(2) Part 11

7.3K 1.1K 123
                                    

"Gahh!"

Sander terbangun paksa dari tidurnya karena mimpi yang aneh. Dalam posisi duduk, deru napas pria itu terdengar cepat dan berat selayaknya atlet pelari yang baru saja mengikuti lomba lari maraton sejauh puluhan kilometer.

Peluh memenuhi setiap sudut wajah tampannya. Ia bahkan dapat merasakan jantungnya yang berpacu sangat cepat sebangun ia dari tidurnya.

Mimpi yang barusan dialaminya itu terasa begitu nyata hingga ia pun ikut merasakan setiap emosi yang ada di dalamnya; kemarahan, kebencian, dendam, dan yang paling utama, penyesalan.

Kemudian ia mengingat kehangatan tubuh ringkih gadis di pelukannya yang berangsur-angsur menghilang dan secara bertahap mendingin, seiring dengan rona di wajah ayunya yang ikut memudar dan memucat.

Gadis yang selalu menatapnya hangat serta memberinya kenyamanan.

Di mimpinya, tubuh gadis itu begitu lunglai tak berdaya hingga tidak mampu untuk sekedar membalas pelukan darinya.

Sander memejamkan kedua matanya, berusaha untuk menetralkan perasaannya. Namun alih-alih merasa lebih tenang, justru potongan mimpi itulah yang hadir di dalam benaknya. Ia lantas membuka paksa kedua matanya.

"Tidak. Itu hanya mimpi," gumamnya berusaha meyakinkan dirinya sendiri yang, entah kenapa, merasa sangat tidak tenang dan gelisah.

Ia, entah kenapa, merasa sangat takut kala mengingat mimpinya itu. 

Sebab di dalam mimpinya itu, ia membunuh tunangannya sendiri dengan kedua tanganya.

Sander menatap kedua tangannya. Ia tidak mengerti mengapa, tapi kedua tangan itu gemetar tak karuan hanya karena sebuah bunga tidur belaka.

Dengan kasar, ia mengusap wajahnya dan melirik ke arah jam di atas nakasnya yang menunjukkan pukul tujuh pagi. 

Kemudian ia menyibak selimut tebalnya dan bangkit dari ranjangnya. Ia butuh mandi, tubuhnya terasa amat lengket karena berkeringat. Dan ia butuh air dingin untuk mengembalikan pikiran warasnya.

Tak butuh waktu lama baginya untuk membersihkan diri dan berpakaian di akhir pekan yang cukup mendung ini.

Dengan setelan sweater rajut warna krim dan celana kain warna cokelat serta sandal rumahan warna hitam, Sander melangkah keluar dari kamar untuk menikmati sarapan.

Ketika dia berada di anak tangga yang terakhir, seorang pelayan berlari dan memanggilnya dengan panik.

"Tuan! Tuan Muda!" seru pelayan itu yang rupanya adalah Bibi Kim.

Ia berbalik dan mendapati wanita itu menangis hingga wajahnya memerah dan sembab. Sander mengernyitkan dahinya spontan. Sebelum ia sempat bertanya, Bibi Kim lebih dulu bersuara.

"N-nona. Nona, Tuan!" ucapnya tidak jelas karena terengah-engah. "Nona pingsan di dapur, Tuan!"

Sander terdiam sejenak. Lalu tanpa mengatakan apa pun, ia berlari cepat seolah sudah dikomando, menuju ke dapur di mana ada beberapa pelayan berkerumun di sana.

"Tuan Muda!" pekik mereka tertahan kala melihat sang majikan yang telah berada di samping tunangannya dan dengan cekatan menggendongnya.

"Pengawal, siapkan mobil!" titahnya seraya berjalan dengan langkah lebar menuju garasi.

Ketika ia sampai di lobi, sebuah mobil hitam mewah telah siap beserta satu orang supir dan satu orang pengawal yang akan menemaninya.

Sander membawa Nayela masuk dan mobil melaju dengan cepat begitu ia menutup pintunya dengan keras.

"Cepat!" serunya dengan nada serak bercampur panik.

Tatapan matanya lalu tertuju pada gadis cantik yang tak sadarkan diri di dalam dekapannya. Wajah ayu yang tidak pernah absen tersenyum padanya itu kini tampak begitu pucat dan asing.

In Order To Save The Male Antagonist's LivesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang