03

10.2K 984 23
                                    

Vote dan komen, ya!

*****

"Kenapa Om bersikeras menjauhkan saya dengan Haura?"

"Bukankah memang seharusnya seperti itu?"

Aland menggeleng tidak setuju, tangannya mengepal tanpa sadar. "Saya mempunyai hak mencintai Haura, Om."

Terkekeh geli, Adnan mengangguk. Pria dengan umur kisaran empat puluh tahun itu menatap anak muda di hadapannya. Aland dengan seragam SMA yang masih melekat, dan juga penampilan yang acak-acakan.

"Saya juga mempunyai hak atas anak saya, Aland," ucap Adnan kalem.

"Lalu?"

"Menjauh dari putri saya."

Aland tertawa gamblang, kemudian matanya berkeliaran menatap seisi ruang tamu keluarga Haura.

"Alasannya?" tanya Aland lebih berani, meninggalkan harga diri yang sudah tersisa rapih.

"Saya menjodohkannya."

Ada raut kaget, terdiam, kecewa, serta tidak menyangka di wajah Aland. Adnan melihat semuanya.

Tidak, Adnan bukan orang-tua kejam yang memisahkan dua pasangan dengan cinta yang dimiliki. Hanya saja, Adnan mengetahui betul jika perbedaan mereka terbilang berat, sangat.

Terdiam beberapa menit, Aland menarik napas dengan pandangan tidak percaya. "Bagaimana dengan Haura itu sendiri?"

Aland percaya dengan Haura. Jika memang perempuan itu menyetujui, apa yang bisa Aland lakukan selain ... pasrah?

"Dia setuju, Nak," jawab Adnan terkesan ragu.

Puncak komedi.

Meyakini bahwa Haura menyetujui semua keputusannya, Adnan tahu. Namun satu, putri sulungnya itu masih bimbang. Antara menetap dengan Aland, atau memulai dengan Hasbi.

"Siapa lelaki itu?"

Aland masih mempertahankan sikap tegas. Meski hati sudah was-was serta campur aduk, menanti jawaban yang akan menyesakkan hatinya.

"Alfarezi Hasbi. Lelaki lulusan pesantren," jawab lugas Adnan.

"Kemarin, dia bersinggah kemari. Hanya sekadar untuk bertemu dengan saya dan istri saya. Dia tidak jauh darimu, lelaki yang bisa meluluhkan hati Haura. Tapi satu perbedaan dari kamu, Aland ..., dia seiman dengan Haura." Cerita Adnan tanpa diminta.

Aland menengadah, bibirnya membentuk senyuman dengan hati yang bernapas lega. Setidaknya, Haura berada di tangan lelaki yang tepat.

Memandang Adnan kembali, Aland memberikan senyuman simpul. "Saya akan menjauh dari Haura. Namun, jika meminta saya untuk tidak mencintainya, saya tidak bisa."

"—Saya akan mencintai Haura, dengan cara saya sendiri."

Pembohong. Dasar laki-laki.

"Bukankah kamu sudah mempunyai pacar?" tambak Adnan tepat sasaran.

Aland meneguk ludah keras, tertangkap basah. "Dia hanya pelampiasan karena saya tidak bisa bersama Haura, Om."

"Itu menunjukkan sisi berengsekmu."

"Tapi soal mencintai Haura, saya benar-benar," kilah Aland.

Adnan menggeleng geli, dasar anak muda. "Pertahankan dia. Jangan kamu menyakiti perempuan lain, hanya karena satu perempuan yang tidak pasti."

"Karena jika kamu menjadikan dia sebagai pelampiasan. Tidak bisa menjanjikan kamu tidak akan berbuat seperti itu kepada Haura, nantinya."

Bukankah memang mencintai tidak harus memiliki? Terdengar menyakitkan, memang.

ALFAREZI HASBITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang