Tempat di Sudut Hatinya

1.8K 97 0
                                    

Tahta kembali melanjutkan acara makan malam bersama kekasihnya. Dengan tenang dan sesekali bercanda dengan Bella, pria yang mengenakan hem lengan pendek bermotif melodi musik dan celana levis itu menyantap hidangannya.

"Makan yang banyak, Sayang," ucapnya pada Bella sambil tersenyum manis padanya.

Tangan kekar Tahta hendak meraih gelas jus yang ada di sebelah kanan piring miliknya. Namun, tiba-tiba saja ponsel yang sedari tadi tergeletak itu bergetar dan mengeluarkan bunyi tanda pesan singkat masuk.

Bella terhenyak mendengar suara dentingan ponsel, hingga membuatnya membulatkan mata lebar-lebar ke arah benda tersebut. Jantung wanita seksi itu tiba-tiba saja berdegup tidak karuan.

Tahta mengalihkan tangannya pada benda pipih tersebut dan segera membuka ponselnya. Hal itu tak luput dari perhatian Bella dengan wajah yang tegang bercampur kesal. Wanita itu sudah menebak siapa pengirim pesan tersebut.

"Astaga!" Tahta membeliakan mata membaca tulisan di layar ponselnya.

Jika kau sudah tidak sibuk, tolong jemput aku. Aku tidak bisa menemukan taksi di sini. Begitulah isi pesan teks yang dikirimkan oleh Cinta padanya.

"Ada apa, Bebi?" tanya Bella berpura-pura seolah tidak mengerti apa-apa.

"Aku lupa untuk menjemput Cinta. Tadi siang aku sudah berjanji padanya dan sekarang dia tidak bisa menemukan kendaraan. Aku harus segera menjemputnya," jawab Tahta dengan wajah panik.

"Sudahlah, biarkan saja dia berusaha mencari sendiri. Dia bukan adikmu. Dia juga sudah dewasa, apa masalahnya denganmu. Asal kau tahu, ya Bebh tidak ada persahabatan antara pria dan wanita yang murni di dunia ini. Bukankah kemarin kau bilang dia memfitnahku?" Bella menjawab Tahta dengan penuh kekesalan.

"Sayang, tenanglah. Aku dan Cinta benar-benar hanya berteman. Aku sudah menganggap dia seperti adikku sendiri. Kali ini saja, tolong biarkan aku menjemputnya. Setelah itu aku berjanji tidak akan membiarkan dia mengganggu kita lagi. Aku pergi dulu ya," pamit Tahta dan bergegas pergi menjemput Cinta.

Kepala Bella terasa hampir mendidih karena ditinggalkan begitu saja oleh kekasihnya. Kedua tangannya terkepal erat dengan wajah yang sudah memerah bak kepiting rebus.

Sementara itu, Tahta yang benar-benar merasa bersalah sudah membuat Cinta menungggu begitu lama. Berulang kali dia memperhatikan jam di mobilnya. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan tepat. Sudah lewat dua jam dari waktu yang seharusnya dia menjemput.

"Bagaimana bisa dia tidak mengingatkanku sama sekali. Seharusnya kan dia bisa menelponku sejak tadi," gerutunya sepanjang jalan. Setelah menempuh hampir setengah jam perjalanan, GPS di layar kecil mobilnya memberikan isyarat bahwa mereka sudah sampai lokasi.

Tahta menoleh ke sekeliling jalanan tersebut. Gelap, hanya ada beberapa lampu dengan jarak yang berjauhan. Dia memelankan laju kendaraannya dan mulai mencari keberadaan Cinta.

Pria itu tiba-tiba memfokuskan perhatiannya pada sesosok wanita yang sedang duduk dengan kepala tertunduk dalam-dalam di bawah pohon. Wanita tersebut sama sekali tidak mengangkat kepalanya meskipun sorot lampu mobil Tahta semakin mendekat.

Dengan segera Tahta turun dari mobilnya dan menghampiri wanita yang terlihat tidak bergerak sedikitpun tersebut. Manik matanya menatap bingung sekaligus khawatir pada wanita tersebut.

"Cinta?" ucap Tahta sedikit ragu.

Wanita yang rambutnya tergerai ke samping menutup pipinya itu dengan cepat mengangkat kepala saat mendengar suara Tahta.

"Ta–Tahta?" Cinta menatap tak percaya.

Wajah cantiknya terlihat memucat dengan mata yang sudah sangat sembab. Cinta dengan cepat berdiri dan berhambur memeluk Tahta yang masih terlihat kebingungan.

"Tahta, Tahta aku takut. Kenapa kau baru datang, kenapa kau lama sekali." Tangis wanita itu kembali pecah menyatu dengan bekas air mata yang sudah mengering di pipinya.

Tahta dengan ragu mengelus rambut hitam Cinta. Mata pria itu berkeliling, menyapu setiap sudut tempat yang gelap dan sepi tersebut. Hanya ada pemandangan kebun bunga dan taman kecil yang minim penerangan. Tidak jauh dari jalan itu ada rumah makan sepi yang sebelumnya disinggahi Cinta, tapi juga dengan lampu remang-remang berwarna kuning. Rumah makan tersebut memang mengusung tema tempo dulu, jadi tidak banyak penerangan di area tersebut.

Tahta membawa Cinta masuk ke dalam mobil. Dia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi meninggalkan perbatasan kota.

Di tengah perjalanan, Tahta melirik ke arah Cinta yang sudah lebih tenang. Wanita yang duduk di sampingnya itu menyeka bekas air mata tanpa sepatah katapun keluar dari mulut mungilnya.

"Maafkan aku," celetuk Tahta tanpa menatap ke arah Cinta.

Cinta masih terdiam. Dia seolah sama sekali tidak tertarik untuk menanggapi Tahta. Wanita yang sudah terlihat lelah itu hanya menatap lurus, memperhatikan lalu-lalang mobil dan motor yang ada di depan mobil.

"Aku ada acara tadi, dan aku ...." Tahta menarik napas panjang dan melirik Cinta yang masih dengan wajah datarnya.

"... aku lupa," lanjutnya dengan penuh rasa bersalah.

"Ya, kau sudah sepatutnya lupa. Bahkan kau lupa kalau aku juga takut gelap. Apa kau tahu hampir saja aku diganggu oleh pria pemabuk? Apa kau tahu ketakutanku duduk sendiri di bawah pohon itu? Jika memang tidak bisa seharusnya kau tidak perlu berjanji." Cinta akhirnya meluapkan emosi yang sudah di ubun-ubun.

"Seharusnya kau tak menungguku hingga selama itu," celetuk Tahta yang membuat Cinta menoleh tak percaya ke arahnya.

"Hah?" desah frustasi Cinta dengan memutarkan bola matanya kesal.

"Kau bisa menelpon layanan jemput, kan?"

"Aku sudah mencobanya, tapi tidak ada yang bisa. Bukankah kau tahu lokasinya berada di pinggir kota. Berhenti saja kalau kau tidak ikhlas," sela Cinta yang semakin emosi.

"Tidak ikhlas? Kau bilang tidak ikhlas? Aku bahkan meninggalkan Bella begitu saja supaya bisa segera menjemputmu, dan kau bilang tidak ikhlas?"

Cinta membeku seketika mendengar pengakuan Tahta. Matanya menatap lekat wajah maskulin di hadapannya tersebut. Wajah yang dipenuhi oleh ekspresi kesal.

Di–dia meninggalkan j*lang itu demi aku? Sungguh? Apa dia sedang berbohong padaku? Tapi ... tidak mungkin Tahta berbohong.

Tanpa disadari air mata Cinta kembali mengalir. Perasaan marah, kecewa, kesal yang baru saja menguasainya tiba-tiba sirna begitu saja digantikan dengan rasa haru dan bahagia luar biasa. Dia masih punya tempat di hati Tahta, pikirnya.

Bersambung ...

[NOT] A Perfect MarriageWhere stories live. Discover now