Malam itu hampir menunjukkan pukul 3 pagi, Ben dan Rawi habis pulang bekerja dari pabrik. Mereka diajak bergabung oleh Abi. Walau pekerja harian, upahnya cukup lumayan, apalagi kalau ada lemburan. Setidaknya jauh lebih besar dari pada upah sebagai penjaga makam.
"Ben, kita lewat mana ini?" tanya Rawi menepikan sepeda motornya tanpa mematikan mesinya. Sorotan cahaya dari sepeda motornya terlihat sayup - sayup.
"Lewat jalan biasa. Mau lewat mana lagi?" sahut Ben.
Rawi yang malam itu mengendarai sepeda motor milik Ben terdiam sesaat. "Lewat loji, Ben?" tanya Rawi lirih.
"Iya, aku ngantuk ini." Mata Ben terlihat seperti lampu remang - remang.
Ben seharusnya pulang sekitar jam 11 malam tadi, tapi Rawi menahannya. Rawi memintanya untuk menunggunya. Rawi begitu antusias bekerja di pabrik itu.
"Masa kau tega, aku pulang sendirian," pinta Rawi merayu.
Rawi memang terlihat begitu giat bekerja sekali. Apapun ia kerjakan selama menghasilkan uang, asal ... halal.
"Wi, tunggu apalagi? Ayo cepat," perintah Ben.
Loji adalah tempat tinggal bernuansa bangunan - bangunan Eropa. Entahlah, warisan dari Belanda, Portugis, atau negara Eropa lainnya. Untuk pulang dan pergi menuju pabrik, Rawi dan Ben harus melewati jalanan yang kanan kirinya terdapat bangunan - bangunan tua peninggalan masa lampau itu dengan halaman yang cukup luas tanpa ada pagar - pagar yang mengelilinginya.
Terlihat asri, apalagi kalau pagi hari. Udaranya sejuk dan pepohonan terlihat berembun. Tapi, kalau malam hari, tetap bikin bulukuduk berdiri. Beberapa bangunannya, terlihat kosong, tak ada yang menempati. Apalagi katanya, salah satu pekerja pabrik pernah melihat sosok yang sedang bermain ayunan pukul 1 pagi. Orang waras mana yg main ayunan pagi - pagi buta sendirian?
Memang ada jalan lain, selain melewati loji, tapi harus memutar begitu jauh. Rawi pun memberanikan diri mengendarai sepeda motornya melewati jalanan loji itu. Sesekali melihat ke arah Ben yang ada dibelakang.
"Kamu kenapa menengok ke arahku terus?" tanya Ben heran dan sedikit kesal.
"Aku khawatir, Ben."
"Khawatir apanya?"
"Khawatir kamu menghilang dan berubah menjadi sosok lain," ucap Rawi.
"Sialan!" sahut Ben tertawa lirih. "Kamu sih, kebanyakan mikir yang aneh - aneh. Udah itu, jangan sampai meleng nyetirnya."
Jalanan loji itu, terlihat sepi sekali. Tak ada satupun kendaraan yang melintas malam itu. Berbeda jauh saat pagi atau siang hari. Bahkan kalau di pagi hari pada hari libur, sering digunakan untuk orang berolah raga di jalanan itu.
"Sepi, ya, Ben," ucap Rawi lirih.
Pandangan Ben dan Rawi sesekali melihat bangunan - bangunan disekelilingnya.
"Wi!" sayup - sayup terdengar suara memanggil. "Wi! Wi!"
"Ben, apa kamu dengar suara itu?" tanya Rawi sambil memelankan sepeda motornya.
"Tentu saja dengar. Tapi, siapa gerangan malam - malam seperti ini memanggil - manggil?" tanya Ben.
Perasaan Rawi sudah mulai tidak enak. "Kita tancap gas aja, ya!" ucap Rawi.
Suaranya terdengar semakin mendekat.
"Huaaaa!" Ben berteriak. Pundaknya terasa ada yang memegang. Mendengar teriakan itu, Rawi pun menengok ke arah Ben.
"Se... setannn!" teriak Rawi melihat sosok tanpa muka dibelakang Ben.
"Kalian kenapa, sih? Malam - malam ketakutan seperti itu," ucap sosok itu sambil membuka kain sarung yang menutupi kepalanya dan sebagian tubuhnya.
"Ah, gila kamu! Aku pikir siapa?" ucap Rawi yg masih terlihat parno.
"Betul, Bi. Aku pikir siapa? Lagi pula, kamu malam - malam dipinggir jalan seperti ini sedang ngapain?" tanya Ben.
Rawi mematikan sepeda motornya. Ben pun turun dari boncengannya.
"Apa kamu tidak lihat mobil pickup pabrik sedang mogok disitu?" timpal Abi sambil menunjuk mobil yang dimaksud.
"Kehabisan bensin. Nah tuh, orangnya baru dateng," ucap Abi menunjuk teman mereka di pabrik. Ucup biasa dipanggil. Terlihat sedang membawa dirigen isi bensin."Memangnya kalian habis dari mana, toh?" tanya Rawi.
"Mau antar pesanan. Sebelum abis bensin, mobil pickup pabrik tadi juga kempes. Harus ganti ban dulu" jawab Abi.
Pabrik periode itu memang sedang meningkat produksinya. Banyak pesanan dari luar negeri maupun dalam negeri. Anyaman dari Indonesia memang disukai oleh konsumen luar negeri.
"Kalian kenapa seperti habis melihat setan seperti itu?" tanya Ucup menghampiri Ben dan Rawi."Oh, tidak kok," sahut Rawi mencoba menutupi ketakutannya.
"Seno saja kadang camping kok di salah satu halaman loji sekitar sini," ucap Ucup.
Mendengar hal itu, Ben dan Rawi hanya terdiam. Mereka sebetulnya sudah tidak heran lagi, tapi hanya tidak menyangka saja Seno yang hobi sekali camping di area - area yang bisa dibilang spooky.
"Kalau begitu kita ambil barang dulu, ya," ucap Abi. "Apa kalian mau lembur lagi pagi nanti?" tanya Abi lagi.
"Tentu saja," timpal Rawi percaya diri.
"Kalau aku mungkin istirahat dulu. Upah di pabrik itu memang besar, tapi rasanya aku perlu memikirkan kesehatanku," ucap Ben. "Lagi pula, ada yang aku harus kerjakan nanti."
"Kalau begitu kita duluan, ya," pamit Ucup dan Abi.
Ben dan Rawi pun melanjutkan mengendarai sepeda motornya. Rawi sebetulnya ingin keluar sebagai penjaga makam dan fokus bekerja di pabrik. Tapi, ia mengurunkan niatnya. Ia tidak enak kepada Pak Nenda orang yang pertama kali menawarkan pekerjaan sebagai penjaga makam disaat Rawi dan Ben sedang bersusah payah mencari pekerjaan. Lagi pula, bekerja sebagai penjaga makam memberikan banyak pembelajaran atau hal lain yang belum pernah Rawi temukan.
"Kalau kamu sudah banyak duit, kamu mau beli apa, Wi?" tanya Ben yang membonceng Rawi. Waktu hampir mendekati subuh. Udara dingin terasa menusuk sampai ke tulang - tulang.
Ditanya Ben seperti itu, Rawi seakan tidak siap. Tapi sebetulnya, ada keinginan yang paling mendalam dari lubuk Rawi.
"Kalau kamu, Ben?" tanya balik Rawi.
"Aku mau beli pulau," kelakar Ben.
Ben dan Rawi, penjaga makam itu dipertemukan karena satu alasan. Seiring berjalannya waktu, mereka menjadi karib yang tidak terpisahkan. Kita bertemu karena sudah waktunya, tak peduli jauhnya jarak. Kita pun berpisah nanti karena sudah waktunya, tak peduli apapun situasinya. Tapi seperti itulah hidup.
YOU ARE READING
Sarjana Penjaga Makam (Judul Horor, Cerita Penuh Makna)
General FictionBen memutuskan resign dari tempatnya bekerja. Iming-iming kenaikan gaji pun tak begitu ia hiraukan. "Ini bukan persoalan uang, tapi ... " ucap Ben. "Tapi apa?" potong Winda salah satu temannya. "Aku sudah mulai tidak menikmati apa yang aku kerjakan...