Chapter 56: Lamaran dadakan

547 32 8
                                    


Acara lamaran terhadap Dewi berlangsung lancar. Dewi adalah sepupuku yang rumahnya bersebelahan dengan rumahku. Aku sedang membantu menyiapkan snack untuk tamu di belakang bersama ibu-ibu saat di ruang depan rumah Dewi mendadak hening kemudian kembali riuh rendah. Seseorang memberitahu orang-orang dapur kalau ada tamu bermobil. Mereka berpenampilan rapi. Sepertinya mereka bukan orang sini. Lebih tepatnya mereka berasal dari kota. Beberapa orang penasaran dan ikut menengok ke dalam rumah.

"Dil, ada orang yang mencarimu!" Tiba-tiba salah satu tetanggaku memanggil. Aku terheran-heran. Siapa orang yang mencariku malam-malam begini? Ada perasaan gugup, takut dan waspada. Aku segera membelah kerumunan untuk menuju pintu arah rumah.

Aku mendekap mulutku dengan tangan saat tahu siapa orang yang dimaksud. Aku nyaris tak bisa berkata-kata. Aku sama sekali tak menyangka orang itu akan muncul di sini. Pertanyaan pertama yang muncul di benakku, untuk apa dia kemari?

Celakanya lagi dia berbicara dengan bapak di depan pintu. Semua orang kasak kusuk memperhatikan mereka.

"Pak Adit? Ngapain anda ke sini?" Tanyaku akhirnya. Kerumunan di depanku tersibak. Mereka memberiku akses untuk melihatnya lebih gamblang. Kini semua perhatian beralih padaku termasuk dua orang tamu asing itu.

"Fadilla, kamu kenal dia?" Tanya bapak heran. Dan bingung. Semua orang dibuat bingung malam ini.

"Iya, Pak." Jawabku pelan. Tak selantang tadi sewaktu bertanya pada Pak Adit.

"Kamu teman anak saya?" Pertanyaan bapak beralih ke Pak Adit.

"Iya, Pak. Eh, bapak ini bapaknya Fadilla?" Pak Adit membelalakkan mata. Ketika bapak mengangguk, tiba-tiba dia menyalami bapak bahkan mencium tangannya. Semua orang kembali terperangah, "Perkenalkan saya Aditya Gunadharma, Pak. Saya ini ... embbbttt .... emmmmbtttt."

Dengan kecepatan Usain Bolt, aku menerjang ke arah Pak Adit. Mengabaikan norma kesopanan karena melangkahi para tamu yang duduk lesehan. Aku langsung membungkam mulut Pak Adit di depan bapakku, di depan banyak orang.

"Beliau atasanku dulu, Pak." Jawabku dengan terengah-engah. Wajahku memerah menyadari orang-orang syok melihat ke-bar-baranku. "Boleh saya bicara sebentar dengan beliau. Mungkin beliau punya hal penting yang akan disampaikan pada saya sehingga jauh-jauh ke sini."

"Sebentar, mereka datang dari jauh. Biarkan mereka beristirahat dulu. Lagipula ada apa ini sebenarnya?" Bapak dengan bijaksana mengajak Pak Adit dan Pak Doni duduk. Seorang pemuda bahkan datang membawakan minuman  untuk mereka.

"Maaf sebelumnya, kami mengganggu bapak dan ibu di sini. Pasti kehadiran kami membuat anda semua terkejut." Pak Doni sepertinya bertindak sebagai jubir. "Saya Doni. Saya sopirnya Pak Adit ini. Tujuan kami datang ke sini yang pertama untuk silaturahmi dengan keluarga Mbak Fadilla. Yang kedua, ada beberapa hal yang ingin kami informasikan kepada Mbak Fadilla."

"Kalau begitu, mari kita bicara di rumah saya saja!" Ajak Bapak. Aku mengangguk setuju. Setidaknya kalau di rumah, kami tak jadi pusat perhatian meskipun setelah malam ini akan ada orang yang ngrasani.

"Sebentar, Pak Rahmadi. Biarkan tamunya dipersilakan minum dulu. Kasihan, darimana to bapak-bapak ini?" Cegah Pak RW. Hadeh...

"Kami dari Semarang." Jawab Pak Adit.

"Waaahhh...jauh juga. Pasti mereka capek." Beberapa orang menggumamkan kalimat yang sama.

"Jauh juga. Maaf, bukannya mau mencampuri urusannya Mas Adit tapi sebagai Ketua RW, saya sebaiknya tahu siapa saja dan untuk urusan apa saja tamu asing di daerah sini." Aku mengepalkan tangan di samping gaun mendengar ucapan Pak RW. Itu antara waspada dan kepo dengan urusan orang lain. Maaf nih, bukannya sok individualis tapi Pak RW ku ini memang terkenal suka mencampuri urusan orang. Hormon keingintahuannya melebihi emak-emak rumpi. Dari gosip anak SD olok-olokan pacaran sampai si A yang selingkuh sama si B, dia yang paling tahu duluan. Ada ya, laki-laki kaya gitu? Ada. Pak RW ku itu.

the King of MonsterWhere stories live. Discover now