43. Takdir yang tak berpihak

7K 522 118
                                    

Aleta melangkahkan kakinya menuju sebuah tempat tinggi yang telah dia dan Regan tentukan. Dari belakang tempatnya berdiri sekarang, Aleta sudah dapat menangkap sosok Regan yang memunggunginya. Aleta manarik napas sekali lagi sebelum benar-benar mendekat.

Ini pilihan lo, Ta. Untuk diri gue sendiri, gue mohon jangan egois kali ini.

"Regan?" baru setelah benar-benar yakin, Aleta memanggil.

Yang punya nama pun dengan cepat menoleh. Lantas setelah itu Aleta mendekat dan berakhir berdiri tapat di sebelah Regan. Tempat mereka sekarang ini adalah bagian tertinggi dari sebuah bangunan. Tempat yang mempunyai pemandangan kota dengan lampunya yang indah di bawah sana. Melupakan awan mendung yang tinggal tunggu waktu untuk menumpahkan apa yang dikandungnya.

"Mau ngomong apa?" tanya Regan terlebih dahulu.

Aleta diam sejenak guna mengatur degub jantung yang kurang bisa diajak kompromi. Gerak gadis itu pun terlihat sangat tidak tenang. Regan jadi tertawa pelan melihatnya. Ketika akan menyentuh kepala Aleta, Ragan dibuat cukup terkejut karena Aleta yang tiba-tiba mengambil jarak.

"Gue udah nentuin pilihan, Re, yang malam itu di rumah, lo ingat kan, pernah tanya apa?"

Mengingat sebentar, sebelum kemudian Regan refleks mengangguk pelan, mana mungkin dia lupa. "Iya, lalu? Apa ... kamu sudah bisa memutuskan sekarang?"

"Seminggu udah cukup buat gue dan sekarang gue udah dapat jawabannya. Gue sadar ada yang gue sesali selama ini, gue harap, selanjutnya kita bener-bener bisa menerima keadaan dengan ikhlas."

Kini ganti perasaan Ragan yang jadi tidak karuan. Ucapan Aleta jelas mengarah pada hal yang sama sekali tidak Regan inginkan untuk jadi kenyataan. Alhasil Regan hanya diam, membiarkan Aleta melanjutkan kalimatnya.

Gadis itu menunduk dengan memegang tali tasnya kuat-kuat. "Gue pilih Malven, Re."

Dan ya, inilah akhirnya. Keputusan final yang harus Aleta sampaikan dan Regan dapatkan. Ada senyum getir yang Aleta tangkap dari wajah cowok itu saat kepalanya mendongak.

"Maaf Regan, tapi berkali-kali gue berusaha yakinkan diri untuk pilih lo, hati gue seakan selalu menolak hal itu."

"Ta?" panggil Regan dengan sangat lembut, melupakan sesak di dadanya. "Dari awal aku udah mikir bakal kejadian kayak gini. Sejak kamu nyusul aku setelah dapat paket itu, aku udah mikir ke sini, Ta, tapi it's okey, yang kemarin biar aja anggap sebagai salam perpisahan."

"Aku seneng banget bisa sempat mengenal kamu, hadir dalam hidup kamu, ambil bagian dalam kisah kamu. Aku akan berusaha untuk menghargai setiap keputusan kamu sekarang. Tapi Ta, cerita ini ... aku mohon jangan pernah dilupain ya?" pinta Regan dengan sungguh-sungguh.

Aleta tersenyum lalu mengangguk canggung. Ada rasa lega dalam hatinya. "Iya, dan dengan siapa pun lo nantinya akan memulai cerita baru, tolong, jangan bawa-bawa gue. Buat cerita saat hati lo udah benar-benar kosong. Jangan sampai ada lagi korban patah hati selanjutnya."

"Pasti."

"Udah ya Regan, kita selesai, kalau gitu, gue mau langsung pulang. Mendung soalnya."

"Tunggu, Ta!" tahan Regan. "Boleh aku peluk kamu untuk terakhir kalinya?"

Aleta terdiam beberapa saat, hingga di detik berikutnya Aleta baru menganggukkan kepala. Melihatnya Regan tersenyum, langsung saja dia menarik Aleta ke dalam pelukannya. Regan mendekap erat tubuh Aleta, Ragan menumpahkan semuanya, memanfaatkan waktu terakhir mereka bertemu. Biarlah kisah ini memiliki akhir yang indah meski harus menemui ujung yang namanya berpisah.

"Kamu nangis, Ta? Kenapa?" tanya Regan sambil menguraikan pelukannya. "Jangan nangis please."

"Gue takut ini benar-benar jadi akhir, di mana pun nanti kita kembali dipertemukan, jangan ragu buat sapa gue ya, Re?"

MALVEN ALVITO [Sedang PO]Where stories live. Discover now