Chapter 8

7 2 0
                                    

Nadine melangkah menuju parkiran bersama Dinda. Saat masuk sekolah tadi, Dinda tidak melihat bahwa Nadine ke sekolah mulai menggunakan mobil lantaran sayang jika tidak di pakai. Ia lebih menghargai pemberian ayahnya apalagi itu hadiah pertama yang diterimanya dalam bentuk kendaraan.

Nadine berhenti tepat di samping mobilnya. Dinda menatap sahabatnya heran. "Lo ngapain? Ini mobil siapa Nad?"

"Mobil aku."

Dinda menatap tak percaya seraya menyentuh mobil itu. "Serius?"

Nadine hanya mengangguk.

"Gila, keren banget. Lo udah boleh bawa mobil ke sekolah emang?" tanya Dinda.

"Iya, udah kok. Yuk pulang." Ajak Nadine seraya membuka pintu mobil.

Namun, saat hendak masuk, seseorang kembali menghampirinya. Siapa lagi kalau bukan Gladis? Nadine sudah benar-benar lelah menghadapi Kakak kelas yang satu ini. Semenjak berurusan dengannya, kehidupannya merasa terganggu. Belajarnya sering tidak fokus, karena dalam diam. Nadine selalu menangis memikirkan apa kata Gladis akan penghinaannya. Apa dia harus membalasnya sekarang?

"Ada apa lagi, Kak? Belum puas ya menghina aku selama ini?" kata Nadine dengan nada penuh sedikit penekanan.

"Berani juga lo ngomong gitu!" sarkas Gladis. "Ini mobil lo? sewa darimana?" lanjutnya.

"Gak peduli aku dapat darimana, itu bukan urusan Kakak!" seru Nadine tak mau kalah.

Gladis menatap Nadine tajam. Ia sendiri tak menyangka jika orang yang dia hina akam berkata seberani itu padanya. "Lo berani sama gue? Maksud lo apa ngomong kayak gitu, hah?"

Gladis menarik kerah baju Nadine. Akan tetapi, Nadine tak ada pergerakan dan memilih diam. Memperhatikan apa yang akan dilakukan oleh kakak kelasnya ini.

"Kalau bukan karena gue benci sama lo, gue gak akan ganggu hidup lo sampai detik ini!"

Nadine melepaskan tangan Gladis dari kerah bajunya. "Dan aku tidak peduli, mau sebenci apapun Kakak sama aku, karena aku sendiri tidak mau memikirkan orang yang sama sekali tidak berpengaruh buat aku!"

Tangan Nadine sedikit gemetar. Sebenarnya ia tak berani mengatakan itu, tapi dia harus melakukannya. Dengan harapan Gladis bisa jera dengan apa yang dilakukan terhadapnya. Sebab Nadine sendiri sudah pusing. Sikap baiknya malah membuat Gladis bertingkah seenaknya. Akan tetapi, bila Nadine melawannya justru akan menjadi masalah besar dan mereka akan selalu bertengkar saat bertemu, sama halnya seperti sekarang.

Gladis mencoba untuk menarik rambut Nadine yang terikat. Namun, dicegah oleh Dinda yang sedari tadi menyimak percakapan mereka." Stop! Lo apa-apaan sih, gak malu diliatin banyak orang!"

Dinda turut merasa kesal, juga merasa heran mengapa sahabatnya bisa seberani itu sama Gladis. Padahal Nadine selalu diam. Mungkin kesabaran Nadine sendiri sudah tipis, setipis tisu.

"Iiiiiiiihhh! Awas ya kalian! Gue gak akan biarin kalian lolos dari gue!" ancam Gladis. Lalu pergi begitu saja saat dia menyadari banyak pasang mata menatapnya sinis.

"Yuk pulang!" ajak Nadine setelah keadaannya membaik.

Mereka pulang dengan obrolan Dinda yang penasaran mengapa Nadine bisa seperti itu. Sifat kepo Dinda muncul kepermukaan dan Nadine hanya tertawa lepas melihat wajah polos Dinda.

***

"KAMU YANG SEHARUSNYA BERPIKIR! DINDA ITU ANAK KAMU, MAS, BUKAN ANAKKU!" teriak perempuan paruh baya.

Ucapan itu terdengar saat Dinda hendak memasuki rumahnya bersama Nadine. Lagi-lagi Dinda harus mendengar pertengkaran kedua orang tuanya apalagi ada sahabatnya di sini. Dinda berdiam sebentar untuk mendengarkan percakapan kedua orang tuanya.

"JANGAN PERNAH KAMU MEMBAHAS ITU LAGI TANIA! DINDA JUGA ANAK KAMU, DIA DARAH DAGING KAMU! KAMU TERLALU MEMENTINGKAN LILI YANG ANAK ANGKAT KAMU!!!"

Deg! Dinda tercengang sedikit. Tangannya gemetar dan mengeluarkan keringat dingin. Selama ini Dinda tahu bahwa dirinya yang anak angkat ibunya. Namun, dugaannya selama ini sudah salah. Dinda memiliki seorang adik yang usianya tak beda jauh dengannya. Namanya Lili, dia sekolah di kelas unggulan luar negeri, lain dengan Dinda yang di sekolahkan di sini meskipun sama-sama kelas unggulan.

Dinda tak kuasa menahan tangis. Dinda membuka pintu rumah dan menampilkan kedua orang tuanya yang tengah ribut mempermasalahkan posisinya.

"Di ... dinda, kamu sudah pulang, Nak?" sapa Haris gugup.

Tania; ibunya tak kalah tercengang. "Sejak kapan kamu ada di sini?"

Dinda mencoba menetralkan suasana hatinya, menghapus air matanya yang sedari tadi tumpah membasahi pipi lembutnya. "Apa benar, Lili yang anak angkat kalian? Kenapa kalian pilih kasih sama aku? Kalau memang aku anak kandung kalian, kenapa aku diperlakukan berbeda? Kenapa Mama selalu memprioritaskan Lili? Dan Papa, kenapa gak pernah jujur sama aku soal ini, Pa? Dinda capek mendengar kalian ribut terus!"

"Dinda, Papa minta maaf, ini semua karena keegoisan Mama kamu, dia tidak pernah mau mendengarkan Papa, Nak!" jelas Haris seraya menatap iba putrinya.

Tania yang dikatakan seperti itu, tidak terima. "Apa kamu bilang? Aku yang egois? Kamu yang egois, kamu terlalu pilih kasih sama Dinda. Sedangkan Lili selalu kamu abaikan!"

"Lili bukan anakku! Tapi dia anak yang kamu adopsi saat Dinda masih berusia satu bulan! Apa kamu tidak ingat, Tania?" Haris tak mau kalah.

"Seharusnya kamu juga menganggap Lili anak kamu, Mas! Bukan mengabaikan!"

"Apa kamu menganggap Dinda sebagai anak kandung kamu?" Haris bertanya dengan tatapan sinis.

"Kamu ku ...."

"STOP!" Dinda menghentikan pertikaian kedua orang tuanya. "Aku gak mau mendengar kalian bertengkar lagi, aku mau pergi dari sini!" lanjutnya seraya menarik Nadine keluar dari rumahnya.

Nadine hanya menurut saja, karena dia tahu suasana hati sahabatnya sedang tidak baik-baik saja. Selama ini Nadine hanya tahu orang tuanya Dinda bertengkar karena pekerjaan. Akan tetapi, perihal darah dagingpun menjadi masalah. Nadine tidak ingin bertanya saat ini, tapi dia ingin menenangkan Dinda dengan membawanya ke tempat yang sunyi.

Tempat di mana Dinda bisa meluapkan segala emosi yang ada dalam dirinya. Nadine membiarkan Dinda menangis di tempat yang tidak ada orang satupun. Ia tak bisa berkata apa pun selain memperhatikan sahabatnya yang saat ini ada di posisi terendahnya.

***

Selamat membaca kembali. Akan ada banyak cerita kejutan di sini ^^

The Last Love Where stories live. Discover now