Bagian 18

384 62 11
                                    

Narendra melambaikan tangannya pada mobil yang dikendarai oleh sang ayah. Bagas tidak langsung pulang ke rumah dikarenakan tiba-tiba sang sekretaris mengabarinya untuk meeting dengan client yang akan bekerja sama dengan perusahaannya. Meskipun ada sedikit umpatan-umpatan mengesalkan tapi profesional harus tetap dijalankan. Untung saja di mobil, masih ada beberapa pakaian formal kantornya karena biasanya Bagas akan menggantinya di kantor jika ia tidak sempat untuk pulang karena pekerjaannya itu. Berterimakasih lah kepada sang istri yang mengusulkan hal tersebut. Maka dari itu, Narendra di turunkan dahulu setelah Bagas menemani anaknya berlatih drama.

Pemuda tampan itu menghela nafas berat, entah kenapa tujuan ia pulang saat ini begitu salah baginya. Ada perasaan tidak mengenakan ketika ia pulang lebih awal dari biasanya. Apalagi sepertinya, Gisela belum menapakkan kakinya untuk pulang ke rumah. Meskipun waktu sudah menunjukkan pukul 6 Sore. Dengan langkah berat, Narendra memasuki wilayah rumahnya dan membuka pintu utama tersebut dengan perlahan. Suasana seperti biasa, sepi dan tidak ada sambutan dari sang ibu. Sudah terbiasa bagi Narendra ketika ia pulang ke rumah ini. Berasa tidak pulang ke rumah.

"Ma aku pulang"

Sapaan pertama itu tidak ada sahutan dari sang ibu. Narendra mengernyitkan dahinya heran, mengapa ibunya tidak ada dirumah. Apa ia berada di taman belakang? Narendra langsung melangkahkan kakinya ke arah belakang rumahnya tapi baru saja satu tapak ia langkahkan, Nirina dengan wajah datarnya turun dari tangga lantai 2 dan memegang sebuah buku serta kertas entah apa itu. Narendra tidak mengerti.

Nirina menghampiri anak lelakinya dan tanpa perasaan melemparkan kedua barang itu dihadapan sang anak. Narendra yang tersenyum ramah pun langsung luntur akibat perlakuan sang ibu yang begitu di luar nalarnya. Saking terkejutnya, ia hanya bisa terdiam tanpa melakukan apapun. Semua skenario yang akan dibicarakan ibunya mendadak memenuhi otaknya.

"Puas kamu bohongin mama tentang masalah ini? PUAS NARENDRA?!"

Narendra masih diam, mencerna ucapan sang ibu. Apa maksudnya? Apakah ibunya mengetahui semuanya? Nirina menggelengkan kepalanya tidak menyangka.

"Kenapa kamu gak pernah cerita soal masalah Gisela ke mama? Kenapa malah kamu tutupi huh? Apalagi kamu gak sigap nolongin dia yang hampir aja di perkosa lagi sama bajingan itu!! Dimana otak kamu Narendra?! DIMANA?!!"

"Adek kamu butuh bantuan dan kamu malah asik-asikan main teater?! Mama gak nyangka kamu sekejam itu! Dan kamu juga nyembunyiin itu semua dari mama. Dari kamu yang diam-diam ikut lomba teater itu sampe masalah Gisela yang hampir lagi jadi korban pemerkosaan sama orang yang sama. Apa yang ada dipikiran kamu itu?! Jawab Narendra! Mama lagi bicara sama kamu!"

Narendra tersenyum kecil meskipun hati sudah begitu tergores akibat ucapan sang ibu. Ia dengan berani menatap manik ibunya dengan mata yang sudah memerah. Tidak ada bedanya dengan Nirina yang menahan emosi agar tidak kelepasan untuk melukai anak kandungnya sendiri.

"Mama sadar gak, kenapa aku gak pernah ceritain semua ini ke mama? Mama sadar gak kalo aku gak cerita ke mama karena sikap mama yang buat aku harus urung buat cerita. Mama selalu lebih merhatiin Gisela dibandingkan aku. Buat nanya kabar aku disekolah aja mama gak pernah. Gisela terus yang mama tanya hari-harinya, gimana sekolahnya, kasih sayang terus melimpah buat Gisela. Tapi aku, aku gak pernah sedikit pun dapet hal itu dari mama. Seakan keberadaanku itu gak penting. Apa yang mama tanyain ke aku, selain selalu nyuruh aku belajar ini dan itu biar aku bisa wujudin cita-cita mama. Bahkan kayak gini aja, mama masih aja mikirin gimana keadaan Gisela tanpa tau aku disini juga kayak gimana. Gisela, Gisela, dan Gisela mama selalu cuman merhatiin dia tanpa merhatiin aku juga. Selalu nama itu yang tersemat di dalam ucapan dan pikiran mama, tanpa ada terbesit sedikit pun namaku di ucapan atau pikiran mama. Lucu banget"

ELEGI ✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora