29.

799 98 5
                                    

Devan duduk termenung di samping pagar sebuah jembatan. Lelaki itu lalu menunduk, menatap kado dari Clara yang belum ia buka.

Tangan Devan bergerak, membuka secara perlahan bungkus Thomas yang menutupi hadiah dari Clara itu. Lelaki itu terkekeh geli kala mengingat raut bahagia Clara setelah dia mengantarnya pulang tadi.

Senyum Devan kian lebar ketika bungkus kado itu terbuka. Sebuah buku dengan sampul taro merupakan isinya. Devan mengerutkan alisnya lalu dengan perlahan membukanya.

Di halaman pertama, lelaki itu menemukan tulisan indah yang ditulis oleh Clara.

"About D?" gumamnya lalu terkekeh.

Halaman kedua kembali di buka Devan. Terdapat tulisan 'Dear Troublemaker' di sana.

"Kok, dua halaman isinya cuma judul?" Lagi-lagi Devan terkekeh.

Lelaki itu lalu berlanjut pada halaman ke tiga buku itu. Devan terkikik geli kala menemukan sebuah foto serta tulisan yang sangat familiar.

2 agustus 20xx

"Ada-ada aja," gumam Devan lagi lalu terkekeh.

Lelaki itu lalu membuka lembar berikutnya. Kini bukannya foto, melainkan lukisan dirinya yang sedang tidur. Lelaki itu mendelik terkejut, dasar Clara! Pasti gadis itu diam-diam melukisnya waktu dia suka tidur di kelas dulu.

Devan mengusap lukisan itu, bibirnya terkekeh gemas. Tulisan lagi-lagi ditemukan olehnya.

"Dasar, ngeselin," gumam remaja itu lalu terkekeh lagi.

Lembar demi lembar kembali Devan buka. Sejauh ini yang dia temui hanya lukisan dirinya dari pensil yang Clara buat. Hingga lelaki itu sampai pada lembar terakhir buku itu. Satu lembar berisi harapan dan keinginan Clara untuknya. Devan harus membacanya.

Clara Adellia Xaviera.

Devan, kalau kamu baca ini berarti kamu udah tau tentang gimana alaynya pacar kamu ini. Tentang gimana kefreakkan sifatnya dia. Juga tentang dia yang naudzubillah nyebelin banget, hehe.

Devan, perlu kamu tau, lembar terakhir ini adalah bonus pertama dari story di buku ini. Dan di sini, aku nulis beberapa harapan yang pengen aku wujudin bareng kamu nanti kalau kita udah dewasa.

Harapan Clara bersama Devan:
1. Ingin bahagia
2. Ingin terus bahagia
3. Ingin selalu bahagia
4. Ingin selamanya bahagia
5. Ingin selalu bersama sampai tua
6. Clara enggak mau Devan nyerah!

Devan tersenyum dengan air matanya yang menetes. Lelaki itu tau kalau Clara sangat menyayanginya. Devan membuang napasnya kasar, akan sangat berat meninggalkan Clara.

Lelaki itu mengambil ponsel dari saku celananya yang berbunyi. Terdapat nama 'Claraaa' di layar ponsel itu. Lelaki itu meletakkan buku bersampul taro di dekat tubuhnya. Devan kemudian berdiri menghadap ke arah luar jembatan.

"Gimana, udah dibuka?" tanya Clara terdengar antusias di seberang sana.

Devan tersenyum getir, lelaki itu lalu bergumam pelan. "Lo alay," ucapnya lalu terkekeh.

Devan dapat mendengar kekehan malu dari sana. Devan sangat yakin sekarang ini Clara pasti sedang menyembunyikan wajahnya di balik bantal.

"Asal lo tau ya, itu buku dari setahun yang lalu, tau!" ucap gadis itu terdengar bersungut.

Devan terkikik, netranya turun ke bawah menatap derasnya air sungai di bawah jembatan. "Dasar bucin," sarkasnya lalu tertawa bersama Clara.

"Tapi suka, 'kan?"

"Suka banget, kealayyan lo bikin candu," jawab Devan beralih menengadah, menahan air matanya yang hendak jatuh.

"Ih dasar!" Lagi-lagi Clara terkekeh.

"Clara." Devan berucap serak, lidahnya terasa kelu sekali.

