2

786 63 4
                                    

Saat istirahat kelas berlangsung, Sena memutuskan pergi ke kantin bersama dengan dua temannya.

"Itu cowok yang kemarin lo ikat di pohon belakang sekolah, kan?" tanya Yuna sambil menunjuk ke arah lelaki berambut gimbal bergaya kasar.

"Iya."

"Apa masalahnya? Gue baru denger soal dia yang cari gara-gara sama lo dari adik kelas."

"Lo tau sendiri kalau cewek tuh punya perasaan yang lebih peka dari cowok. Waktu itu adik kelas kita, pacarnya cowok itu, curhat sama gue soal firasat dia tentang cowoknya. Gue yakin itu bener. Karena gue sendiri selalu merasakan apa pun secara akurat dan cewek punya perkiraan yang lebih kuat dari perasaan cowok. Jadi gue percaya cewek itu tau kesalahan si cowok," terang Sena.

"Iya, terus?"

"Karena ketangkep basah dia selingkuh, gue ikat dia bareng adik kelas kita di belakang sekolah. Mau gue bakar, tapi cewek itu masih nggak tega."

"Lain kali nggak usah terlalu kasar sama cowok, Sen. Kita harus saling mengerti. Semua di dunia ini cuma beda dari cara kita memandang, kok. Belum tentu, apa yang kita lihat itu adalah benar. Kadang kita cuma keliru. Kita lupa kalau sebenarnya kita itu saling membutuhkan," ucap Yuna.

"Yun, jangan mulai," perintah Gea menatap Yuna.

"Tapi, kan...."

"Gue tau maksud lo, Yun. Tapi gue nggak mau apa yang dijaga orang tua kita itu hancur begitu aja cuma karena cowok nggak bener. Persetan sama cowok lain. Bahkan satu-satunya cowok yang gue sayang pun pergi ninggalin gue gitu aja," timpal Sena.

"Your father?"

"Cinta pertama yang ngenalin gue sama luka yang sebenernya. Jangan tanya kenapa gue benci sama cowok, lo tau alesannya."

Saat sebentar lagi datang di kantin, seorang lelaki good body menghadangnya. Ia adalah Eld Galda. Cowok yang mengajak Sena taruhan. Tantangannya adalah, jika Sena terlihat di lingkungan luar sekolah oleh Galda, ia akan menculik dan memaksa Sena untuk menjadi pacarnya, mau tidak mau. Tapi kalau Sena berhasil tidak terlihat di luar sekolah atau lolos dari kejaran mereka, Galda akan keluar dari SMA Padma dan tidak akan mengganggunya lagi. Taruhan ini berlaku hingga sebulan ke depan.

"Sabar, ya. Taruhan kita masih tersisa tiga Minggu. Gue belum beraksi buat nemuin lo di luaran, Sen," ucap Galda meremehkan.

"Bilang aja lo gak mampu nemuin gue. Orang gue sama ni bocah dua sering keluar setiap sore. Lo nya aja yang bodoh," jawab Sena sambil melangkahkan kakinya melewati Galda yang menatapnya.

"Kecantikan Sena emang jauh beda dari yang lain, terlalu badassss!" gumam Galda dalam hatinya.

"Lihat aja. Siapa yang bakal kalah dari tantangan ini. Gue, atau lo. Gue nggak sabar buat nunjukin sama semua orang kalau gue mampu dapetin lo, Sen," kata Galda yang membuat salah satu pria di sana tertawa tanpa sengaja.

Galda menghampiri lelaki itu dan mencekik lehernya sampai lelaki itu kesulitan bernapas.

"Apa maksud lo ngetawain gue, hah?"

Tiba-tiba sebuah tangan berurat menyingkirkan genggamannya dari lelaki itu. Tangan itu milik Nasa. "Dia temen sekelas gue. Jangan lo nyakitin yang bukan tandingan lo. Dia ketawa karena dia punya hak hidup. Nggak perlu lo rampas hak dia. Terserah dia mau apa, itu bukan urusan lo. Kalau lo ngerasa kesinggung, itu berarti lo sendiri kurang percaya sama pendirian lo. Lo punya otak, dipake. Kekerasan cuma bikin lo dibenci banyak orang," ucap Nasa menatapnya tajam.

