannya pengawal untuk menjaganya.
"Kalau begitu, saya antar aja ke apartemen Mas. Nanti mobil Mas, saya akan minta sama pak polisi untuk antar di apartemen."
"Terima kasih." Arga menganggukkan kepalanya.
Nat membantu memapah Arga untuk masuk ke dalam mobilnya. Sebelum itu ia menghubungi nomor teman papanya dulu untuk meminta tolong membawa mobil Arga. Sementara para preman masih tergeletak lemah diaspal akibat pukulan dari Nat.
Mobil akhirnya melaju pergi meninggalkan lokasi kejadian menuju apartemen tempat mereka tinggal.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Sipnopsis:
Dinda Fareta tidak pernah menyangka jika kedatangannya untuk mengunjungi rumah pamannya yang sudah merawatnya sejak ia kecil hingga berusia 15 tahun berujung pada pernikahan yang sudah ditetapkan oleh sang paman. Hal itu membuat Dinda pasrah menerima kenyataan jika ia harus menikah dengan Muhammad Fahri yang berprofesi sebagai guru honorer dan petani di sebuah desa yang cukup jauh dari kota. Baik Fahri atau keluarganya tidak ada yang tahu jika Dinda adalah seorang direktur dari perusahaan ternama.