38. DAMN

7.6K 1K 137
                                    

Dengan hati yang sudah berkecamuk, Vega menghembuskan napas untuk menetralisir jantungnya. Ia tidak tahu alasan apa Bima menyuruhnya pulang, padahal kalaupun Vega pulang atau tidak Bima tidak peduli. Apalagi nada bicara Bima yang tampak marah.

Merasa tenggorokannya kering, Vega mengambil minuman dari kulkas.

Brak!

Vega tersedak karena Bima memukul meja.

Ia melempar beberapa lembar foto ke wajah Vega.

"Lo memang mau beneran jadi jalang? Hah?! Lo tuh gue ijinin buat sekolah di SMA Atmajaya, tapi balesen lo malah kayak gini?! Ikut geng-gengan kotor kayak gitu?! Lo tuh udah bodoh ditambah ikut yang gak jelas kayak gini. Mau jadi apa lo nanti Hah?! Nggak merasa bersalah lo sama orang tua lo?!"

"LO KALAU MAU BERTINDAK TUH MIKIR, PAKAI OTAK TOLOL!" Bima yang sudah diliputi emosi mendorong tubuh Vega hingga terbentur sudut meja.

"Dapat darimana lo foto-foto ini?" tanya Vega setenang mungkin agar Bima tidak semakin marah padanya.

"Dapat darimana itu nggak penting! Dan apa ini?! Ketua Clevior?!!! Gue bisa bakar markas lo sekarang juga dan laporin geng lo itu kepolisi sekarang juga karena terlibat aksi tawuran! Lo tuh cewek nggak usah sok-sokan jadi pahlawan!!!"

Vega mengepalkan tangannya erat.

"Lo nggak tau gimana bahagianya gue kalau sama mereka, gue merasa punya tempat pulang kalau sama mereka, gue—"

"BACOT TAI!" Bima menonjok wajah Vega membuat dirinya terdiam sejenak, Bima melakukan ini padanya?

"Lo tuh nggak punya tempat untuk pulang! LO NGGAK PANTES DAPETIN ITU SEMUA SETELAH LO BUNUH AYAH VE!"

Vega berusaha agar tidak mengeluarkan air mata, ia mengepalkan tangannya erat. Dadanya naik turun karena harus menahan rasa berkecamuk. Vega bisa saja memukul Bima sekarang juga, namun hati dan akal sehatnya masih berfungsi, bagaimana pun juga. Bima tetaplah kakaknya.

"Kenapa lo selalu bahas Ayah saat lo lampiasin emosi lo?! Gue juga nggak pernah minta Ayah sama Mamah pergi! Kejadian itu udah lama! Gue pengen hidup tanpa rasa trauma! Lo nggak tau gimana kesiksanya gue lawan rasa trauma itu!"

Tatapan mereka berdua penuh rasa sakit.

"Kenapa Tuhan nggak ambil nyawa lo? Kenapa dia malah ambil nyawa Ayah sama Mamah? Kenapa nggak lo Ve???" kedua mata Bima memerah, ia menunjuk rendah diri Vega.

"Dan kenapa adik gue harus lo?"

Vega tidak bisa menahan air matanya lagi untuk tidak jatuh, selama ini ia sudah bertahan agar tidak menangis di depan Bima. Tapi sekarang ini semua runtuh.

"Gue juga nggak bakalan mau lahir kalau di dunia gue harus kayak gini." kata Vega penuh penekanan.

"Kalau lo nggak mau keluar dari geng kotor itu, gue pastiin markas lo bakalan hancur lebur dan temen-temen lo akan merasakan rasanya dibalik jeruji besi."

Vega termenung sejenak. Apa yang dikatakan Bima bukan sebuah candaan, lelaki itu tidak pernah main-main dengan omongannya.

"JAWAB! Waktu lo cuman sampai besok!" Bima menarik rambut Vega.

"Lepas! Gue bisa atur ini semua!" Vega melepaskan tangan Bima.

Vega memilih untuk tidak tidur di rumah malam ini. Ia harus mempertimbangkan ini matang-matang.

Ia menutup kasar pintu rumahnya. Melihat sosok Mak Lampir yang berdiri di depan pintu dengan senyuman licik dan penuh kemenangan. Tanpa Vega menebak ia pun akan tahu bahwa dengan senyum liciknya bisa dipastikan bahwa dia yang mengirim foto-foto itu.

DISHARMONITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang