10| BOS-OK

45 14 87
                                    

Happy reading!

***

"Ngang-ngong ngang-ngong! Gue enggak paham sama sekali, Mai!" Lian menutup buku catatannya sedikit geram. Pasalnya dari tadi belum satu soal pun dapat gadis itu selesaikan. Padahal ia sudah menghabiskan waktu lebih dari satu jam mata pelajaran untuk mengerjakannya.

"Ck, au ah! Fisika tuh kayak cowok, ya. Cuman mau dipahami tanpa mau memahami perasaan insan yang ingin memahaminya!"

Lian misuh-misuh di kursi sebelah Maily. Namun, Maily masih saja fokus mengerjakan deretan soal yang memusingkan kepala itu. Tidak menggubris Lian sedikit pun, hal itu membuat Lian menjadi merasa terabaikan.

Lian memeperhatikan gadis itu dari samping. Bisa-bisanya gadis itu telaten mengerjakan tugas yang seribet itu. Lian berdecak, lalu meraih lengan Maily dan menggenggamnya erat.

Merasa lengannya ditekan, Maily menoleh. Gadis yang rambutnya kini telah digerai ke belakang itu menaikkan sebelah alisnya, menanyakan maksud atas tindakan sang sahabat.

"Lo dengerin gue ngomong gak dari tadi, Mai?" tanya Lian setelah melepas genggaman dari lengan Maily.

Suasana kelas lumayan ramai. Tadi tepat di jam pertama pelajaran fisika Bu Mara memberikan setumpuk tugas karena beliau ada acara sehingga tidak bisa mengajar.

Bu Mara yang sudah tahu tabiat siswa kalau jam kosong pasti akan berisik, makanya beliau memberikan setumpuk tugas supaya mereka tidak membuat gaduh. Tampaknya usaha Bu Mara sedikit berhasil, walaupun suara siswa di kelas masih terdengar sedikit ramai, tetapi masih bisa dibilang kondusif.

Maily memiringkan kepala, sedikit mengingat hal yang terjadi beberapa menit yang lalu. "Kayalmya sih, enggak, Li. Emang lo ngomong apaan?"

Lian menyandarkan kepalanya pada senderan kursi. "Ah! Bisa-bisanya, gue capek, Mai!"

"Capek kenapa, lo? Bukannya lo dari tadi duduk aja." Maily kembali mengalihakan atensinya kepada pertanyaan di atas meja.

"Ya, duduk aja juga bikin capek, Mai!" kata Lian disusul dengan dengkusan di akhir kalimatnya. "Eh, Mai. Gimana nanti siang abis pulang sekolah kita belajar bareng."

Lian menarik kedua tangan Maily memohon. "Biar kepintaran lo bisa menular ke otak kecil di kepala gue, Mail." Lian menatap gadis di depannya dengan tatapan penuh arti, sangat meyakinkan.

Maily membalas tatapan Lian dengan wajah lempeng. Tidak merasa heran, karena sudah selalu begini dari dulu. Jika pun mereka jadi belajar bersama, pada akhirnya waktu yang digunakan untuk belajar hanya seperlima bagian saja.

Sisanya mereka gunakan untuk gibah, ngemil, dan menonton film. Maily tidak menolak karena gadis itu juga menikmatinya.

"Bisa, nanti pulangnya gue nebeng lo." Maily mengunggingkan senyum sebentar, lalu mulai mencoret-coret kertas bersih di depannya dengan tinta hitam tipis.

"MAILY! LO DIPANGGIL SAMA COWOK TUH!" Suara teriakan itu membuat Maily mendongak. Menatap ke luar pintu, tempat suara berisik itu berasal. Reno, cowok yang diam-diam hobinya gibah itu masuk ke dalam kelas.

"Siapa, Ren?" Maily bertanya, sedikit tidak percaya dengan ucapan cowok itu.

"Rava, tuh." Reno duduk di kursinya. "Hayoloh, ada apa kalian berdua? Lo enggak ada niatan ngasih pj ke gue gitu?" Tawa Reno lolos begitu saja. Namun, sedetik kemudian tawa itu hilang kala mata tajam Maily menyorot kejam ke arahnya.

"Astaghfirullah, Mai-Mai. Serem amat lu, gue becanda kali, ah. Tapi kalo beneran gue mah menerima pj dengan setulus hati." Reno menyisir rambutnya ke belakang.

"Berisik, deh lo, Ren." Maily mebuang muka. "Enggak ada pj-pjan lo kira gue jadian sama Rava apa?!" Maily mengemasi bukunya lalu memasukkannya ke dalam tas.

"Eh, Li. Nanti kayaknya gue enggak bisa ada belajar bareng sama lo." Maily berjalan keluar kelas.

"Eh, Mai. Belum bel lo mau kemana?!" teriakan membahana Lian menggema di dalam ruangan kelas.

"Bentar lagi bel, kok. Gue mau nemuin si Bosok itu. Dah!" Punggung Maily kini benar-benar sudah tidak terlihat dari pintu yang terbuka lebar.

"Eh, Li. Maily ada apa sama Rava?" Reno entah sejak kapan sudah berada di kursi yang tadi di duduki Maily. Cowok itu telihat sangat ingin tahu tentang Rava dan Maily.

"Gak usah kepo, deh lo. Awas, sana pergi!"

***

Rava berdiri di samping motor hitamnya dengan memakai kacamata hitam yang membuatnya semakin sok keren, aslinya emang keren sih. Dia mengenakan jaket yang juga berwarna senada dengan motor dan kacamatanya.

Seorang gadis dengan rambut digerai menghampiri. Pandangan Rava di balik lensa hitam itu beradu dengan iris hitam pekat Maily.

"Lelet, lo."

"Kan belom bel, bego!" Maily menekuk kedua tangan di depan dada. "Gue mah anak teladan enggak kayak lo, badung!"

"Serah lu deh, Mail." Rava mulai mengeluarkan motor hitamnya dari parkiran. Lalu menyuruh Maily untuk segera menaiki motornya.

"Cepetan." Rava tak sabar saat Maily kesulitan menaiki motornya.

"Susah naiknya, anjir!"

"Makanya tumbuh tuh ke atas jangan ke samping! Eh lo mah ke atas enggak ke samlong enggak. Tumbuh ke mana lo?"

Tawa Rava meledak saat itu juga. Namun, bukan tawanya saja yang meledak, tetapi amarah Maily juga meledak-ledak sekarang.

Setelah berhasil naik ke motor milik Rava. Maily menabok punggung Rava yang terbalut jaket hitam keras dan langsung membuat pemiliknya berteriak kesakitan.

"Woy! Sakit, bisa kaleman dikit enggak?!" Teriakan itu tidak dipedulikan Maily, justru gadis itu malah terkikik geli di jok belakang.

"Cepetan, katanya tadi suruh cepet."

Rava tidak menjawab. Dia melajukan motornya melewati gerbang. Saat melintasi jalanan beraspal, cowok itu mulai mengebut secara tiba-tiba.

Maily jadi kaget, bahkan tadi Maily hampir saja terjengkang ke belakang kalau saja dirinya tidak mampu menyeimbangkan tubuhnya kembali.

"Lo mau bunuh gue, hah?!" Suara Maily beradu dengan angin. Membuat suaranya jadi terdengan lirih di telinga Rava. Namun, cowok itu masih bisa mendengarnya.

Memilih tidak menjawab, Rava justru semakin mengencangkan laju motornya, menyalip kendaraan yang menghalangi jalannya. Maily semakin berteriak tidak karuan. Cewek itu sepertinya merasa ketakuan.

Rava diam-diam tertawa saat membayangkan ekspresi wajah Maily saat ketakutan dan tertiup angin. Pasti lucu, Rava selalu senang melihat gadis itu berteriak, marah dan ... eh tunggu. Kenapa Rava jadi memikirkan itu?

Rava menggeleng. Apa-apaan!

"Woy! Rava kepala gue kayak mau terbang anjir!" 

Di sore hari itu. Maily sukses dibuat kesal sekaligus tambah sebal dengan cowok dengan nama panjang Ravanda Logantara itu. Rasa kesalnya kini sudah bertambah sekian persen dari sebelumnya. Karena cowok itu sudah berani membuat gadis itu merasa akan berpindah dunia.

"Katanya suruh cepetan, tadi." Kalimat itu terlontar begitu saja, dengan enteng tanpa beban sedikit pun dari bibir Rava.

Maily mendengus kesal. Kenapa cowok itu ngikutin omongan gue tadi, sih?!

***

See you next chapter!

BOS-OKNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