Chapter 1

15 3 0
                                    

Hallo gaes. Selamat membaca ceritaku. Semoga tertarik untuk terus membaca yaaa. Jangan lupa dukungannya ^^

Rahaninditha

_____

Cuaca pagi ini menunjukkan kecerahannya. Langit berwarna biru membentang luas membuat semua orang berlalu lalang menuju tempat kerja. Begitu pula siswa yang sekolah di SMA Bina Insan Mandiri. Sekolah terbesar di wilayah Jakarta. Bahkan, yang mengisinya pun hanya orang-orang berada dan cukup uang. Mengingat biaya sekolah yang tidak sedikit alias bisa mencapai 5 juta dalam satu bulan.

Nadine Aprilia Yuswandari, adalah salah sagu siswi kelas XI Yang sekolah di sana. Penampilan yang sederhana, membuat teman satu kelasnya mengejeknya, lantaran tidak sesuai dengan penampilannya yang culun. Selalu di manfaatkan kakak kelas bahkan di jauhi oleh teman-temannya. Nadine hanya memiliki satu teman, yaitu Dinda Raisa. Perempuan yang selalu bergaya modis dan fashionable.

"Lo mau ke kantin, Nad?" Dinda mengajaknya seraya membereskan buku di meja, karena telah selesai pelajaran.

"Boleh, deh. Aku juga laper." Nadine ikut membereskan mejanya.

Keduanya melangkah keluar kelas menuju kantin. Menjadi sorotan, itulah yang biasa terjadi di sekolah. Semua orang masih penasaran dengan kehidupan Nadine. Sedangkan dirinya selalu berpenampilan biasa saja, tidak bawa mobil ke sekolah, bahkan berangkat sekolah pun hanya jalan kaki. Ya, Nadine selalu bersikap biasa saja. Padahal kekayaannya lumayan.

"Gue heran deh, kenapa sih, orang-orang pada ngeliatin lo?" Dinda menggerutu.

"Udah, gak papa, kok. Mungkin mereka masih penasaran sama aku, Din. Penampilan aku kayak gini, kan, untuk menutupi semuanya, melihat siapa yang benar-benar mau jadi temenku," jelas Nadine. Merangkul pundak Dinda.

"Iya juga, sih. Ya udah deh, kita makan aja, laper gue," kata Dinda.

Setibanya di kantin. Dinda langsung memesan makanan, begitu pun dengan Nadine. Keduanya selalu memesan menu yang sama setiap harinya. Yaitu, soto ayam buatan Mbok Ijem, yang menurut mereka rasanya sangat enak, tidak lupa di tambah dengan nasi secukupnya. Agar perut tidak terasa panas, karena di tambah sambel yang cukup pedas.

Semua pasang mata memerhatikan mereka. Membuat Dinda gregetan. Ingin marah, tapi Nadine mencegahnya.

"Udahlah, Din. Gak papa, sabar aja."

"Kalau aja mereka tahu kehidupan lo, bisa gue bungkam tu mulut pake pistol!" kesalnya. Nadine hanya tertawa geli.

"Wah ... wah ... wah!"

Pertengkaran mereka terhenti. Seorang perempuan yang menjadi bintang kelas di sekolah mereka, menghampiri Nadine dan Dinda. 

"Sampe sekarang, gue masih mikir, sih, cewek culun kayak lo, kok bisa ya, sekolah di sini? Jual diri lo?" Celetuk Gladis—teman beda kelas Nadine dan Dinda.

Brak!

"Heh, jaga ya, mulut lo! Nadine itu cewek baik-baik, ngerti!" Sarkas Dinda.

"Oww! Santai aja kali, gue cuma asal nebak, kalau emang enggak, ya it's okay, gak masalah, tapi lo harus hati-hati, ya. Biasanya yang culun, itu mematikan!" Gladis berlalu pergi begitu saja tanpa memikirkan perasaan Nadine.

Sering kali Nadine mendapatkan cemoohan hingga hinaan semacam itu. Akan tetapi, Nadine cukup diam dan selalu Dinda yang menjadi pelindungnya.

Dinda orang yang selalu emosian, apalagi jika melihat Nadine di hina seperti tadi. Hal itu membuat hatinya meradang. Dari jelas X, Nadine selalu di ejek, bahkan pernah di katakan kurus kering seperti sapu lidi. Padahal tubuhnya sangat ideal. Mereka hanya iri melihat tubuh Nadine yang bagus, meskipun Nadine selalu berpenampilan sederhana. Apalagi jika memakai pakaian olahraga.

Mereka lanjut makan soto ayam yang sudah tersedia di meja. Sakit memang, tapi Nadine akan membalas mereka jika waktunya sudah tepat.

***

"Assalamualaikum, Ma." Nadine membuka pintu rumahnya. Namun, hanya ada Bi Lastri di sana.

Suasana yang sepi, selalu saja seperti ini. Saat pulang sekolah, tidak ada siapa pun yang menyambutnya. Bahkan terlihat jarang. Sejak Nadine SMA, kedua orangnya sangat fokus di pekerjaan dan melupakan Nadine.

"Waalaikumussalam, eh, Neng Nadine sudah pulang, ayo makan. Bibi sudah buatkan sayur."

Nadine tersenyum mengangguk. Dia memutuskan ke kamar terlebih dahulu. Mengganti pakaian dan melepas ikatan rambutnya. Siapa pun yang melihat Nadine sekarang, sudah pasti akan terpana akan kecantikannya. Apalagi dalam keadaan kacamata di lepas. Sangat perfect.

"Mama sama papa belum pulang, Bi?" Nadine bertanya sembari duduk di meja makan.

"Belum, Neng. Kayaknya pulang malam. Soalnya tadi mama sama papanya Neng, buru-buru gitu." Bi Lastri mencoba menjelaskan.

"Kok gak ngabarin aku ya, Bi?" Nadine bertanya-tanya.

"Mungkin lupa," kata Bi Lastri. Mencoba menenangkan.

Nadine terus menyantap makanan dengan nikmat. Tak pernah absen dengan sayur apabila makan siang. Mamanya selalu memeringati Bi Lastri untuk memasak sayur pada siang hari, untuk menjaga berat badan tubuh putrinya itu, entah dapat persepsi dari mana, Nadine tidak tahu. Terkesan cuek, tapi orang tua mereka peduli, meski ayahnya selalu membandingkan Nadine dengan perempuan lainnya, hanya karena penampilan sederhananya.

"Bi, Nadine udah selesai." Nadine merapikan meja makan, lalu menyimpannya ke tempat cuci piring.

"Bibi aja, Neng. Neng istirahat aja, ini tugas Bibi," cegah Bu Lastri saat Nadine hendak mencuci piring.

"Gak papa, Bi. Sesekali Nadine pengen cuci piring," katanya lagi. Tanpa membantah, Bi Lastri membiarkan Nadine untuk mencuci piring.

Bi Lastri hanya mengelus dada. Punya anak majikan sebaik itu, membuatnya sangat bersyukur. Setelah selesai, Nadine pergi ke ruang tamu untuk bersantai.

Cling!

Suara dering ponsel membuat Nadine tertarik membukanya.

My Mom
[Sayang, Mama pulang besok sama papa, kamu jaga kesehatan, ya. Mama sudah transfer uang ke rekening kamu untuk besok]

Begitulah isi pesan yang di terima Nadine. Dia pun mengecek saldo rekening dan benar bertambah senilai 5 Juta.

Mau sebanyak apa pun orang tuanya ngasih, Nadine tidak pernah menghamburkan uang tersebut dan memilih untuk menabungnya. Berbeda dengan yang lain. Nadine mewarisi watak kakeknya yang sudah meninggal, rendah hati, tidak sombong dan selalu menunjukkan kesederhanaan.

Berbeda dengan perempuan lain pada umumnya, yang terkadang masih memanfaatkan kekayaan orang tuanya seperti teman-teman sekolahnya. Mengedepankan fashion, bukan pembelajaran. Jadi, wajar jika Nadine, terkadang harus mengerjakan tugas teman beda kelasnya seperti Gladis.

***

Selamat membaca 🥳

The Last Love Onde histórias criam vida. Descubra agora