14| BOS-OK

28 6 14
                                    

Happy reading!

***

"Baiklah, Daniel. Kamu silahkan duduk di kursi kosong yang ada di pojok."

Setelah perkenalan tadi Daniel dipersilahkan duduk oleh wali kelas. Daniel akan menempati kursi pojok, bersebelahan dengan kursi Reno. Cowok itu terlihat antusiasis, karena setelah sekian purnama akhirnya dia memiliki teman satu meja.

"Sini, Bro! Kursinya masih tersegel, belum pernah diduduki jadi masih suci," kelakar Reno sembari menepuk-nepuk kursi kosong di sampingnya, sangat antusias.

"Bohong itu bohong. Kursinya itu langganan jadi tempat buat kaki baunya Reno, tuh," sergah salah satu siswa laki-laki di ruangan itu. Ucapannya ini memang berdasarkan fakta.

Siswa lain mulai terdengar menyoraki Reno. Karena memang merasa ucapan Reno yang tadi itu tidak berdasar.

"Enak aja lo pada, kaki gue wangi! Asal kalian tau aja gue mandi tujuh kali sehari!" kata Reno berlebihan, ia tidak terima kakinya dikatai bau.

"Masa sih, Ren? Gue denger lo cuman mandi seminggu sekali." Kini Lian mulai ikut-ikutan membuka suara. Membuat Reno melotot tajam ke arah cewek itu.

"Heh, lo jangan buka aib dong," teriak Reno sambil sedikit tertawa. Reno sepetinya penganut hukum hemat air untuk masa depan anak cucu nanti.

Pembicaraan kurang berfaedah itu masih berlanjut beberapa saat, membuat acara Daniel yang akan duduk menjadi tertunda. Padahal kaki  cowok itu sudah mulai kebas dan pegal banget.

"Sudah-sudah. Daniel, silahkan."

Daniel mengangguk, kemudian memboyong tubuhnya menuju kursi yang akan ia duduki. Pandangannya bertemu dengan mata Maily yang sama sedang menatapnya. Maily langsung mengalihkan pandangan, juga dengan Daniel yang membuang pandang ke arah Reno.

Maily kembali memperhatikan gelagat Daniel. Rupa Daniel itu seperti tidak asing di matanya. Namun, apakah benar mereka pernah berjumpa? Sedangkan kata wali kelas tadi cowok itu berasal dari Surabaya, Maily saja belum pernah menginjakkan kaki di kota itu.

Maily membuang pikrian-pikirannya itu. Lalu menggantinya dengan pikiran lain yang lebih realistis. Mungkin cuman mirip aja.

Jam pelajaran pertama telah dimulai, mereka mulai fokus dengan kegiatan belajar mengajar. Kelas mulai hening.

Waktu berlalu, jam pelajaran pertama telah usai. Kini waktu mulai memasuki jadwal mata pelajaran kedua, yaitu mata pelajaran biologi.

Bu Laras, selaku guru yang mengajar mata pelajaran biologi sudah duduk dengan tenang di kursi sejak beberapa menit yang lalu. Beliau membawa setumpuk kertas yang tampak mengerikan, bagi Maily. Beberapa siswa lain juga demikian.

Iya, karena kertas itu adalah kertas ulangan beberapa hari yang lalu.

Maily menatap horor kertas itu. Cewek itu takut ketika melihat hasil ulangannya. Kata orang usaha tidak menghianati hasil, kan? Namun, untuk yang satu ini Maily rasa kemarin dia tidak berusaha banyak. Apakah nanti hasilnya sedikit?

Waktu itu Maily tidak sempat belajar, dia hanya membaca sedikit itupun saat pagi hari. Jangan-jangan dibawah kkm. Maily tidak mau.

"Mai? Lo enggak apa-apa, kan?" Lian bertanya sambil memiringkan wajah.

Maily tampak pucat, tangannya juga mulai terasa dingin. Lian yang paham situasi hendak menenangkan sahabatnya itu. Gadis itu menepuk pelan bahu Maily.

"Tenang aja, nilai lo pasti aman, kok. Lagian kalau nilai lo sedikit enggak bakal berpengaruh banyak, nilai lo kan selalu bagus," ucap Lian.

Maily mengangguk mengiyakan, meskipun dirinya masih saja tidak bisa berpikir positif. Ia benar-benar menyesal karena hal itu.