Para gadis termasuk Sena dan dua temannya melihat aksi heroik Nasa. Di belakang sana terlihat beberapa orang maju dengan gaya khas preman tongkrongan yang hendak mengeroyok satu orang. Mengelilingi Nasa.

"Siapa lo? Berani-beraninya berhadapan sama gue, ketua dari geng motor terkenal di daerah ini," ancam Galda sambil memelintir kerah seragam Nasa.

"Apa cuma pangkat itu yang bikin lo seolah-olah berkuasa di sekolah ini?" Nasa meludah; tcih! "Sampah."

Satu pukulan mendarat pada wajah Nasa, tapi ia tetap berdiri. Dua pukulan belum cukup. Ketiga kalinya, Nasa baru terlempar.

Sebuah tangan menjabat tangan Nasa dan tangan itu membangunkannya. Sepertinya tangan itu milik Api. Saat Reiga hendak maju untuk membalas, tubuhnya dicegah oleh Api. "Jangan buang-buang tenaga cuma buat meladeni masalah yang sama sekali nggak berguna ini. Ayo pergi."

"Tapi, Poy?! Nasa dipermalukan!" bantah Reiga.

"Sekolah bukan arena pertandingan," jawab Api, santai, lalu menarik lengan kedua tangan temannya.

"Siapa sih mereka?" tanya Galda pada teman-temannya. "Kurang ajar banget."

"Dia itu bukannya cowok yang lo tampar di parkiran sekolah, Sen?" ucap Gea.

"Kayaknya dia murid pindahan, deh."

Sena tersenyum licik. Ia sudah memikirkan cara tentang pembalasan untuk membuat lelaki itu bertekuk lutut di depan umum padanya.

"Kalau dia beneran murid pindahan. Gue bakal berusaha buat mempermalukan dia. Setelah urusan gue sama Galda selesai, gue bakal bikin dia nyesel karena udah berurusan sama orang yang salah," ungkap Sena dengan tatapan kosong.

"Astaga, Sen. Lo belum lupain juga masalah tadi pagi. Padahal mah udah aja gak perlu di perpanjang. Gak ada gunanya," timpal Yuna.

"Udah, udah. Ngobrol melulu. Makanan nih udah dingin," ucap Gea. Mereka bertiga pun menyelesaikan masalah perut.

Di ujung waktu, saat semua kelas sudah memulai pelajarannya, Sena dan Api berpapasan ketika mereka akan dan sudah ke/dari kamar mandi sekolah. Mata mereka mencolok. Saling menatap tajam, tanpa ada satu pun kalimat keluar dari mulut.

Sayang sekali karena entah kenapa bibir Sena terkunci rapat-rapat saat waktu di mana ia bertemu dengan Api. Seakan Api membuat pita suara Sena terbakar. Entah kenapa, napasnya juga sedikit tertahan, seperti kekurangan oksigen. Padahal Sena tidak memiliki riwayat penyakit jantung atau semacamnya. Tapi sungguh, mata elang Api membuat mulutnya diam membisu. Pada akhirnya, mereka berjalan dengan arah yang berlawanan.

Di kamar mandi, Sena berbicara sendiri: "Kenapa coba gue diem? Kenapa gue gak bisa ngomong sama dia? Ada apa sama gue? Gak, nggak. Ada yang salah dari gue. Nggak biasanya gue begini di hadapan cowok mana pun. Gue harus bisa ngomong sama dia. Gue mau melampiaskan amarah gue sepuasnya di depan dia!" Sepertinya, Sena sedang membenci dirinya sendiri.

Karena kenyataannya, hati tidak pernah bisa berbohong saat bahasa tubuh terlalu kenyang memakan gengsi dan egonya sendiri. Makhluk pecicilan seperti perempuan selalu sulit untuk menjabarkan apa yang sepatutnya pria ketahui tentang perasaan yang sebenarnya ia rasakan. Tapi ketika sesi tibanya masalah, perempuan akan bergegas mengajukan pertanyaan dengan tegas dan lugas.

"Besok, gue harus berani!"

SCRIBBLESWhere stories live. Discover now