Senja Menyapa

3.9K 135 0
                                    

"Ka–Kau sudah pulang?" tanya Cinta menatap sesosok pria bertubuh tinggi dan tegap yang baru muncul dari balik dinding.

Pria yang tak lain adalah Tahta tersebut, tiba-tiba menghentikan langkahnya dan mematung di tempat saat melihat Cinta duduk di hadapannya. Dia pikir wanita itu mungkin sudah mengunci diri di dalam kamarnya. Mata yang sebelumnya membulat sempurna itu dia kedipkan dengan cepat. Dia berusaha merubah ekspresi setenang mungkin sebelum akhirnya kembali melangkah maju ke arah Cinta.

"Ya, aku lelah," jawab Tahta datar.

Cinta menanggapinya hanya dengan anggukan kepala singkat, dan kembali melanjutkan aktivitas makan malamnya. Wanita itu benar-benar tidak ingin terlalu banyak bicara dan berekspektasi yang tinggi. Cinta takut itu akan membuatnya terjatuh lebih dalam. Baginya, melihat pria yang berstatus suaminya itu tidak marah dan mengamuk saat pulang karena kejadian semalam, sudah bisa membuatnya bernapas lega.

Tahta menghentikan langkahnya di samping meja makan. Berdiri tegap di sana dan menatap mie instan di piring istrinya. "Kenapa kau makan itu?"

Cinta mengerutkan dahi mendengar pertanyaan Tahta. Dia menanyaiku? Perlahan lingkar hitam di mata Cinta terarah pada pria yang berdiri di hadapannya tersebut.

"Ini?" tanya Cinta sembari menunjuk ke arah piring.

"Memang ada hal lain di atas meja ini selain makanan tidak sehat itu?"

Senyum simpul tercetak di bibir tipis Cinta. "Itu ... aku malas masak, capek. Jadi aku buat ini saja biar cepat. Kalo tidak setiap hari, tidak masalah. Tidak sehat itu kalo dikonsumsi setiap hari."

Wajah datar Tahta menegang. Tangan kekar pria itu menggenggam erat pinggiran meja mendengar jawaban Cinta. "Le–lelah? Apa karena semalam?"

"Uhuk?" Cinta tersedak makanan yang baru saja dia kunyah. Segera dia membersihkan tenggorokan yang terasa kaku itu, dengan air putih yang sudah bertengger di sebelah piring miliknya.

Netra wanita yang wajahnya memerah bak tomat itu menatap bingung ke arah Tahta yang masih mematung di hadapannya. Ekspresi pria itu sulit untuk dibaca Cinta. Tidak ada aura marah dan semacamnya yang seperti dia bayangkan sebelumnya. Namun, juga tidak ada kesedihan di sana. Tatapan suaminya itu terlihat sayu, tidak segarang biasanya. Apa pengaruh alkohol itu masih belum hilang?

"Semalam ... aku minta maaf untuk apa yang terjadi ...."

Deg!

Kini bukan hanya tubuhnya yang terasa kaku, tapi otak Cinta juga serasa kosong. Tidak ada yang bisa dicerna oleh otaknya saat ini. Jantung wanita itu pun serasa lepas kendali, berdetak hingga hampir melompat dari tempatnya.

"Semalam aku mabuk, jadi ...." Tahta menggantung kalimatnya. Lidah dan tubuhnya tiba-tiba saja menegang mengingat kejadian malam yang begitu basah tersebut. Mata pria itu tidak bisa fokus, bahkan dia tidak berani untuk menatap wanita yang pernah sangat dibencinya itu.

Cinta menarik napas panjang dan membuangnya perlahan untuk menenangkan pikirannya yang masih kacau. "Iya, aku tahu kau sedang tidak dalam kondisi yang sadar. Aku juga tidak menyalahkanmu, ini pun sudah menjadi konsekuensiku sebagai seorang istri," jawab Cinta dengan tenang.

Tahta membeliakan matanya dan refleks menatap Cinta. Tatapan yang menunjukkan sebuah keterkejutan. Pria yang selalu memberi dinding yang tebal dan tinggi jika berhadapan dengan Cinta, kini seolah merobohkannya begitu saja.

"Kau tidak marah karena aku memaksamu?"

"Bahkan tanpa kau paksa pun aku akan melakukannya selama aku masih menjadi istrimu. Aku tidak menyangka kau akan mengingatnya. Bahkan aku sudah menyiapkan jawaban jika kau melupakannya dan menyalahkanku." Cinta tersenyum miring dan kembali menyantap mie instan yang tinggal beberapa suap di piringnya.

"Apa kemarin itu ... sangat sakit?"

"Ya–Ah, Tidak!" jawab Cinta spontan dan segera meralatnya. Dia menunduk dalam-dalam dan memejamkan matanya menahan malu, pipi mulusnya bahkan hingga merona kemerahan.

"Sudah malam, aku harus segera menyiapkan materi untuk kelas besok. Selamat malam," pamit Cinta sembari meletakkan piringnya di cucian dan melenggang pergi meninggalkan Tahta.

Pria yang masih berdiri membatu di samping meja makan tersebut hanya bisa menelan getir rasa bersalahnya. Tidak ada keberanian lagi baginya untuk menatap mata coklat Cinta. Dia seperti laki-laki brengs*k yang mengguyur sampah pada istrinya, tapi juga menjil*tinya kembali. Melihat ketidak pedulian dan senyum di wajah ayu Cinta, wanita yang pernah dibencinya itu, membuat dada Tahta tiba-tiba terasa sesak seolah ditekan dengan kuat. Oksigen di sekitarnya pun seolah lenyap seketika. Pria yang masih mengenakan jas kerjanya tersebut terduduk lemah di kursi makan dan mengusap wajahnya frustrasi.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang?"

----------------

Waktu berganti dari detik ke menit, dari menit ke jam, dan dari jam ke hari. Tapi rasa bersalah di hati Tahta tidak bisa berlalu begitu saja seperti hari. Pria yang tengah kalut dengan pikiran dan perbuatannya sendiri itu menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk bekerja dan bekerja. Dia tidak berani pulang menemui wanita yang setiap hari membersihkan rumahnya. Ya, wanita yang sebelumnya hanya dia anggap sebagai tamu tapi, tamu apa yang hingga bisa dia gauli dengan buas?

Sudah lima hari Tahta menghabiskan waktunya di perusahaan. Melupakan jadwal makan, melupakan tidur dan bahkan melupakan kekasihnya yang senantiasa menghubunginya setiap saat. Dia bisa melupakan semua itu, tapi hanya satu yang tak bisa hilang dari ingatannya, sikap Cinta saat terakhir mereka bertemu. Sikap yang seolah acuh itu malah membuatnya menjadi semakin terganggu.

"Pak Bos, Apa hari ini Anda akan lembur lagi?" tanya Reza yang sudah duduk di sofa menunggui atasannya bekerja.

Tahta tidak menjawab. Pria yang tengah berdiri di tepi jendela kaca besar itu menatap matahari yang perlahan menyembunyikan dirinya. Senja sudah menyapa.

Di sudut kota yang lainnya, seorang wanita tengah melampiaskan amarahnya. Kamar berukuran besar dengan fasilitas terbaik itu terlihat berantakan. Bantal, guling, seprei, semua tercecer di lantai. Wanita itu duduk di pinggir ranjang sembari menggenggam erat ponsel di tangan kanannya dengan sorot mata tajam.

"Beraninya dia mengabaikan panggilanku. Beraninya dia tidak membalas pesanku. Bahkan sudah satu minggu kau menolak bertemu denganku. Awas saja kau Tahta, aku akan membuatmu menyesali ini. Kau tidak akan pernah bisa lepas dariku. Tidak akan."

Bella melemparkan benda pipih di tangannya tersebut hingga menghantam tembok di depannya. Benda bernasib malang itu terjatuh ke lantai dengan keadaan yang masih utuh dan, hanya mengalami lecet ringan di bagian pojok. Ya, itu adalah merk ponsel terbaik di dunia yang di klaim tahan banting, dan Bella telah membuktikannya sendiri.

Bersambung .....

[NOT] A Perfect MarriageTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon