HUTAN TERLARANG [03]

52 10 0
                                    

"Deta, lihat!"

Wisnu menunjuk sebuah tempat yang sudah ada di depan matanya.

"Ya, ini adalah hutan yang sedang kita cari!"

[Hutan ranting]

Yang dimana setiap pohon tidak tumbuh daun ataupun bunga, namun hanya ranting-ranting yang memenuhi setiap pohon. Ini sangat unik, benar-benar unik, amazing!

Kami semua di hipnotis oleh pemandangan alam yang begitu langka. Tidak lupa juga kami mengeluarkan kamera untuk memotretnya dan di jadikan kenangan seusai kami pulang.

Di kota, capung dan kupu-kupu sudah tidak bisa lagi kami saksikan. Tapi disini mereka berkumpul dengan banyak sekali warna-warni.

Bahkan hewan-hewan kecil lainnya masih bisa kami jumpai disini, mulai dari emas-masan dan lain-lain.

"Lihat, nggak ada seram-seramnya ternyata disini, aaa sejuk banget udaranya!" teriak Ratna sibuk memotret.

"Jangan jauh-jauh. Tetep sama-sama jangan ada yang mencar!" teriak ku kepada Ratna.

Jujur, aku masih trauma dengan kejadian pagi tadi, saat Sisil tiba-tiba menjadi dua orang. Saat itu pula lah, aku tidak bisa membedakan mana Sisil yang asli atau jelmaan nya. Aku takut hal semacam itu terulang lagi.

Dari awal kejadian itu, aku takut jika salah satu dari kami mencar di jalan yang berbeda, apalagi sudah menjelang sore kami belum membuat tenda untuk bermalam.

"Lebih baik kita buat tenda dulu, hari sudah sore!" usul ku.

Deta mendekat dan langsung membantu ku membuat tenda terlebih dahulu. Tetapi mereka masih sibuk memotret alam berlawanan arah, meskipun tanah lapang dan luas, tetap saja hati selalu ketar-ketir, mataku sibuk mengawasi kemana perginya Wisnu, Ratna dan Sisil.

"Jihan, ayo selesaikan dulu. Nanti kita susul mereka. Percuma aja kita nunggu, nanti malah kemalaman belum jadi tenda nya!"

"Iya," jawabku.

***

"Aduh, rajin sekali sih dua sejoli ini!" ledek Ratna, Sisil hanya tertawa menghampiri.

"Mana Wisnu?" tanyaku tanpa mempedulikan ucapan mereka.

"Tadi pas udah selesai memotret, dia minta kita untuk bantu cari kayu bakar. Terus karna sudah sore, kita tinggal!"

Jawab Ratna tanpa rasa bersalah.

"Wisnu juga nggak bolehin kita bawa kayu, makanya kita tinggal." Sambung Sisil.

Spontan aku langsung berdiri dan mendekat.

"Aku udah bilang, jangan misah kan? kenapa Wisnu malah kalian tinggal?" Tegasku.

"Kenapa sih Han, kamu kok parno banget. Kan biasanya juga gitu, yang penting Wisnu balik lagi ke tenda!" Jawab Ratna.

"Iya Han, kamu kenapa sih? tenang aja, Wisnu kan si pemberani di antara kita berlima, dia berpengalaman." Sambung Sisil.

Ku hela napas panjang dan membuangnya kasar, "Iya sudahlah, ayo bantu bikin tenda." ucapku mengalah.

***

"Hey, aku bawa kayu banyak nih! bikin api unggun kita!"

Wisnu melepas ikatan kayu di depan kami, dan segera menyalakan korek api karena hari sudah mulai gelap.

"Tuh kan Han, Wisnu udah balik!" sindir Ratna.

"Kenapa, ada apa?" tanya Wisnu kebingungan.

"Jihan khawatirin kamu!" jawab Sisil.

"Ya ampun di tinggal bentar doang, udah di khawatirin calon istri!"

"Ishhhhhh!"

***

Api unggun sudah menyala, tak lupa kami keluarkan bekal dan menyantapnya malam ini. Karena perjalanan panjang, bekal nasi sudah tidak tersisa. Hanya ada persediaan pop mie dan air panas di dalam termos yang kami bawa.

Makanan ringan pun di kuras dari tas masing-masing. Kulit plastik berserakan di mana-mana, Jihan lah yang bertugas memunguti dan meletakan nya di kantong keresek, karena mengingat larangan yang di katakan bapak Gani beserta warga, agar tidak membuang apapun sembarangan di sini.

Tidak terasa, kayu mulai habis terbakar. Waktu menunjukan pukul 23:15, pasti akan sangat gelap jika api itu padam, tetapi kami semua belum tertidur.

Tenda sengaja di buat lebih besar agar cukup untuk kami berlima.
Wisnu dan Deta tidur di sebelah kanan tenda, sementara kami di sebelah kiri tenda.

Dari keberangkatan masuk ke wilayah kampung Tuban hingga kemari, kami belum bisa memberikan kabar kepada orang rumah, karena sinyal sulit di dapatkan. Semoga mereka paham, karena tidak semua wilayah itu sama, terkadang terhambat oleh sinyal yang tidak mendukung.

***

[Suara gong dan gamelan]

Sulit sekali mata kami terpejam, karena mendengar suara berisik dari luar tenda.
Suara gong menggema, setelah itu diiringi dengan suara gamelan. Entah dimana kami tidak tau persis.

"Deta, Wisnu bangun!" lirih Ratna.

Jihan dan Sisil sibuk mengeratkan pelukan.

Deta dan Wisnu mungkin sudah travelling ke alam mimpi yang indah.

"Sangat tidak mungkin di tengah hutan begini ada orang yang menggelar pesta. Jika bukan orang, lalu siapa lagi kalau bukan penunggu hutan? ih merinding!"

Jelas Deta saat membuka matanya.

"Udah pura-pura nggak tau dan nggak denger aja, ayo tidur lagi!" sambung Wisnu menutup kedua telinga dengan tenang.

Sepanjang malam, suara gamelan tidak nihil terdengar. Hingga menjelang subuh tiba, suara itu seperti menjauh dari tenda dan sedikit demi sedikit kemudian menghilang.

Setelah kejadian semalam, Sisil mengusulkan untuk mempercepat kepulangan dari hutan Tuban ke kota, namun pendapatnya di bantah Wisnu dan Ratna.

"Nggak bisa lah, kita udah jauh-jauh kesini, masa mau pulang gitu aja. Kita kan belum jalan-jalan ke semua penjuru hutan ini. Sia-sia dong kalo bermalam doang, cuma numpang tidur disini!" bantah Wisnu tidak setuju.

"Lagian kan kita belum tau, ada apa aja di sini. Lumayan bisa buat konten!" Ratna mengedipkan matanya.

"Tapi ada benernya pendapat Sisil, semalem aja ada suara gamelan di tengah hutan begini. Mending kita balik aja ke kota, aku takut terjadi apa apa. Kata nenek ku kita harus waspada kalo denger suara seperti semalem, apalagi durasinya lama!" sambung Deta membenarkan.

"Lho kok sekarang kamu jadi cemen sih Det? itu kan cuma kata orang dulu, jaman sekarang jangan percaya yang kaya gitu. Selagi kita nggak ganggu, mereka nggak bakalan mungkin ganggu."

Wisnu bersikeras mempertahankan pendapatnya.

"Dan kamu juga gak akan tau, jin juga sama seperti manusia. Ada yang baik, ada pula yang jahat!" Sambung Jihan.

Jawabannya membuat semuanya bungkam.

"Ya sudah, kalo kalian mau pulang silahkan. Tapi mobil tetep aku yang bawa, kalian mau jalan kaki sampe kota?"

Mereka terdiam, satu-satunya jalan harus mengikuti keputusan nya.

***

Bersambung.

HUTAN TERLARANG [END]Where stories live. Discover now