Akhirnya

34 7 4
                                    

Di temani semilir angin dengan segenggam roti keju, aku tanpa berpikir panjang langsung saja menuruti kemauan Harsa seperti yang di lampirkan di surat kemarin

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Di temani semilir angin dengan segenggam roti keju, aku tanpa berpikir panjang langsung saja menuruti kemauan Harsa seperti yang di lampirkan di surat kemarin. Mirip hipnotis, seharian menunggu jam 8 malam rasanya sangat lambat, degup jantungku selalu bertambah cepat tiap detik berlalu, hatiku tak karuan.

Kurang tujuh menit lagi, pukul delapan akan segera tiba. Sepertinya aku terlalu cepat datang, ah saking antusiasnya ya? Baiklah, tidak apa-apa.

Kurasa jarum jam yang ada di arloji sudah benar menunjukkan angka delapan, malah lebih sepuluh menit. Tapi taruna yang kutunggu-tunggu selama beratus ratus hari, bermilyar-milyar detik, belum kunjung menampakan diri.

Jangan pesimis.

Aku hanya bisa bergumam seperti itu sambil menunduk, mengeratkan jaket rajut yang terpasang hangat menyelimuti tubuh. Rasa rasanya udara semakin dingin.

Tapi atmosfer dingin itu seperti lenyap begitu saja saat sebuah telapak tangan yang tampak familier terjuntai, mempersilakan diriku untuk menggenggamnya dengan cuma cuma.

Sontak aku mendongak, tepat sasaran! jantungku rasanya hampir berhenti berdetak, dadaku sesak secara tiba-tiba, mulut yang hendak berbicara itu terkatup rapat, tanganku gemetar meraihnya.

Harsa. Harsa ada di sini, di taman, tepat berdiri tegap di depanku sambil memasang senyum termanis yang ia punya. Mataku sungguh tidak bisa berbohong, aku hanya bisa menunduk, menangis tanpa suara. Seperti yang di mau, aku akan diam sebelum Harsa yang meminta untuk berucap.

Dapat kulihat pria itu mengalihkan pandangannya keatas, menatap langit malam yang polos lalu beralih menatapku lamat-lamat. Tatapan itu punya banyak sekali makna, aku bisa merasakannya dengan jelas.

Dia bercakap, "Bulan diatas tidak terlihat, artinya bulan yang asli ada di sini. Pantas saja taman terasa bersinar terang ya?"

Aku tercekat. Sungguh, aku ingin menangis kencang sekarang, lelaki pemilik lengkung kurva paling indah itu meraih pipiku, dia mencoba memusatkan pandangannya. Aku mendongak ragu, terus terang aku tidak sanggup menatap matanya.

"Kamu masih sama, tidak ada yang berubah. Cantik, seperti kemarin, hari ini, dan esok seterusnya." Harsa mengembangkan senyum, mengusap lembut rambutku yang mulai kembali memanjang. Aku menggigit bibir, masih berusaha menahan isakan tangis. Aku tidak bisa di perlakuan seperti ini, aku sungguh sungguh tercekik.

Diam beberapa saat. Lelaki itu mundur selangkah, dia menghela napas kasar.

"Katakan, katakanlah apa yang ingin kamu ucapkan, Luna."

Ini dia, kesempatan yang sudah kutunggu sedari dulu. Tanpa respons apa pun, aku langsung menabrak tubuh gagah itu, aku memeluknya dengan erat, jatuh tenggelam pada tubuh hangat yang penuh luka di masa lalunya. Tangisku pecah seketika, membayangkan betapa sulitnya hidup sebagai Harsa Astama. Memikirkan diriku sendiri yang pernah menjadi harapannya untuk terus lanjut menempuh hidup.

April Wishlist ✔Where stories live. Discover now