Chapter 13: Telepon di malam Minggu

634 43 5
                                    

Malam Minggu malam yang asyik buat anak kos an. Bukan karena kami akan jalan-jalan keluar. Males banget itu. Bukan juga karena diapelin sama pacar karena pacar kami berada nun jauh di perantauan. Eh, pacar mereka deng. Aku kan ngga punya pacar.

Ngomong-ngomong soal pacar, aku jadi ingat dengan Revan. Kamu ingat juga kan? Ngga ingat? Ya sudah. Dia memang tak pantas untuk diingat. Aku pun sebenarnya tak mau mengingatnya tapi semalam dia muncul. Mengusik kehidupan damaiku tanpa namanya.

Dia tiba-tiba menelpon namun tak kuangkat. Lalu dia mengeboom ku dengan belasan SMS. Yang intinya dia ingin kita berdamai. Eh, siapa juga yang mulai perang? Dia ingin minta maaf dan mau memulai lagi hubungan kami dari awal. Seperti dahulu. Dia juga mengatakan kalau hubungannya dengan Stella telah berakhir. Dia juga cerita tentang boroknya Stella. Dia seperti menjilat ludahnya sendiri. Atau memungut sampah yang telah ia buang. Tunggu dulu, berarti aku sampah dong? Tidak! Kuganti perumpamaanku. Dia seperti membuang permata untuk mendapatkan perak. Tapi kemudian ia sadar kalau permata lebih berharga. Ah, dia mungkin besi berkarat. Tak tahu malu kan dia? Ah sudahlah. Aku tak mau membahasnya. Aku sudah move on sejak lama.

Kembali pada malam Mingguku bersama teman-teman sekos. Kami menggotong DVD milik pak kos ke kontrakan. Tadi sore Ratna dan Netta menyewa kaset DVD ke rentalan sedangkan aku dan Bella belanja kripik pedas di ujung gang. Jangan komentar betapa ndesonya kami sehingga untuk nonton film saja tidak ke bioskop dan malah nyewa kaset. Kami menerapkan prinsip hidup sederhana, merakyat dan kebersamaan. Juga kereaktifitas tingkat dewa. Sehingga menghadirkan bioskop di rumah. Keren kan kita? Kwakakak..

Tapi kebahagiaan itu tinggal angan-angan karena para cewek tak berperasaan itu malah telpon-telponan sama pacar masing-masing. Meninggalkanku sendirian menonton Harry Potter and The Goblet of fire. Dunia memang kejam.

Mereka ketawa-ketiwi di teras rumah. Biar saja nanti mereka kembali toples ini tinggal tutupnya.

Drrt...drrrtt...

Hapeku yang dari tadi adem ayem di dekat kakiku, kini bergetar. Hanya SMS masuk. Jangan-jangan dari Revan lagi. Aku malas membukanya.

Drrrttt....drtt...
Lagi-lagi hapeku bergetar. Dengan enggan aku memeriksanya. Eh, ternyata bukan dari Revan. Hihi... Dari Fandy semuanya.

'Malam Minggu kamu ngapain Dil?' tanyanya di pesan pertama.

'Hellooow??? Ada orang kah?' tanyanya lagi. Aku ragu untuk membalasnya. Bukankah aku sudah berjanji pada Bu Merliana untuk tidak mendekati anaknya. Rasanya akan sangat munafik jika aku kini berhubungan dengan Fandy.

Drrrrttt...drrttt....
'Sudah tidur kah?'
Lagi-lagi kuabaikan pesannya. Aku tak ingin menghadap Bu Merliana lagi. Entahlah, rasanya tak nyaman duduk berhadapan dengannya.

Drrrttt...drrrttt...
'Aku tahu kamu baca SMS ku. Tapi tak membalas. What's wrong? Ada masalah?'

Duh, tahu juga nih orang. Aku nepuk jidat. Tak bisakah aku sembunyi dari orang ini. Kuketik sebaris balasan namun tak segera kukirim.

Tiba-tiba namanya tertera di layar hape. Dia malah telepon. Hapeku nyaris terlepas dari genggaman. Duh, angkat ngga ya?

"Kenapa ngga diangkat Dil? Siapa yang telepon?" Tiba-tiba Netta nongol di sampingku membuatku kembali terkejut. Aku menunjukkan hapeku. Dia mengambilnya sambil anggut-anggut.

"Apa susahnya sih mencet 'yes'?" Eh? Aku melotot karena dia mengangkat teleponnya.

"Hallo, assalamualaikum?" Suara cempreng Netta membuatku gugup. Terdengar samar suara jawaban salam dari seberang sana. Aku menunggu dengan harap-harap cemas. Sesekali Netta melirikku. "Oh, iya. Dia ada di sini."

the King of MonsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang