Part 22 : We can do this together

118 15 33
                                    

Jangan bilang ini artinya dia memutuskanku??

Ani.. aniya .. itu tidak benar kan??

Aku mulai panik. 

"Mianhae..." hanya kata itu yang bisa keluar pertama kali dari mulutku. Aku begitu frustasi dengan keadaan dan situasi ini. Tak bisakah dia mengerti dengan kondisiku yang masih belum terbiasa dengan ini semua? Aku tak bisa menyalahkannya, karena aku sendiri yang tak pernah mengatakan apapun padanya.

"Mian... mianhae, aku berjanji aku akan berusaha lebih baik lagi." aku tak tahu harus bilang apa lagi untuk memperbaiki.

Jiyong terlihat menghembuskan nafasnya berat membuatku makin merasa bersalah karena aku terus menerus mengecewakannya. Kalau dipikir-pikir, apa sih yang sudah ku lakukan selama ini untuknya? Nothing. Aku belum melakukan apapun untuknya. Dia yang terus menerus berusaha melakukan yang terbaik untukku. Dia berusaha membuatku nyaman dalam segala situasi. Dia selalu berusaha untuk selalu memahami dan mengerti situasi, kondisi dan perasaanku. Sangat jelas apa yang dia lakukan selama ini hanya untuk kepentinganku, dia tak pernah memikirkan dirinya sendiri. Selalu untukku, buatku. Tak sadarkah aku? Jawabannya adalah aku sangat sadar dan itu yang membuatku makin frustasi. Dia telah melakukan segalanya untukku, demi aku, tapi aku satu kalipun tak pernah melakukan apapun untuknya. Yang malah ku lakukan malah selalu mengecewakannya. Aku begitu frustasi karena aku tak bisa membalas semua yang telah dia lakukan padaku. Dan itu membuat insecureku makin menjadi-jadi membuatku tak tenang setiap saatnya. Meskipun setiap saatnya dia selalu menyelipkan jaminan tersirat dalam setiap tindakan dan kata-katanya bahwa dia akan selalu berada di sisiku. Namun itu malah menambah rasa ketakutanku.

"Ri-ah..." panggilnya lelah. Aku memejamkan mataku erat-erat. Aku takut aku akan mendengarkan hal yang sangat aku takutkan selama ini. Putus.

"Kita bukan dalam situasi sedang mengerjakan ujian sekolah. Apa yang kau maksud dengan 'akan berusaha lebih baik lagi' itu? Kamu bukan anak kecil yang harus selalu diberitahu tentang apa yang harus kamu lakukan dan apa yang tidak boleh kamu lakukan." ujarnya kalem.
"Aku tidak mengatakan putus. Namun kamu juga perlu tahu, bahwa setiap orang punya batas sabar yang berbeda-beda. Aku sama sepertimu, aku bukan malaikat..." setiap kata yang meluncur dari mulutnya meneriakkan kelelahannya. Dia yang selama ini tak pernah mengeluhkan akan sikapku membuatku takut. Takut jika dia mulai muak dan bosan denganku. Takut dia akan meninggalkanku. Dengan cepat aku segera meraih tangannya. Aku menggenggamnya erat, sangat erat. Seakan aku takut dia akan melepaskan genggamanku jika aku tak memeganginya erat-erat. Tak peduli kami sedang dimana atau ada tidaknya orang yang melihat tindakanku ini, aku sungguh tak peduli saat ini.

"Hyung... ku mohon maafkan aku. Aku sungguh-sunguh berjanji akan memperbaiki sikapku. Ani, aku berjanji akan lebih terbuka dan percaya padamu. Aku seharusnya tidak terus menerus terbelenggu dengan ketakutan-ketakutan yang ku ciptakan sendiri. Aku seharusnya menaruh kepercayaan penuh padamu. Maafkan aku...ku mohon..." pintaku memohon dengan panik. Dia diam memandangku tanpa kata sejenak. Tak ada ekspresi lain yang terpancar dari wajahnya selain kelelahannya terhadapku. Dan itu sungguh membuatku takut dan merasa sangat bersalah. Aku terus menatapnya memohon dengan amat sangat. Dia pasti tahu aku sangat ketakutan saat ini. Tidak hanya dari wajahku namun dari bahasa tubuhku pun semua menunjukkannya. Tanganku yang terus menggenggamnya erat sedikit gemetar dan berkeringat dingin. Lalu dia memejamkan matanya, menghembuskan nafas lelah, dia mengusap wajahnya dengan salah satu tangannya yang masih bebas lalu mendekatkan dirinya padaku. Memang tidak begitu dekat karena ada pembatas meja diantara kita, namun cukup dekat karena kami sama-sama mencondongkan diri ke meja yang tidak terlalu besar ini.

"Sudahlah... Ayo lanjutkan makanmu keburu dingin ntar ga enak." ujarnya sambil tersenyum dan mengacak rambutku dengan tangan bebasnya. Balasan dari ucapannya ini tidak membuatku tenang. Deg. Takut menyeruak keseluruh aliran darahku ketika dia mulai menarik tangannya dari genggamanku. Segera aku menggenggamnya lebih erat lagi. Lagi-lagi dia menghembuskan nafas berat dan lelahnya. Dia tersenyum melihat tanganku yang begitu erat memeganginya. Aku sungguh takut untuk melepaskannya. Tanpa ku duga dia membawa tanganku yang sedang menggenggam tangannya mendekat ke arahnya. Ciuman lembut kurasakan mendarat di punggung tanganku. Dan itu membuatku cukup terkejut. Tak sampai di situ saja, kini dia melepas genggamanku yang telah longgar, membukanya, sambil menatapku intens dia mencium telapak tanganku dua kali begitu penuh sayang sebelum kembali mencium punggung tanganku lagi tanpa melepas tatapannya kepadaku. Aku dibuatnya tak berkutik dengan tindakannya ini. Aku hanya membuka dan menutup mulutku tanpa kata. Wajahku kurasakan begitu panas. Aku yakin saat ini kondisinya sama merahnya dengan saos tomat yang ada di mejaku. Sangat salting tak tahu harus gimana. Aku tak berani mengedarkan pandanganku ke arah sekitar. Aku tak tahu harus bagaimana menyikapi pandangan orang-orang sekitar yang melihat ini. Perlahan aku menarik tanganku darinya dan segera mengambil sumpitku kembali. Tanpa melihat ke arahnya atau apapun aku segera menunduk memakan makananku. Saking malunya aku sampai tak bisa merasakan rasa dari makanan yang ku makan di mulutku ini. Terdengar dia malah terkekeh. Aku yakin dia menertawakan sikap konyolku yang udah kaya tomat rebus ini. Whatever, aku ga mau melihatnya. Maluuuuuuuu!!

Pria Cantikku ✔️Onde histórias criam vida. Descubra agora