Chapter 54: Pengakuan

484 36 2
                                    

Aku membasuh mukaku kuat-kuat di kamar mandi kos. Aku ingin terbangun dari mimpi yang tak kutahu baik atau buruk ini. Aku hanya ingin kembali ke realitas kehidupanku yang sebenarnya seperti tiga tahun belakangan ini. Bukan beberapa bulan terakhir ini.

Aku keluar kamar mandi seraya mengeringkan muka pakai handuk. Baru saja aku melangkah keluar dari pintu, para penghuni kosku yang semester ini didominasi angkatan di bawahku telah merubungku. Tentu saja mereka hanya ingin menanyakan siapa laki-laki yang bersamaku tadi. Huh, aku makin pusing.

Aku duduk di lantai ruang tengah dan mereka mengikutiku dengan wajah berbinar penasaran.
Aku mengulur waktu seolah sengaja membuat mereka makin penasaran. Aslinya sih, lagi mikir mau jawab apa. Kalau aku jawab bukan siapa-siapa, nanti aku dikira wanita gampangan yang pergi dengan laki-laki tak dikenal menggunakan mobil. Kalau kujawab jujur dia mantan atasan, pandangan mereka terhadapku malah semakin negatif. Dikiranya aku selingkuhan boss. Teman? Mana mungkin mereka percaya. Apalagi selama aku kos di sini, tak ada satupun teman laki-lakiku yang bertandang. Ditambah aku memang tak dekat dengan kaum adam.

Mungkin predikat teman lebih aman buatku daripada aku menjawab atasan atau bukan siapa-siapa. Peranku sebagai senior teladan di kos tengah dipertaruhkan pada jawabanku nanti. Salah ucap bisa rusak semuanya.

"Teman." Jawabku malas.

"Teman? Teman dekat?" Salah. Jawabku hanya akan memunculkan pertanyaan selanjutnya.

"Ya... Bisa dibilang begitu."

"Sedekat apa?" Kenapa mesti tanya?

"Tidak terlalu dekat juga sih."

"Tapi Mbak Fadilla tadi ikut dia naik mobilnya kan? Ngga mungkin kalau teman biasa. Tapi aku baru kali ini melihat dia."

"Dia baru datang dari merantau." Jawabku mengarang bebas.

"Waaah,, baru datang terus mencarimu ke sini Mbak? Bikin iri. Dia teman sekampungmu Mbak?"

Bisa pada diem ngga sih? Aku sudah dibuat frustasi oleh setiap pernyataan Pak Adit tadi. Sekarang aku semakin frustasi oleh pertanyaan interogatif mereka. Aku hanya menyeringai. Lalu pergi ke kamar, tak peduli dengan rasa penasaran mereka yang lain.

"Lihat aja nanti!" Teriakku dari dalam kamar menanggapi dengungan lebah dari luar.

Aku merebahkan tubuh ke kasur dan memejamkan mata. Aku ingin terlelap sejenak biar beban di kepalaku ringan. Ini soal masa depan. Aku tak bisa mengabaikannya begitu saja.

Sekelebat aku kembali teringat pembicaraanku dengan Pak Adit tadi. Apa Pak Adit serius dengan semua ucapannya? Dia tidak sedang mempermainkanku?

"Oke, kalau begitu anggap saja kamu menerimaku. Untuk urusan mama, biar aku yang urus." Katanya tadi. Ada setitik keraguan dalam hatiku. Apa aku bisa mempercayainya?

"Entahlah Pak. Lagipula saya juga harus bilang sama orangtua saya dulu."

"Aku rasa aku bisa langsung menemui orangtuamu setelah aku meyakinkan mamaku."

Aku memamdang remeh pada kesombongannya. Dia belum mengenal orangtuaku. Mereka seperti aku. Penuh pertimbangan apalagi kalau soal jodoh perjodohan. Dulu setelah tahu kalau aku pernah menjalin hubungan dengan Revan (Revan lagi, Revan lagi), beliau memberikan wejangan semalam suntuk padaku. Padahal nih ya, aku sudah setahun putus sama Revan. Alasannya, karena orangtua Revan adalah orang yang cukup terpandang di desanya. Padahal orangtua Revan tak mempermasalahkannya. Bahkan ibunya sempat kecewa saat hubungan kami berakhir.

Ibuku mindernya minta ampun. Jadi kalau rata-rata seorang ibu itu bangga kalau punya besan orang kaya dan terpandang, ibuku sebaliknya. Beliau akan sangat tertekan. Beliau khawatir keluarga pasangan anaknya akan merendahkan dan mempersulit hidup anak-anaknya. Beliau juga termasuk orang yang tidak tahan dengan gunjingan. Kalau beliau mendengar ada orang yang menggunjingkan keluarga kami, beliau memikirkannya siang dan malam. Sangat berkebalikan denganku, kan.

the King of MonsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang