Chapter 2

746 92 47
                                    


Yaya selalu berpikir enjadi Ibu tujuh anak tanpa suami itu tantangan seumur hidup. Seru sih, apalagi anak-anak sangat tampan dan mengge-maskan, tapi banyak susahnya. Yang menambah pusing juga karena ke tujuh putranya punya kuasa dari lahir, macem orang sakti zaman dulu.

“Hahh…” Yaya memijat pangkal hidungnya seraya mendesah panjang.

Dalam hati ia mengucapkan dzikir sebanyak mungkin agar tidak meledak dan menjadi tenang. Sedang di depannya ada tujuh anak kembar yang bersimbuh dengan wajah ter-tunduk merasa bersalah.

“Ma~…”

“Diam dulu. Biarin Mama selesai baca Ayat Kursi seratus kali baru Mama dengerin kalian.” Sela Yaya pada panggilan anaknya Daun yang langsung mingkem dan cemberut.

Angin, yang juga bersimpuh, tidak tahan untuk tidak bertanya, “Udah berapa kali Ma?”

“Baru 5.”

“Yah masih 95 kali lagi dong. Kelamaan. Udah Mama baca Surat Qulhu aja.”

Dan bukannya bersambut tawa, Angin mendapat sentakan dari sang Mama, “Angin Pramudya Mechamato! Diem atau Mama balikin kamu ke perut Mama!”

Nah kalau Mama Yaya sudah menyebut nama lengkap anak-anaknya, berarti Angin sekalipun harus nurut atau seminggu ke depan cuma makan nasi sama kecap plus tidak ada uang jajan. Duh ngeri!

Keenam saudara sama wajah dengan Angin langsung mengirim tatapan tajam macam silet dan umpatan tersirat yang kalau di ucapnya lantang berbunyi “GUOBLOK DIAM DULU NAPA SIH?!” . Menyuruh si kembar kedua diam atau Paduka Ratu tambah marah. Mereka sudah cukup pusing bagaimana harus menjelaskan bagaimana ruang tengah yang kacau balau dengan kaca pecah dan lantai kotor, tembok gosong, lantai sedikut retak dan TV yang meledak.

Apa yang terjadi?

Kejadiannya kira-kira bermula tiga jam yang lalu…

.

.

.


“HUWOOOO”

“WOI WOI WOI”

“AH CEMEN!”

“……”

“PIEW PIEW PI PI PIEW”


Siang itu harusnya menjadi jam tidur siang yang bagus selagi menunggu sang Mama pulang. Sebagai salah satu orang yang cukup mageran, Petir mengutuk orang-orang diluar sana yang menganggu tidurnya. Dia melihat jam dan mendengus tidak senang karena baru setengah jam di terlelap tapi sudah terganggu saja.

Suara-suara itu…dia hafal di luar kepala. Sepertinya Angin, Api, Air, Daun dan Cahaya sedang bermain game di ruang tengah. Dia bisa menebak yang tengah bermain ialah Angin dan Api, sementara yang bersorak “HUWOO dan “Woi Woi’ adalah Daun dan Cahaya. Kenapa Petir tahu kalau Air di sana juga? Petir punya caranya sendiri.

Kemana Tanah?

Biasanya si salty bakal misuh-misuh dan ngelabrak para perusuh di jam segini karena dia pasti juga mau bobok siang. Kalian tanya kenapa bukan Petir sebagai Abang tertua yang turun tangan? Simpel aja, suara Petir kalah keras dan dia ogah teriak-teriak—buang-buang nafas. Petir lebih suka bertindak dalam diam tapi bikin semua adeknya kapok.  Lagi pula dia udah teriak tadi meski cuma umpatan kasar bernama lain ‘anjing’. Hmm…

Urusan teriak, biar lainnya aja. Si Tanah ada bakat kok.

Tapi kemana si Salty? Suara-suara di luar tidak kunjung mereda dan lama-lama bikin Petir jengkel.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 28, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CHILDREN OF HEROESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang