PROLOGUE

444 7 0
                                    

Sruk!

"Kamu terlambat, sudah aku bilang usahakan jangan terlambat, menyebalkan!" ujar seorang wanita dengan sewot.

"Ck! Ayolah, aku hanya terlambat dua menit, ku ulangi hanya dua menit!" gerutu seorang wanita lalu mendudukan dirinya di kursi.

"Dua menit saja sangat berharga bagi ku, Vio!"

"Iya baiklah maaf, Puas?"

"Itu terdengar seperti paksaan, ayo lakukan dengan benar."

"Iya maaf Vira teman ku yang paling cantik!"

Wanita yang bernama Vira itu tertawa merasa puas, "Sepertinya hari ini tidak bejalan begitu baik, wajah mu nampak kusut begitu, ada apa?"

"Kerjaan ku sangat menumpuk, kamu tahu? Berkas-berkas sialan itu sangat menggunung, sepertinya atasan ku memiliki dendam kesumat terhadap ku!" adu Vio sambil mengambil minuman Vira dan meminumnya hingga tandas.

"Hey! Pesan minuman mu sendiri, gadis nakal!"

"Itu lah balasan untuk teman yang hanya memesan untuk dirinya sendiri!" sergah Vio lalu mengembalikan gelas kosong pada Vira.

"Mau di bantai rupanya, kenapa menjadi menyalahkan aku? Ini salah mu sendiri karena datang terlambat!"

"Aku mengerti, sudahlah, jangan buat mood ku semakin hancur! Aduh, padahal sudah nyaman bekerja di bawah pimpinan Pak Garry, tapi kenapa harus di ganti, sih," gumam Vio menggerutu.

"Di ganti?"

"Iya, aku mendengar rumor jika mulai besok peresmian Presdir baru."

"Terus masalahnya dengan mu apa? Biarkan peresmian itu berjalan, seorang Presdir sangat mustahil tertarik pada pegawai biasa seperti mu," ujar Vira ketus.

"Menyebalkan, kamu memang teman yang  tidak bisa di ajak bicara santai."

Vira tersenyum sesaat, dirinya merasa sangat puas karena sudah berhasil menggoda Vio hingga merasa kesal, "Kamu sudah menemukannya?" tanya Vira tiba-tiba. Vio yang langsung paham arah pembicaraan Vira hanya menggeleng pelan.

"Cepatlah bertemu dengannya dan lakukan perjanjian atau apa pun itu, aku takut terjadi apa-apa pada mu kedepannya."

"Ah, jika saja malam itu aku tidak menyetujui ajakan Pak Faki, mungkin sekarang aku masih bisa hidup dengan damai," ucap Vio sambil menopang dagunya dengan kedua tangannya.

"Lagian sudah tahu tidak kuat alkohol, tapi masih saja nakal untuk mencobanya, ah sayang sekali aku tidak tahu, jika aku tahu mungkin aku akan langsung membawa mu pulang dengan selamat."

"Kamu sudah mewawancarai semua orang yang terlibat saat malam itu, dan mengancam mereka, itu sudah lebih dari cukup."

"Cepat temui dia dan pertemukan dengan ku juga, aku akan memberikannya sedikit pelajaran karena telah membuat teman ku yang manis ini berlarut dengan kesedihan selama berhari-hari."

"Kamu ini."

Vio memang sudah menceritakan tragedi malam itu pada Vira keesokan harinya, dan membuat Vira marah. Vira langsung saja mendatangi kantor Vio dan membuat keributan di sana. Vio yang kebetulan tengah berada di lobi terkejut akan kedatangan Vira yang sudah marah-marah. Hal itu mampu menyita perhatian banyak orang, seketika Vira di tendang keluar dari kantor oleh satpam di sana.

Violita Oktavia, atau akrab di sapa Vio adalah seorang wanita karir yang teramat sangat menggilai kerja. Umur Vio sudah memasuki dua puluh dua tahun namun dirinya tidak ada niatan, atau bisa di bilang enggan untuk bermain-main dengan Cinta.

Vio adalah wanita mandiri, sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, Vio selalu di tekankan untuk bisa mandiri, apa-apa harus sendiri. Sejujurnya, kedua orang tua Vio masih lengkap, namun keduanya sudah dari dulu sangat enggan pada Vio. Keduanya bahkan tega menelantarkan Vio di mansion sebesar istana itu. Vio selalu di tinggal sendiri hingga berhari-hari, bahkan pernah selama sebulan. Vio bersyukur karena kulkas dan camilan pada sat itu penuh, jadi tidak membuatnya merasa kelaparan.

Iya, Vio itu anak konglomerat, Ayahnya merupakan pemilik perusahaan besar dan sudah memiliki cabang di mana-mana, bahkan di luar negeri juga ada. Ibu Vio seorang pengusaha juga, namun keduanya tidak pernah mengungkap jati diri Vio, dan selalu berbicara kepada publik jika keduanya belum sama sekali memiliki anak.

Vio melihat jam yang melingkar manis di pergelangan tangannya, "Hari hampir menggelap, aku pulang dulu," ujar Vio lalu beranjak pergi.

Vio menghela napasnya lelah, hari sudah menggelap, dirinya baru saja sampai di apartemennya. Vio memang bekerja sebagai karyawan biasa, namun entah kenapa tugasnya terasa sangat berat, ya namanya juga kerja, namun Vio merasakan tekanan yang berbeda.

Vio kini tinggal di apartemen seorang diri, saat dirinya duduk di bangku perkuliahan, dirinya memutuskan untuk hengkang dari mansion besar itu dan memulai dengan kehidupan yang baru. Awalnya Vira menawarkan rumahnya untuk tempat tinggal Vio sementara, namun Vio menolak, Vio tidak mau semakin merepotkan Vira dan lebih memilih mengambil apartemen yang letaknya tidak jauh dari kantornya.

"Ah, lelah sekali," gumam Vio sambil menyandarkan dirinya di sofa.

Vio menaruh ponselnya di meja tepat di samping sofa, lalu tanpa sengaja menjatuhkan selembar kertas.

Vio dengan malas mengambil kertas itu, seketika ingatannya kembali di putar ketika melihat kertas itu. Vio menjadi kembali mengingat masa kelamnya itu, di mana ketika dirinya kehilangan sebuah hal yang sangat berharga dalam dirinya.

Sudah sebulan pasca kejadian itu, Vio mencoba mencari pria yang sudah menodainya. Kartu nama itu mencantumkan sebuah nama serta nama perusahaannya, Vio sudah mencari perusahaan itu, namun sayang sekali, orang yang Vio cari ternyata bukan pribumi dan sedang kembali ke daerahnya untuk berlibur. Kartu nama itu terlihat elegan, tapi sayang sekali tidak mencantumkan nomor ponsel.

Vio terdiam sejenak, keterdiaman Vio membuatnya mengingat kedua orang tuanya, kedua orang tua yang tidak layak untuk di tuakan, tidak mengurus Vio dengan benar, keduanya selalu sibuk akan pekerjaan dan tidak sedikit pun melirik ke arah Vio untuk sekadar menanyakan kabar atau makan.

Ketika sarapan, Vio selalu sarapan sendiri, begitu juga dengan makan siang, atau makan malam. Pernah suatu ketika Vio menunggu kedua orang tuanya untuk ikut serta dalam makan malam, namun sang Ayah nampak benci dan menyuruh Vio untuk kembali ke kamar.

"Mereka benar-benar seperti membuang ku, aku hengkang saja mereka tidak mencari ku, aku seperti terlahir tanpa di harapkan, apa jangan-jangan aku ini anak hasil hubungan gelap? Oh ayolah Vio, kenapa kamu berpikiran sedemikian? Huss, hilanglah pikiran buruk!" ucap Vio sambil menepuk pelan dahinya.

Tidak di anggap, adalah hal yang biasa bagi Vio, untungnya saat Vio bersekolah selalu mendapatkan teman yang baik, apa lagi saat bertemu dengan Vira ketika masih duduk di bangku sekolah menengah hingga bangku perkuliahan.

Bagaimana sekolah mu? Apakah terjadi masalah? Mari kerjakan pr mu bersama Ibu, adalah kalimat yang selalu Vio tunggu. Namun kenyataanya, kedua orang tuanya sangat acuh pada dunia persekolahannya dan mencampakannya.

Saat masih sekolah, Vio hanya di berikan satu kartu debit, dan itu hanya boleh di gunakan untuk membayar uang sekolah. Bocah sepuluh tahun yang pada saat itu sudah memegang sebuah kartu yang nominalnya besar, adalah sebuah kelangkaan, namun Vio benar-benar kompeten menjaganya.

Jika saja tahu di beginikan, menolak untuk dilahirkan lebih di pilih dari pada harus hadir namun samar. Kalimat itu yang selalu terngiang di kepala Vio. Apakah kelahirannya adalah sebuah bencana? Jika iya, kenapa tidak di gugurkan saja saat Vio masih menjadi janin?

Berjuta pertanyaan muncul di kepala Vio saat umur Vio kian bertambah. Melihat sikap kedua orang tuanya, Vio menjadi semakin banyak memiliki pertanyaan di benaknya.

Kenapa sebenci itu kedua orang tuanya kepada dirinya? Kenapa selalu tidak dipedulikan? Kenapa bersikap seolah tidak memiliki keturunan? Semua pertanyaan itu masih Vio simpan dengan baik di memori Vio.














Tbc

HELLO PRESDIR!Where stories live. Discover now