Kisah Lalu

2.3K 73 2
                                    

Sore ini begitu cerah. Meskipun matahari sudah mulai menyingsing, tapi cahayanya masih mampu menerangi permukaan tanah di daerah pegunungan yang diinjak oleh seorang wanita berbaju putih. Dia duduk berjongkok di sebuah makam yang telah ditumbuhi rumput hias dan ada sebuah pohon bunga baby rose tumbuh subur di dekat batu nisannya. Dia, wanita yang tengah memegang seikat bunga mawar itu meletakkan bunganya di atas gundukan tanah dan mengelus perlahan batu nisan dihadapannya. Tatapan mata itu begitu dalam dan sendu.

"Sudah hampir dua tahun berlalu, Mas. Anak-anak sudah tidak menangis lagi setiap malam karena mencarimu. Tenanglah di sisi-Nya. Meskipun dari awal hingga akhir tidak ada cinta yang bisa kupersembahkan, tapi namamu akan selamanya terselip dalam setiap sujudku. Aku berjanji padamu," gumam wanita yang tak lain adalah Cinta, istri dari jasad yang menghuni makam tersebut.

Cinta menyeka air mata yang sudah menganak sungai di pipinya. Wanita itu perlahan bangkit setelah menengadahkan tangan memohon ampunan dan doa terbaik untuk suaminya. Dia melangkah, menundukkan kepalanya menatap setiap langkah demi langkah yang dia ambil, sembari kembali memutar ulang ingatan kejadian dua tahun lalu.

Dengan sandal yang sama dengan yang dia kenakan saat ini, Cinta berlari menyusuri koridor rumah sakit pelita di Jakarta. Sepinya lorong demi lorong malam itu sama sekali tidak menyiutkan nyali Cinta untuk bisa melihat kondisi suaminya. Sandal ankle-strap heels dengan hak yang tidak terlalu tinggi itu memudahkan Cinta untuk mengambil langkah lebar dan tidak lupa menimbulkan bunyi khas disetiap ketukan kakinya.

"Kak Cinta?" seru Rumi yang tengah duduk di depan ruang perawatan paviliun merpati.

"Di mana Rudi?" tanya Cinta spontan. Raut wajah tegang dan penuh kekhawatiran tidak bisa terhindarkan.

"Di dalam sana ibu. Aku pikir kakak ke sini besok pagi. Di mana si kembar?"

"Mereka aku titipkan ke Nana. Boleh aku masuk?"

Rumi mengangguk dan segera membukakan pintu untuk kakak iparnya. Cinta masih diam mematung di ambang pintu saat manik matanya menangkap sesosok pria yang terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang. Banyak selang bergelantungan dan menempel di beberapa bagian tubuh pria yang biasanya terlihat bugar tersebut.

"Cinta? Kau datang, Nak?" sapa Ibu Rudi dengan nada lemah. Wanita paruh baya itu terlihat pucat dan tidak memiliki semangat sama sekali.

"Ibu, bagaimana kondisi Rudi, Bu?" tanya Cinta mendekati mertuanya yang masih terduduk di samping putranya.

Mira mengarahkan tatapan sendunya pada Rudi. "Kau pasti sedang sangat membencinya, ya sekarang. Ibu minta maaf, Cinta."

"Daripada rasa benci, untuk saat ini lebih tepatnya rasa kecewa, Bu."

Mira dan Rumi sama-sama menundukkan kepalanya mendengar sahutan dari Cinta. Ya, keduanya sudah tahu masalah yang tengah terjadi antara sepasang suami istri tersebut. Sebelum kondisi Rudi drop, dia sudah mengatakan segalanya, dan kini, hanya sebuah penyesalan yang bisa mereka dapatkan.

"Mungkin ini karma untuk keluarga–"

"Cinta kecewa bukan hanya pada Rudi, tapi juga pada Ibu dan Rumi. Bagaimana bisa tidak ada satupun dari kalian yang mengatakan kondisi Rudi padaku," sahut Cinta lagi, tapi kini dengan netra yang sudah berkaca.

"Kak, itu ...." Rumi terlihat ragu sembari mencuri pandang pada Cinta yang tengah menatapnya dan Mira bergantian.

"Kak Rudi yang melarang kita untuk cerita. Dia ingin berumah tangga dengan tenang tanpa harus Kak Cinta memikirkan penyakitnya."

Cinta menarik napas berat dan beralih menatap Rudi. Perlahan wanita itu melangkah mendekati suaminya. Dia menatap dalam wajah yang terlihat tetap tampan meskipun seputih kapas tersebut. Setelah menghabiskan hampir sepuluh menit menatap suaminya, Cinta pun memejamkan mata dengan setitik air mata yang terurai.