"Makasih buat semuanya, gue bahagia bisa merasakan kebahagiaan sama lo walau sebentar."

"Lo tau, Ra? Gue sangat beruntung bisa dapatin lo. Gue merasa jadi orang paling bahagia di dunia."

"Van?" Suara Clara terdengar. Rasanya sangat memilukan bagi Devan.

"Ini hari yang akan selalu gue ingat sampai kapan pun. Terima kasih untuk 7 hari yang begitu indah dalam hidup gue."

"Terima kasih sudah menjadi cinta pertama dan terakhir gue."

Devan menghapus air matanya. Hatinya tiba-tiba sakit, ketika suara isakan lirih terdengar di rungunya. Rasanya begitu berat, tapi itu juga tak mengurungkan niatnya.

Perlahan tubuhnya keluar ke sisi luar pembatas jembatan. Tubuhnya ia hadapkan pada sungai beraliran deras di bawah sana.

Devan menguatkan genggamannya pada pembatas jembatan. Lelaki itu membiarkan air matanya terus menetes deras. Rasanya tidak sanggup sekedar mengucapkan selamat tinggal pada Clara.

"Maaf, ya, Ra. Gue kayaknya bakal ingkar janji."

Devan tak mendengar suara Clara. Hanya suara isakan yang ia dengar. Rasanya sangat sakit bila rungu itu mendengar lebih lama tangisan pilu Clara untuknya.

"Gue ingkar janji, maaf, Ra. Sepertinya gue akan ninggalin lo," ucap Devan mendongakkan kepalanya. Langit agaknya mulai menggelap, Devan tersenyum kepada Tuhan-Nya untuk terakhir kali.

"Jangan ngomong gitu, Van!"

"Please ... tunggu gue, kita bica-"

Sambungan ia putus. Ponsel miliknya ia lempar asal. Entah ke mana, mungkin sudah pecah juga.

Devan menarik napasnya yang terasa kian berat. "I will always love you, Clara."

Lelaki itu merentangkan tangannya, bersiap untuk segalanya. Matanya dipejamkan, semua terasa sesak. Devan membuka matanya kembali. Remaja itu tersenyum, menunduk dengan netra terarah pada derasnya arus air di bawah sana.

Sesuatu yang hampir enam bulan ini ia pendam, kembali menunjukkan eksistensi. Devan tidak takut lagi, kala darah dari hidungnya terus menetes tanpa ada niatan untuk berhenti.

Sakitnya, juga termasuk satu alasan kuat yang membuat Devan ingin meninggalkan semua yang dia punya. Lagi pula, hidupnya juga akan terenggut sebentar lagi.

Devan tidak ingin, terlalu banyak memohon lagi tentang hidupnya kepada Tuhan. Semua sudah cukup, dia teramat lelah.

"Jika ini memang saatnya, aku siap, Tuhan."

"Terima kasih untuk segalanya, Clara. Aku akan selalu nungguin kamu sampai kapan pun."

"Kamu alasanku bertahan selama ini. Selamanya, aku sayang kamu tanpa batas waktu."

Dan setelahnya, tubuh Devan terjun bebas. Tubuhnya menemui derasnya air di bawah jembatan dan lenyap di dalamnya. Bersamaan dengan itu, langit menjatuhkan isinya. Hujan turun begitu deras seakan ikut merasakan pilunya kisah hidup seorang Devan hingga dia menemui ajalnya.

Sekarang, kisahnya tentu saja berakhir. Devan yang dikenal orang sangat periang dan gemar mengumbar senyum itu ternyata tengah menyimpan luka terbesar. Menyimpan rasa sakit paling dalam. Lalu membawanya pergi menuju pada Tuhan-Nya sebagai pengaduan.

Devan telah pergi, tubuhnya sudah tenggelam oleh derasnya arus air. Jiwanya juga telah terbang sangat tinggi, menuju pada Tuhan-Nya.

Kini lukanya telah sembuh, Jiwanya tidak lagi mengaduh. Tidak ada lagi tangisan diam-diam seorang remaja yang meminta kebahagiaan pada Tuhan-Nya. Karena sekarang jiwanya sudah bebas, dan bahagia di sisi Tuhan-Nya.

TBC.

THEATER [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang