37 • Pertandingan terakhir?

6.9K 521 63
                                    

Sesuai dengan ucapannya, Malven benar-benar ingin membuktikan kalau dia bisa. Malven ingin membungkam semua orang dengan keberhasilannya. Pertandingan hanya tinggal hitungan jam, tapi cowok jangkung yang telah berkeringat banyak itu belum juga mau berhenti berlatih sendiri. Semua tim basket SMA Brawijaya sudah pulang untuk istirahat dan siap-siap. Namun Malven, dia tetap berada di sekolah. Cowok itu terus memaksa tubuh yang sebenarnya sudah banyak memberi tanda jelas kalau lelah. Malven tidak peduli, dia hanya sedang berusaha agar nanti sore bisa menjadi pertandingan terbaiknya.

"Mau sampai kapan lo di sini?"

Hingga satu suara terdengar, cowok itu berhenti sejenak untuk menengok. Dia berdecak malas kala melihat kedatangan Jeremy. Tanpa mempedulikannya, Malven lanjut berlatih.

"Stop Mal, lo mau sampai kapan latihan? Udah cukup, lo juga butuh tenaga untuk tanding."

"Mending lo pergi, Jer. Tinggalin gue. Gue lagi males dengerin ceramah."

"Gue udah dengar cerita Thomas. Jangan kayak gini lah."

Kaki itu tak lagi melanjutkan langkahnya. Bola oren yang sudah masuk ke dalam ring dia biarkan menggelinding begitu saja alih-alih menangkapnya. Sambil membelakangi Jeremy, Malven menarik sebelah ujung bibir. Dia tertawa pelan.

"Lo juga mau ngebenerin ucapan Thomas kan? Udahlah, udah tau gue."

Jeremy membuang napasnya kasar. Dia lalu berjalan mendekat ke arah Malven, memegang bahunya dari belakang kemudian menepuknya berulang kali.

"Gue nggak mau belain siapa-siapa. Gue juga nggak membenarkan omongan Thomas. Gue cuma mau lo istirahat, udah cukup latihannya."

Sampai tiba-tiba Malven berjongkok dan mengejutkan Jeremy. Cowok itu mengusap wajahnya dengan kedua tangan secara kasar. Perlahan, dapat Jeremy saksikan kedua bahu lebar yang mulanya tenang kini mulai bergetar.

"Mal?"

"Tai! Gue capek, Jer!"

Mendadak lidah Jeremy terasa kelu. Perkataan Malven sukses menyentak batinnya. "I—iya, gue paham. Mangkanya pulang dulu gih, istirahat bentar."

Setelah itu barulah Malven kembali berdiri. Dia mengusap air matanya. Malu, baru kali ini dia menangis di depan orang. Jeremy pula orangnya.

"It's okey, lo juga manusia, lo punya air mata, jadi lo bebas buat keluarin air mata itu kapan aja. Jangan lagi ditahan-tahan. Kalau lo mau cerita, mau nangis, apapun itu lo bisa ke gue, Mal. Gue janji rahasia lo akan selalu aman," kata Jeremy dengan pelan disertai senyum canggung.

"Thanks, Jer."

Jeremy mengangguk tulus. Dia membiarkan Malven mengemasi barang-barangnya dan pergi terlebih dahulu. Ini kan yang dibutuhkan Malven? Telinga untuk mendengar bukan mulut untuk menghakimi. Tidak ada yang tau apa isi pikiran manusia sebenarnya, jadi daripada menghakimi mending denegerin aja. Kasih saran yang gak memojokkan dan berkesan menyalahkan.

Jujur, baru kali ini Jeremy melihat sahabatnya menangis. Namun di satu sisi Jeremy juga merasa senang karena berhasil mendapat kepercayaan untuk jadi tempat berkeluh. Padahal biasanya kebalikannya.

—o0o—

Regan

|Ta, aku punya kabar baik|
|Coba tebak coba tebak|
|Papaku gak jadi pergi ke LN Ta|
|Atasannya tiba-tiba batalin kontrak. Sedih sih, tapi seneng juga karena dengan begini aku jadi masih bisa dekat dengan kamu|
|Kamu seneng juga gak Ta?|
|Habis ini jalan yuk|
|Eh, tapi kamu lagi mau nonton Malven tanding ya? Kalau habis nonton Malven kita jalan, kamu mau kan?|

MALVEN ALVITO [Sedang PO]Where stories live. Discover now