"Bagaimana keadaan Rudi, Bu?" Cinta memilih menyeka air mata dan duduk di samping ibu mertuanya.

"Maafkan ibu karena tidak mengatakan ini sebelumnya, Nak. Kau boleh marah pada ibu, tapi ibu mohon tetaplah di sisi Rudi hingga akhir," pinta Mira dengan pasrah mengabaikan pertanyaan Cinta.

"Sakit apa Rudi, Bu?"

"Dia ... Kau tahu kan ayahnya dulu menderita kanker, Ibu tidak menyangka bahwa penyakit itu juga dia turunkan pada putranya," jawab Mira sembari terisak karena sudah tak kuasa lagi membendung kesedihannya.

"Jadi ... maksud ibu ...." Cinta menoleh tak percaya menatap ibu mertuanya.

"Rudi menderita kanker hati stadium akhir. Dokter bilang harapan untuk kesembuhannya sudah sangat tipis."

"Tidak! Ibu pasti bohong, kan? Kalian pasti kembali bersekongkol untuk membohongiku lagi, kan?"

"Tidak, Kak," sahut Rumi yang berdiri di belakang ibunya.

"Ibu berkata yang sebenarnya. Kak Rudi sudah divonis mengidap kanker sebelum bertemu kembali dengan Kak Cinta. Dia enggan untuk berobat dan hanya mau pergi saat ibu sudah sangat marah. Lalu ...." Rumi menghentikan kalimatnya dan mengatupkan kedua bibirnya rapat seolah ada sesuatu yang enggan untuk dia ceritakan lebih lanjut.

"Apa? Lalu apa?"

"Lalu ... saat dia mendapatkan kabar tentang Kak Cinta dari temannya dan dia membuat rencana dengan temannya itu ... dia mendapatkan semangat hidupnya lagi. Dan kita ... kita terpaksa untuk mengiyakan permintaan Kak Rudi dan menyembunyikan semuanya dari Kak Cinta. Ibu ingin Kak Rudi bisa bertahan. Dan setelah menikah dengan Kak Cinta, aku melihat sendiri Kak Rudi begitu semangat berobat setiap bulannya," akui Rumi yang sudah berusaha mengumpulkan semua keberaniannya sedari tadi.

Cinta tertegun mendengar penuturan adik iparnya. Dadanya terlihat semakin cepat bergerak naik turun dan napasnya terasa tercekat di tenggorokan. Dia merasa telah menjadi orang yang paling bod*h selama ini hingga bisa berkali-kali tertipu oleh pria dan jatuh dalam jebakan-jebakan orang di sekitarnya. Wanita itu merem*s dress dengan sangat erat hingga kuku-kuku jarinya terasa menancap ke kulit lembutnya.

"Atas nama anak ibu, ibu meminta maaf padamu, Nak. Tolong maafkan putra ibu. Ibu tahu perbuatannya begitu kejam hingga membuatmu dan anak-anak terpisah dari ayahnya, tapi ibu ... ibu juga tidak bisa membiarkan putra ibu menderita karena penyakitnya," ucap Mira disela isakan tangisnya yang terdengar begitu memilukan.

Cinta memejamkan matanya rapat dan menarik napas dalam-dalam. Dadanya terasa begitu nyeri dan hampir membuatnya berteriak karena rasa sesak yang terasa semakin menghimpitnya. Tiba-tiba saja wanita itu bangkit hingga membuat kedua orang yang ada di sampingnya menoleh.

"Aku permisi dulu, Bu," ucap Cinta dan segera melangkah keluar meninggalkan keduanya.

Wanita yang hatinya tengah hancur itu melangkah di bawah cahaya lampu trotoar jalanan, dengan derai air matanya yang tak kunjung bisa dia hentikan.

"Kenapa segalanya menjadi begitu rumit, Tuhan? Kenapa aku menjadi seperti ini? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku ... bahkan aku sekarang tidak mempercayai hati dan pikiranku sendiri, Tuhan. Kenapa Kau begitu kejam padaku?" Cinta duduk di bangku sembari mengacak rambutnya dengan kedua tangan. Wanita itu nampak begitu frustasi di tengah malam, di gelapnya langit kota Jakarta yang menyelimuti kesendiriannya.

Bersambung ....

****************
Haloo, Sayang.... Udah lama nggak di sapa kalian. Kangeen. Sekarang udah aktif kerja masuk kantor seperti biasa lagi, jadi nggak full ngehalu (Sedih). Tapi tenang aja, bentar lagi Bang Tahta keluar. See you soon, My Shining Star.🌟

[NOT] A Perfect MarriageWhere stories live. Discover now