"Iya, semoga aja. Cuman gue enggak yakin," kata Maily ragu-ragu.

"Percaya aja sama gue, Mai."

"Ekhm. Pagi anak-anak, apakah kalian tahu apa yang saya bawa hari ini?" Itulah kalimat pertama yang Bu Laras ucapkan saat memasuki kelas.

Siswa bercakap-cakap sendiri, menerka-nerka. Walaupun sebenarnya mereka juga tahu jika yang Bu Laras bawa adalah hasil ulangan.

Reno, cowok itu mengangkat tangannya, membuat atensi semua orang mengarah kepadanya. Selanjutnya cowok itu berujar dengan penuh percaya diri. "Ibu bawa uang, ya? Mau bagi-bagi apa bagaimana, Bu?"

Semua siswa di kelas itu langsung menyoraki Reno. Membuat cowok itu tergelak.

"Salah kamu, nanti biar nilai kamu saya kurangi."

"Yah, Bu. Jangan dong ...," kata Reno penuh dengan penyesalan. Ia memohon sambil memelas.

"Kurangin aja, Bu. Mulutnya berisik soalnya." Daniel, murid baru itu sudah menunjukkan sifatnya. Reno sendiri misuh-muh di samping Daniel.

Bu Laras geleng-geleng bercanda sebelum beliau kembali serius.

"Jadi anak-anak hari ini saya akan membagi nilai hasil ulangan kalian pada pertemuan yang lalu. Siapkan jantung kalian, ya?" Wanita itu tertawa. Guru satu ini memang suka bercanda, sehingga mereka tidak terlalu kaku dalam berinteraksi.

"Oke, yang pertama Adriano Ginanjar!"

Cowok dengan nama tersebut, alias si Reno maju dan mengambil kertas ulangannya. Diteruskan dengan absen yang kedua dan seterusnya.

Karena nama Maily diawali dengan huruf tengah, makanya ia terpaksa menunggu giliran sedikit lebih lama. Padahal hatinya sudah mati-matian menahan kepo sekaligus overthingking sejak tadi.

Sekarang giliran nama Lian yang dipanggil. Cewek  itu maju mengambil kertas ulangannya. Lalu segera kembali ke kursinya, di sebelah Maily.

Maily menengok nilai yang ada di kertas Lian. Namun, Lian cepat-cepat menutup kertas itu. "Eutss, kepo deh lo, Mai!" katanya setelah menempelkan pantatnya di kursi.

Maily menggerutu. Lian pelit banget, sih. "Lo mah, gitu. Gue penasaran tahu," jawabnya sembari mencebikkan bibirnya.

"Nanti, ah Mai. Nunggu punya lo juga, biar kejutan."

Maily memutar bola matanya malas.

"Maily Amaura." Suara Bu Laras kembali terdengar. Membuat gadis dengan nama yang baru saja disebut langsung berdiri dan melangkahkan kakinya menuju tempat dimana Bu Laras berada.

Jantung Maily berdegub lebih kencang. Maily mengambil kertas putih yang berisi coretan aksara itu dengan tangan bergetar. Jika di film-film mungkin adegan ini akan menjadi slow motion.

Setelahnya, Maily tidak langsung melihat nilainya. Ia memilih duduk dahulu di kursinya, dan menyiapkan mentalnya untuk melihat nilainya yang sepertinya akan berkisar cukup jauh ... atau bahkan ... terlampau jauh dengan nilai-nilai yang sering ia dapatkan.

"Mai, ayo liat nilainya bareng," kata Lian.

Maily mengangguk. Dia bersama Lian membalik kertas nilai yang semula menghadap kebawah secara perlahan, dramatis.

Kertas keduanya kini sudah terlentang sempurna di atas meja. Lian menatap biasa saja, tetapi kemudian membulatkan matanya begitu juga dengan Maily saat melihat angka yang terjebak dalam lingkaran warna merah yang tertulis dalam kertas itu.

"A-apa?"

E-empat puluh.

"Baiklah anak-anak, bagi yang nilainya masih di bawah kkm, kita adakan remidi minggu depan," ucap Bu Laras yang tidak terlalu Maily dengar.

Saat ini, dirinya sedang dilanda kegalauan luar biasa. Nilainya ... kini merosot jauh, ini benar-benar seperti terjun payung.

***

See you next chapter!
.
.
.

BOS-OKWhere stories live. Discover now