Prolog

56 6 4
                                    

Tuing!!!

'Satu pesan masuk dari Sinta Bawel'

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku menggosok lantai ini, tetap saja noda hitam yang menempel tidak juga hilang. Sampai di tengah kesibukanku ada pesan masuk di ponselku. Aku buru-buru meraih benda persegi panjang itu yang kutaruh di atas mesin cuci.

"Sinta.. Ada apa lagi dengan anak itu?" ujarku saat melihat namanya dari balik layar ponsel. Kubuka pesan yang dikirimkan oleh salah satu sahabatku, pesannya berisi.

'Apa kau sudah tahu kabar terbaru?' Aku mengernyit tidak mengerti apa yang ia kirimkan.

Kubalas pesannya. 'Aku tidak tahu, jadi katakan padaku sekarang!' Selang beberapa menit balasan pesan dari Sinta kembali masuk.

'Buka story ingram Fawaaz, cepat!' Aku masih tidak mengerti ada apa sebenarnya, dibanding terus bertanya-tanya. Aku memutuskan mengikuti apa yang Sinta minta.

Aku membuka ingstory Fawaaz, betapa terkejutnya aku saat kulihat potret dua orang yang saling merangkul. Dengan perempuan yang memegang sebuket bunga di satu tangannya lalu terlihat merangkul laki-laki yang ada di sampingnya. Benar laki-laki itu adalah Fawaaz, yang sedang tersenyum sambil menatap kamera.

Air mataku seketika jatuh di pipi, rasa sesak di dada melancarkan tangis yang kini membuatku pusing. Aku tidak sanggup menatap layar ponselku, tanganku menjadi lemas dan ponsel yang kugenggam jatuh di lantai.

Aku menangis sejadi-jadinya, kubiarkan tangisanku menggema di dalam rumah. Untung saja kedua orangtuaku tidak di rumah mereka sedang di luar, kedua saudaraku juga sedang di luar. Aku menarik napas panjang, menepuk dadaku berulang kali, mengusap air mata yang tidak henti jatuh. Aku mengambil ponselku dari lantai berjalan lalu duduk di kursi makan, sambil menenangkan diri.

Setelah kurasa tenang. Aku kembali menatap ponselku yang kutaruh di meja makan. Ponselku kembali berbunyi dengan durasi yang panjang, itu tandanya ada yang menghubungiku. Kuraih ponsel lalu terlihat nama pemanggilnya 'Sinta Bawel' kuangkat dengan menghela napas.

"Lana kau baik-baik saja? Aku ke rumahmu, sekarang?" ujar Sinta dari balik ponsel dengan nada khawatir.

"Walaikumsalam Sin.. Lupa deh salamnya" balasku masih berusaha agar suara serakku tidak terdengar jelas.

"Sorry kelupaan.. Assalamualaikum, dijawab atuh pertanyaannya"

"Aku baik, untuk apa ke rumah mau makan gratis ya?" tanyaku mencoba mencairkan kekakuan dari balik ponsel.

"Kau nih masih sempat bercanda. Aku serius!" jawab Sinta mulai kesal.

"Haha.. Aku lebih serius. Aku baik-baik saja Sinta, jangan khawatir mestinya kau bahagia teman sekelasmu tidak jomblo lagi" Berusaha dengan suara tenang.

"Aku nggak ngerti, apa yang manusia itu lakukan selalu saja buat kau terluka. Aku yang muak, akan kulabrak orang itu" ujar Sinta dengan suara marah.

"Berjanjilah untuk tidak membuat masalah Sin.. Kau akan dituduh gila. Karena memarahi orang yang sedang berbahagia, biarkan saja tidak ada gunanya mengeluarkan banyak Oksigen untuk orang yang tidak penting" balasku mencoba menenangkan Sinta.

"Tapi.. Lana"

"Sudah.. Aku tidak ingin ada perdebatan, lagi. Tenangkan dirimu, kita bertemu di kampus besok" jawabku.

Setelah hari itu. Aku mulai menjaga jarak dengan Fawaaz, bicara yang penting-penting saja. Mungkin dia tahu, tapi aku tidak peduli. Yang terpenting sekarang, hatiku tenang dulu.

❤❤❤

"Aku bisa menemuimu lagi kan?" ujar laki-laki yang sedang duduk di hadapanku.

Kami berada di salah satu restoran cepat saji. Dia meyempatkan diri untuk menemuiku di tengah jadwal padatnya. Aku merasa tersanjung, tapi tidak kuperlihatkan. Kubalas pertanyaannya dengan senyum teduh.

"Temui aku di saat kakak benar-benar kosong jadwalnya, tidak seperti ini. Kasihan pengawal itu" Sambil menatap dua pria besar yang sedang menunggu depan pintu restoran.

"Haha.. Kamu mengkhawatirkan mereka? Bukan aku? Demi kamu, aku rela dimarahi manajer tahu nggak?" Dengan wajah cemberut.

"Lagian kakak datangnya tiba-tiba. Nggak ngasih kabar dulu, rasain dimarahi kak Rio" Mencoba mengejeknya dengan menjulurkan lidah.

Mengangkat kedua tangannya hendak menutup wajahku "Jangan gitu, kamu makin lucu. Nanti orang-orang jadi suka sama kamu"

"Haha.. Nggak jelas" kubalas pernyataannya dengan senyum lepas.

Bangkit dari duduknya, lalu mengusap puncak kepalaku "Aku pamit ya. Hati-hati di jalan. Ngeyel kamu mau di antar nolak"

"Iya kak siap, deket gini rumahnya masa mau di antar. Aku bukan anak kecil" Dengan senyum yang tidak lepas dari wajahku.

Dia tersenyum mendengar perkataanku. Berjalan pergi menuju mobilnya, dengan pengawal yang siap sedia membuka pintu mobil untuknya.

Kavin.. Dia mimpiku yang menjadi nyata, tadinya aku hanya bisa melihat dia dari balik layar ponsel dan juga televisi. Tapi sekarang aku mendapatkan kesempatan bertemu dengannya secara langsung, bahkan makan bersamanya.

Dia salah satu doaku yang diwujudkan Allah dengan sangat indah. Ini benar-benar nyata, tapi terasa seperti mimpi. Perlakuannya, perhatiannya, dia sangat memperhatikanku. Yang membuatku, tidak percaya.

Namun, perlakuan spontan yang sering kuberikan pada orang lain. Tidak kulakukan padanya, ada tembok besar yang kubangun untuk orang-orang yang terlihat menyukaiku. Aku membatasi diriku untuk tidak lagi mudah terbawa perasaan. Perhatian yang diberikan kepadaku kuanggap sebagai perlakuan normal untuk sesama manusia. Tidak akan kubiarkan lagi, hatiku patah berulang kali.

IlanaWhere stories live. Discover now