BAGIAN DUA: Cemburu

22 2 2
                                    

Hari berlalu, kami berdua semakin dekat. Setelah kejadian di perpustakaan kampus. Fawaaz kian gencar mendekatiku, walau harus disambut ketidaksukaan Sinta padanya. Dia tidak menyerah, dimulai dari tidak absennya dia menungguku di depan kelas agar bersamaan masuk, memberikan cemilan atau minuman saat jam istirahat. Pura-pura menanyakan materi kuliah padahal ia sudah tahu, membantuku membawa buku saat di perpustakaan, dan masih banyak lagi perhatian-perhatian kecil yang membuatku tersentuh.

Tidak sampai itu saja, hari ini kebetulan aku dan Sinta beda jadwal kuliah. Sinta jadwal kuliahnya siang dan aku pagi. Aku masuk ke dalam kelas dengan suasana kelas yang masih sepi. Aku duduk di kursi barisan keempat pada saat itu, terlihat baru beberapa teman yang datang. Ini aku yang cepat datang atau mereka yang terlambat. Kulirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tanganku, benar saja aku yang cepat jam tanganku menunjukkan pukul tujuh artinya masih tiga puluh menit lagi sebelum jam masuk. Pantas saja masih sepi, tadi di depan kampus hanya beberapa mahasiswa yang berlalu lalang. Aku meraih binder dan pulpenku yang ada di dalam tas, kuletakkan di meja.

Satu per satu mahasiswa memasuki kelas, kursi barisan keempat yang kududuki, telah terisi dua orang laki-laki mereka sempat menyapaku, yang kubalas dengan senyuman. Sepuluh menit sebelum jadwal masuk, seorang laki-laki datang dengan jaket cokelat dan tas hitamnya. Raut wajah datar namun berubah menjadi tersenyum saat melihatku. Dia lalu berjalan pelan, melewati kursi yang kududuki lalu berhenti di kursi kelima atau barisan kursi terakhir. Aku tersenyum membalas senyumnya, dia duduk masih dengan wajah tersenyum. Laki-laki yang baru saja datang adalah Fawaaz. Dia membuka jaket dan meletakkan tasnya di bawah meja. Aku sempat menoleh ke belakang dia memperhatikanku dan juga memperhatikan kedua laki-laki yang duduk bersamaku tapi tunggu tatapannya berbeda seperti orang yang kesal. "Dia kenapa,?" batinku.

Salah satu laki-laki yang duduk di dekatku lalu memulai pembicaraan denganku "Haii aku Rafi, kamu?" Kubalas perkataannya dengan sedikit menoleh ke arah samping kanan tubuhku "Hai aku Ilana. Ilana Kalista" ucapku sambil senyum.

"Hai Ilana, ini pertama kalinya kita bertemu. Semoga bisa jadi teman yang saling membantu dalam belajar yaa" ujar Rafi mengulurkan tangan kanannya kepadaku. Aku menyambut uluran tangan itu dengan berkata "Iyaa, tentu saja". Aku masih tersenyum yang tanpa kusadari laki-laki yang ada di belakangku menatap kami. Fawaaz memegang kertas lalu meremasnya berkali-kali, sambil terus menatap dengan tatapan tajam. Dia lalu melepaskan kertas yang ia remas tadi, memanggilku dengan suara yang kecil.

"Ilana.." Aku yang mendengar namaku dipanggil lalu menoleh ke arah sumber suara. Dia menatapku lalu menggerakkan kepalanya pelan ke arah samping kiri, seakan memberikan isyarat untuk duduk di sampingnya, entah sengaja atau tidak ia duduk di kursi ketiga lalu membiarkan kursi keempat kosong. Aku yang mengerti isyaratnya, menatap heran dan berkata "Kau menyuruhku pindah ke situ?" Dia mengangguk sebagai tanda 'Iya'. Aku yang tidak mengerti mengapa ia menyuruhku pindah, memutuskan untuk diam. Kedua kalinya ia kembali memanggilku "Ilana, sini!" Sebelum kubalas perkatannya, ia terlihat berdiri dengan tatapan yang masih tertuju padaku. Aku yang sudah mengerti dan tahu ia akan melakukan apa, memutuskan berdiri membawa binder dan tasku lalu berjalan ke belakang untuk duduk di dekatnya. Laki-laki yang sempat berbincang denganku tadi, mengatakan "Mau kemana? Kok pindah" Berdiri dari tempat duduknya. Aku yang ingin menjawab pertanyaannya, tapi tiba-tiba Fawaaz yang bicara dengan tatapan seperti ingin menelan orang "Aku teman kelasnya, akan lebih baik jika kami duduk bersama" Rafi pun diam, mendengar perkataan Fawaaz.

"Kau senang?" kataku sambil duduk di kursi kosong tadi. Yang ditanyai, hanya tersenyum lalu mengangguk.

Sepanjang kuliah iya tidak berhenti menatapku, bahkan saking perhatiannya ia menawarkan diri untuk melihat tulisan yang ditulis dosen di papan tulis, lalu menyuruhku menulis. Jadi yang baca dia, yang nulis aku. Katanya agar kepalaku tidak sakit, tengok ke papan tulis dan tunduk menulis. Lucu kan dia bisa melakukan hal sederhana yang mungkin saja luput dari perhatian.

IlanaOnde histórias criam vida. Descubra agora