Hari berganti hari. Walau Ben tidak lagi bekerja di sebuah perusahaan, bukan berarti ia hidup bermalas-malasan. Orang yang berdosa dan merugi adalah mereka yang dalam kondisi sehat, tapi banyak menyia-nyiakan waktu. Ben kini mempunyai aktifitas baru. Ben bekerja sebagai pekerja serabutan.
Terkadang ia bekerja di sebuah toko kelontong, melayani para pelanggan. Menawarkan jasa untuk merapikan rumput halaman rumah. Memulung, mengambil botol-botol minuman maupun kardus-kardus bekas untuk dijual kembali. Ben tak mematok harga ataupun upah atas hasil kerjanya itu. Terkadang dibayar dengan upah minim, disaat lain pun tidak menerima upah.
Jam sudah mulai menunjukkan hampir pukul 8 malam. Ben mengendarai sepeda motornya menuju tempat tinggalnya. Ia terkadang berpikir, sebagian orang pasti akan mengejeknya apabila tahu bahwa ia resign dari pekerjaannya yang mapan hanya untuk menjalani pekerjaan yang tidak pasti.
Rasa kantuk mulai menghampiri Ben. Seharian ini, Ben memberikan sedikit pelatihan kepada para pelaku UMKM. Manajemen pelanggan, pembukuan, strategi pemasaran, dan lainnya. Para pelaku UMKM memang tidak hanya dituntut untuk menjual, tapi juga harus didukung oleh berbagai ilmu pengetahuan lain demi meningkatkan penjualan dan menghasilkan profit lebih tinggi.
Ben terlihat menepikan sepeda motornya ke sebuah tenda makan.
"Pak, nasi goreng gilanya satu porsi, komplit. Dikasih irisan kol mentahnya, ya, pak!" ucap Ben yang masih duduk di atas sepeda motonya.
Ben pun telihat seperti sedang mencari-cari tempat untuk memarkir sepeda motornya. Tak lama, Ben pun memarkirkan sepeda motornya tak jauh dari tenda nasi goreng. Ben memilih meja yang tak beratap. Walau hari itu ia cukup lelah, tapi disisi lain ia merasa senang karena ilmunya masih bermanfaat untuk banyak orang.
"Ben!" tiba-tiba seorang perempuan memanggil.
Ben hanya menoleh dan memandang wanita yang memanggilnya. Wanita itu terlihat turun dari mobilnya dan langsung menuju ke arah Ben. Apalagi lampu-lampu disekitar tempat itu tak begitu terang.
"Harpa! Astaga!" Ben bangkit dari tempat duduknya. "Bagaimana bisa kamu sampai kesini?"
"Aku tak salah mengenalimu, bukan? Walau kita sudah begitu lama tak berjumpa," balas si wanita.
Wanita itu bernama Harpa. Ben dan Harpa pun duduk saling berhadapan di meja berukuran dua kali satu meter itu.
"Pesanannya, silahkan!" ucap si penjual nasi goreng sambil meletakkan satu porsi nasi goreng gila pesanan Ben. Porsinya benar-benar gila.
Disamping gerobag itu, terlihat seorang anak yang sedang mencuci piring-piring. Mungkin seusia anak kelas 1 SMP. Disaat anak-anak lain mungkin sedang bersantai di rumah, ia harus bekerja membantu orang tuanya. Hidup telah menempanya menjadi anak yang tangguh kelak.
Ben cukup terkejut melihat pesanan nasi goreng yang begitu banyak. Irisan kol, tomat, sosis, suwiran ayam, ditambah lagi telur mata sapi setengah matang. Benar-benar nasi goreng gila dan taburan daun bawang.
"Bagaimana bisa kamu sampai kesini?" tanya Ben.
Harpa terdiam tak menjawab pertanyaan Ben. "Aku tak menyangka bisa bertemu denganmu lagi disini?"
"Apalagi aku. Tapi ngomong-ngomong, apa kamu tak memesan makan? Jangan malu-malu seperti itu. Jangan bilang kamu sedang diet, ya?"
Harpa tertawa mendengar ocehan Ben. "Aku benar-benar senang bertemu denganmu lagi. Ben yang aku kenal, tak pernah marah, tak pernah baper, dan ini yang aku heran kepadamu. Kamu seperti tak pernah memiliki beban hidup."
Kali ini Ben yang tertawa mendengar ucapan Harpa. "Mana ada manusia yang tidak mempunyai beban hidup?" ucap Ben sambil menikmati nasi goreng gila. Benar-benar gila, sama seperti kehidupan.
"Betul kan, apa yang aku bilang? Kamu selalu tertawa dalam menjalani hidup," timpal Harpa.
"Apa harus semua masalah ataupun persoalan yang menimpa dalam hidup ini harus ditunjukkan kepada semua orang? Aku lebih suka menyimpannya sendiri. Biarkan Tuhan yang menyelesaikannya. Bisaku hanya berdoa."
Harpa terdiam mendengar penjelasan Ben. Senyumnya terurai tipis. Harpa mengambil sesuatu, lalu menyendok nasi goreng milik Ben.
"So, what are you doing here?" tanya Harpa.
"Nothing."
"Really?" ucap Harpa seolah tak percaya.
"Ini kampungku. Kota kelahiranku. Disinilah aku menghabiskan sebagian hidupku. Setelah aku memutuskan resign, aku memilih kembali kesini."
"Wah, aku tak tahu kalau kota ini adalah kampung halamanmu," ucap Harpa sambil menikmati nasi goreng gila, sepiring berdua. "Resign?" tanya Harpa lagi.
Ben hanya mengangguk. "Lalu, ada apa gerangan kamu sampai berada di kota ini? Setahuku, terakhir kali kita bertemu, kamu sedang ditugaskan di Singapura, bukan?"
"Betul. Tapi beberapa bulan setelah itu, aku ditugaskan ke Jakarta, sebelum akhirnya sampai disini. Sudah hampir setahun. Jadi, apa kesibukanmu sekarang?"
"Ah, aku hanya bekerja serabutan."
"Wah, apa yang kamu kerjakan, pasti kamu yang lebih tahu mana yang terbaik dan membuatmu bahagia."
Tak terasa Ben dan Harpa terlibat obrolan panjang malam itu sambil menikmati sepiring nasi goreng gila berdua. Jam hampir menunjukkan pukul 10 malam.
"Senang berjumpa denganmu kembali, Ben!" ucap Harpa.
Ben dan Harpa pun beranjak dari tempat duduknya. Mereka berjalan menuju mobil milik Harpa yang diparkir tak jauh dari sepeda motor Ben.
"Jadi, minggu depan kamu akan bertugas ke Rusia untuk berapa lama?" tanya Ben membukakan pintu mobil Harpa.
"Bisa satu minggu, sebulan, atau mungkin satu tahun."
"Sehat-sehat selalu untukmu," ucap Ben mendoakan.
Harpa tersenyum. Ia masuk ke dalam mobil. Lalu, tak lama membuka jendela mobil. "Aku duluan, ya!" pamit Harpa.
Ben hanya mengangguk. Ia bergegas menuju sepeda motornya dan melanjutkan perjalanan pulang. Udara malam mulai terasa dingin. Matanya mulai merasa kantuk, apalagi Ben baru saja menikmati sepiring nasi goreng gila, berdua dengan Harpa.
Walau kini Ben sudah tidak lagi bekerja sebagai karyawan perusahaan, tak ada gaji tetap, tunjangan, maupun bonus perusahaan. Namun, Ben merasa senang walau kini ia hanya bekerja serabutan.
Besok pagi, Ben diajak oleh salah satu temannya untuk memulung. Memungut dan memilah sampah yang nantinya dapat didaur ulang untuk berbagai macam kebutuhan ataupun keperluan rumah tangga. Hal-hal seperti inilah yang tidak bisa Ben lakukan saat masih bekerja sebagai karyawan.
Lusa, Ben pun sudah ada pekerjaan lain, yaitu sebagai dosen tamu disalah satu perguruan tinggi di kotanya. Salah satu tetangganya yang kebetulan adalah seorang dosen meminta Ben untuk mengisi mata kuliah statistik dan metode penelitian.
Ben patut bersyukur, ia masih diberikan hal terpenting dalam hidup. Bukan pekerjaan tetap, bukan pula kendaraan mewah, maupun harta melimpah, melainkan kesehatan.
Hampir sebagian besar manusia, seringkali melupakan bahwa hal terpenting dalam hidup adalah kesehatan. Selalu mengeluh hidupnya tak sebahagia orang lain. Bagi Ben, kebahagiaan dalam hidup adalah selalu diberikan kesehatan, bebas dari hutang, dan selalu bersyukur. Seperti saat ini, walau sekarang Ben adalah pekerja serabutan, tapi ia selalu mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan. Lagi, kesalahan terbesar adalah selalu membandingkan kenikmatan ataupun yang dimiliki dengan kenikmatan orang lain.
YOU ARE READING
Sarjana Penjaga Makam (Judul Horor, Cerita Penuh Makna)
General FictionBen memutuskan resign dari tempatnya bekerja. Iming-iming kenaikan gaji pun tak begitu ia hiraukan. "Ini bukan persoalan uang, tapi ... " ucap Ben. "Tapi apa?" potong Winda salah satu temannya. "Aku sudah mulai tidak menikmati apa yang aku kerjakan...