Part 3

19.5K 2.3K 28
                                    

Sepulang sekolah, Nayela meminta supirnya, Paman Eddie, untuk mengantarkannya ke sebuah toko buku sebelum kembali ke rumah. Dan di sinilah ia berada, di antara jajaran rak buku.

Nayela berjalan menyusuri rak yang berisikan novel bergenre misteri. Sesekali ia mengambil salah satu buku dan membaca sinopsisnya. Ia mengambil dua buku yang sesuai dengan seleranya lalu melangkah menuju rak buku pengembangan diri.

Ia mencari buku yang direkomendasikan temannya yang berada di Inggris. Mereka bilang buku itu bagus dan termasuk bestseller. Bersampul merah dengan font putih besar.

Mata cokelat terangnya memindai semua sampul buku di hadapannya. Hingga tatapannya tertuju pada satu-satunya buku yang berada di rak paling atas. Ia lantas berjinjit untuk meraihnya.

Namun, belum sempat jarinya menyentuh buku itu, sebuah tangan lain lebih dulu mengambilnya. Nayela menoleh dan mendapati wajah yang familier. Gadis itu mengira orang itu membantunya.

"Ah, teman sebangku, terima kasih," ucapnya ramah.

Pemuda di hadapannya mengernyitkan dahi sambil menatapnya aneh. Namun, tanpa mengatakan apa pun, Keiran pergi dari hadapan Nayela. Dan dia juga membawa bukunya!

Nayela termenung sesaat. Pipinya tiba-tiba tercemar warna kemerahan. Gadis itu malu! Bagaimana bisa ia berangan Keiran membantunya mengambil buku ketika keduanya bahkan tak saling akrab?

Gadis itu memejamkan matanya sesaat, melupakan kekonyolannya sebelum menghela napas pelan dan berjalan menghampiri salah satu petugas toko buku.

"Permisi, apa buku ini masih ada?" tanyanya sembari menunjukkan sampul buku yang ada di ponselnya.

"Sebentar, Nona, saya akan mengeceknya," jawab si petugas itu lalu mengetikkan sesuatu di komputer.

Beberapa saat kemudian ia menatap ke arah Nayela dengan ekspresi menyesal. "Maaf, Nona. Sepertinya buku terakhir telah terjual hari ini."

Nayela menghela napas pelan lalu mengangguk. Ia mengucapkan 'terima kasih' sebelum melangkah ke arah meja kasir untuk menyelesaikan transaksinya.

Ketika ia keluar dari toko buku, ia mendapati bahwa hujan telah turun begitu deras. Gadis itu merogoh ponselnya untuk mengirim pesan pada supirnya dan memintanya untuk menjemputnya di pintu masuk.

Setelah menyimpan kembali ponselnya, tatapannya kini tertuju pada tetesan air hujan. Tangannya terulur untuk menampung tetesan itu. Rasa sejuk langsung menyelimuti telapak tangan mungilnya.

Kala ia sibuk menikmati hujan, tatapan mata cokelat terangnya tertuju pada satu titik. Seorang pemuda di seberangnya yang tampak memeluk tasnya sembari menatap ke arah langit.

Seragam putih kusamnya tampak basah kuyup dan membuat kaos berwarna hitam di tubuhnya tercetak jelas. Ia begitu kurus, tapi tampak kuat dan tangguh.

Entah Nayela menyatakan itu karena kisah hidupnya atau karena penampakannya di luar sana. Namun, ia tahu di balik itu semua, ia hanya orang normal pada umumnya yang bisa merasa kesepian.

"Nona?"

Nayela menoleh dan menemukan Paman Eddie ada di hadapannya dengan membawa dua payung, satu payung berwarna biru cerah adalah miliknya. Sesaat, sebuah ide melintas di kepalanya.

•••

Di sudut lain, Keiran yang berdiri di seberang Nayela, tidak menyadari keberadaan gadis itu sama sekali. Ia hanya menatap ke arah langit dengan pandangan kosong.

Ketika hujan turun, ia akan selalu ingat wajah ibunya yang hangat. Ia mengingat ibunya membuatkan dua cangkir cokelat panas saat hujan turun agar dirinya tak merasa kedinginan.

Padahal itu sudah lama sekali. Tujuh tahun? Keiran bahkan meragukan waktu karena selama ia berada di 'neraka' itu, waktu seakan berjalan seribu kali lebih lambat dari sebelumnya.

Namun Keiran tak pernah sekali pun melupakannya. Perasaan hangat kala itu. Aroma ibunya yang lembut dan menenangkan. Bahkan ia ingat suara halusnya saat sang ibu memanggil namanya.

