HUTAN TERLARANG [01]

160 11 0
                                    

"Ayo lah, siapa takut!" teriak Deta.

"Kalo kamu gimana, Jihan?"

Ulang Wisnu ke arah wanita memakai jilbab warna ungu.

Jihan memang masih ragu, ketika Wisnu menetapkan tempat untuk berlibur kami berlima.

Terlihat semuanya setuju dengan usul Wisnu, tapi Jihan belum bisa memutuskan sebelum ia meminta izin kepada kedua orangtuanya.

"Aduh jangan cemen dong, Han! Ayolah, kayaknya bakalan seru nanti disana. Pas banget nih buat kita yang suka sama tantangan, kan?" Sambung Ratna.

Jihan hanya mengangguk. Mau tidak mau, dia harus ikut dengan teman-teman nya.

Keberangkatan akan di mulai besok jam empat sore, masih ada waktu untuk meminta izin, dan menyiapkan apa saja yang harus di bawa.

Mulai dari baju ganti, makanan, dan tidak lupa senter untuk tambahan pencahayaan. Pastinya di sana gelap, apalagi kalau salah satu lampu mati, pasti akan sulit, jika tidak ada cadangan.

***

"Udah siap semua, kan?" teriak Wisnu ke arah kami.

Kami mengangguk, masih sibuk memasang sabuk pengaman masing-masing.

Deta duduk di sebelah Wisnu di depan, aku dan Sisil duduk di belakangnya. Sementara Ratna memilih duduk di kursi paling belakang sendirian.

"Kamu bawa banyak persediaan makanan kan, Rat?" Deta menyempatkan menoleh ke belakang dan menanyakan perihal makanan.

"Iya, tenang aja, soal makanan aku bawa banyak!" jawabnya.

Mobil perlahan melaju. Kami berlima begitu bersemangat memulai perjalanan panjang yang akan di tempuh. Tidak lupa Wisnu memutar lagu dengan volume keras di dalam mobil.

Macet panjang.

30 menit mobil baru bisa berjalan, dan terhindar dari kemacetan kota yang sering kali mengganggu dan memperpanjang waktu.

"Dingin sekali!"

Semuanya memakai jaket tebal yang telah di siapkan dari rumah.
Mobil sudah memasuki wilayah pohon pinus, hawanya sangat dingin.

Jalanan rusak, menambah lambatnya mobil melaju.
Terlebih lagi hari sudah semakin gelap, hanya ada lampu mobil yang terpancar, dengan jarak dekat.

Wisnu mematikan musik di dalam mobilnya, dan memberikan aba-aba agar kami semua berjaga.
Bukan karena apa-apa, hanya saja jalan sepi seperti ini rawan sekali orang jahat.

Begal atau pun perampok memanfaatkan jalan seperti ini di malam hari.

Sorot mata kami memenuhi sekeliling, tidak ada tanda bahaya kecuali hanya jalan panjang yang rusak dan juga gelap.

Cukup lama waktu yang di tempuh, tepatnya menjelang pagi, akhirnya kami sampai ke sebuah pedesaan.

Bisa di bilang, inilah desa yang sangat terpencil.

Yang dimana sebuah desa terletak di antara hutan-hutan. Rumah antara satu dengan lainnya pun berjauhan. Nyaris tidak ada lampu di wilayah ini, hanya ada sorotan cahaya kecil dari dalam rumah bilik bambu.

Mungkin mereka masih memanfaatkan api di damar untuk penerangan di malam hari hingga pagi hari tiba.

Jam menunjukkan pukul 02:00 pagi, suasana masih sangat gulita. Terlebih lagi sinyal ponsel sulit sekali di dapatkan. Jangankan untuk memainkan game online ataupun memberikan kabar melalui pesan whatsapp, sinyal hilang seketika memasuki wilayah ini.

"Kita parkirkan mobil di sini aja ya, sambil menunggu terang." Wisnu meminta pendapat kepada teman-temannya.

Kami semua meng-iyakan dan tidur sampai pagi tiba di dalam mobil.
Dari keberangkatan belum ada satupun dari kami yang memejamkan mata, selain hanya berjaga sampai kami menemukan sebuah desa terpencil ini.

"Aduh, Jihan bangun!"

Sisil membangunkan Jihan dengan sedikit berbisik.

Karena mengantuk berat, Jihan tidak langsung membuka matanya.
Setelah itu, Sisil membangunkan Ratna, ia berpindah posisi ke belakang. Tetapi tetap sama, Ratna juga sulit sekali di bangunkan.

***

[Pov_Jihan]

"Jihan, bangun dong." ulangnya sambil menggoyang-goyangkan badan ku.

"Aduh kenapa, Sil? bukannya masih gelap?"

"Temenin aku keluar mobil, yuk! aku kebelet nih." lirihnya.

Ah rasanya, mata ini sulit sekali terbuka. Ngantuk berat karena baru saja terlelap tidur. Yang lainnya masih pulas, tapi Sisil merengek karena tidak berani keluar mobil sendiri.

Sebenarnya memang seram, di luar masih gelap, tidak ada cahaya dan pohon di sini besar-besar.

Rasanya seperti benar-benar sedang uji nyali.

"Udah disini aja!" Seruku.

"Ih ngga mau, masa disini. Ayo temenin aku nyari tempat!"

Sisil melangkahkan kakinya menjauh dari mobil. Apa boleh buat, aku mengikutinya saja. Sisil membawa sebuah senter ditangan nya.

"Aduh disini aja deh jangan jauh-jauh!" ucapku dengan nada tinggi.

"Jihan, lihat tuh! ada sumur disana. Kamu tunggu disini dulu,"

Tanpa pikir panjang, aku langsung mengejar Sisil. Mana mungkin aku menunggunya disini sendiri, ditambah lagi dengan suara burung hantu yang tak pernah nihil ku dengar.

"Cepetan!" ucapku dari balik sumur yang menutupi Sisil.

Ah benar-benar seram. Sumur tua yang sudah berlumut terletak di atas tanah yang luas, sekelilingnya adalah rumput yang tebal.

Banyak sekali gentong-gentong terbuat dari tanah liat seperti di jaman dulu, semuanya berlumut namun masih utuh.

Air untuk menimba masih manual, hanya dengan tali panjang dan ember kecil, di lempar ke dalam dan di ambilah dengan kedua tangan, untuk menariknya.

"Han, airnya sangat kotor!" Sisil berlari ke arahku, mengusap-usapkan kedua telapak tangan yang basah ke bajunya.

"Kan tempatnya emang kotor. Udah, ayo kita kembali lagi ke mobil."

Kali ini, aku yang berjalan di depan Sisil, dengan langkah cepat.

***

"Ada apa?"

Sisil terjatuh menabrak ku, ketika langkah kakiku tiba- tiba terhenti.

Bersambung.

HUTAN TERLARANG [END]Where stories live. Discover now