"Keiran.."

Tatapan mata biru Keiran yang semula tertuju pada rintik hujan, kini beralih pada sepasang netra indah sewarna madu yang teduh dan hangat. Entah hanya sebuah ilusi semata atau kenyataan, Keiran hampir tak bisa membedakannya.

"Keiran? Itu benar namamu, bukan?" tanya si pemilik mata cokelat itu lagi, membuatnya tersadar. Dahinya mengernyit kala menyadari siapa gadis itu.

"Ambillah ini," katanya sambil menyodorkan sebuah payung berwarna biru langit yang cerah padanya. Ia masih belum merubah ekspresinya.

"Hujan sepertinya tidak akan berhenti dalam waktu dekat," imbuhnya.

Melihat Keiran tidak menyambut payungnya, Nayela mendekat dan meraih sebelah tangan pemuda itu lalu meletakkan payung biru itu di atasnya. Senyum hangat terbit di bibirnya.

"Sampai jumpa." Setelah mengatakannya, gadis itu berlalu pergi dengan seorang pria berpakaian necis yang membawa payung untuk melindunginya dari hujan.

Keiran menatap ke arah punggung Nayela yang telah menjauh sebelum menunduk dan menatap payung di tangannya. Genggaman tangan itu mengerat.

"Apa yang gadis itu inginkan?" gumamnya sinis.

Sejak kembali ke kediaman Zachary, Keiran tampak mengalami krisis kepercayaan pada orang-orang di sekitarnya, dan Nayela juga termasuk salah satunya.

Keiran melemparkan payung biru cerah itu ke tanah lalu mengangkat tasnya ke atas kepalanya sebelum berlari menembus hujan. Ia meninggalkan seonggok payung itu di tempatnya.

Sementara Nayela tidak mengetahui hal itu. Ia tetap berpikir Keiran menerima payungnya, sehingga gadis itu sedikit berharap jika hubungan antara dirinya dan Keiran akan membaik. Namun meski demikian, tidak tahu kenapa, ia masih khawatir.

Menurut skrip, bahkan jika Keiran sakit, keluarganya tidak peduli. Mereka tidak akan dengan rendah hati membiarkan pemuda itu beristirahat dengan tenang.

"Semoga kau baik-baik saja," gumam Nayela dengan suara lirih sehingga Paman Ed bahkan tidak berhasil menangkap suaranya.

Kembali pada Keiran yang kini telah berada di depan mansion Zachary dengan kondisi tidak ada satu pun dari sudut tubuhnya yang tidak tersentuh air hujan.

Ketika ia masuk, suasana hangat yang sebelumnya menyelimuti sekelompok orang di ruang keluarga itu mendadak lenyap. Mereka menatap padanya sinis.

"Hei, anak sial, kau mengotori rumahku, kau tahu?!" ujar wanita paruh baya dengan nada sinis dan jijik.

Keiran hanya diam dan berjalan lurus tanpa berniat menghiraukan kalimat itu. Namun, perbuatannya itu justru memancing amarah wanita itu.

Wanita itu bangkit dan menghampiri Keiran. Sebelah tangannya yang dihiasi perhiasan menarik seragam pemuda itu kuat-kuat hingga tercipta sobekan, lalu setelahnya, suara tamparan menggema di ruangan itu.

Pipi Keiran memerah dengan mengerikan, tapi sang empunya hanya diam. Wanita itu tidak berhenti dan menghardiknya, "Jangan mengabaikan majikanmu lain kali, pelayan!"

Keiran menatap tajam mata lawan bicaranya, hingga membuat wanita itu terkejut dan bergidik. Namun itu tak bertahan lama seolah hanya sebuah ilusi.

"Saya mengerti, Nyonya," ucap Keiran datar.

👾Tbc👾

Bale's Note:
Hai, hehe! Jangan bosen sama note dari aku yah. Jangan bosen juga kalo alurnya kerasa agak lambat, hehe. 

Aku lihat-lihat, dari dua bab kemarin, antara vote sama viewers-nya agak kebanting yah, wkwk. Kalau misal aku kasih target buat bab 1 sampai bab 3 ini masing-masing 10 vote bisa gak ya? hehe😳😳

Kalau bisa, aku mungkin bakal kasih hadiah double up buat malam ini. Kalau gak bisa ya gak apa-apa sih, tapi gak double up, heheh. Mungkin baru besok atau lusa.😮‍💨😮‍💨

Okei itu aja. Terima kasih udah mampir!

Ciao!💜

In Order To Save The Male Antagonist's LivesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang