Semakin Jahat

3.8K 266 2
                                    


"Eh, sayang? Udah pulang?" Ghea menghampiri Aletta yang masuk dengan hoodie dan rambut diikat satu.

"Papa mana, Ma?" tanya Aletta langsung.

"Di ruangan kerja, kenap—sayang! Mama belum selesai ngomong, loh!" Teriakan Ghea menggelegar karena tingkah abai anak perempuannya. "Huh selalu datangi Papanya duluan," rajuk Ghea.

Perempuan itu berjalan mengikuti putrinya menuju ruang kerja.

***

"Papa!" bentak Aletta.

"Sayang ...." lirih Bramantyo setengah kaget.

Aletta masih menatap tajam pria di depannya. "Tata mau bicara! Sekarang," kata Aletta penuh penekanan.

Hela napas pasrah menguar. Bramantyo menutup laptop dan mendekati Aletta yang berdiri di depan pintu. Saat jarak sudah dekat, tangan Bramantyo hendak membelai puncak kepala Aletta tetapi ditepis oleh anaknya itu.

"Papa ngancam Arvin?" tanya Aletta berusaha untuk tenang kembali.

"Sayang, kamu—"

"Papa cukup jawab iya atau nggak!"

"Iya, tapi ada alasan dibalik itu semua, Ta," tutur Bramantyo.

"Apa? Apa, Pa?"

"Papa mau kamu bahagia, itu aja."

Air mata Aletta jatuh. Hatinya penuh dengan kesedihan dan amarah yang menjadi satu. 'Untuk kebaikannya?' apakah benar semua itu untuk kebaikan Aletta?

"Apa yang Papa lakuin itu salah, yang Papa pikir juga salah, Papa salah kalah Papa pikir Aletta bakalan bahagia melihat Arvin tertekan. Cukup dengan Papa ancam Om Wisnu, jangan Arvin lagi! Semua yang Papa lakuin itu justru semakin bikin Arvin benci sama Aletta! Arvin semakin nganggep Aletta orang paling jahat di hidupnya, Aletta semakin jahat di mata Arvin sekarang. Semua karena rencana, Papa!"

Bramantyo serba salah. Ia panik melihat putrinya meraung menangis seperti orang gila. Berteriak meluapkan amarah dan kesedihan sekaligus.

Tangan besar milik Bramantyo berkerak menarik lengan Aletta. Menarik gadis kecilnya ke dalam pelukan. Membelai Aletta lembut dan mencium puncak kepalanya lembut. Bramantyo turut menangis. Pria yang sangat mencintai gadis kecilnya turut merasa terluka sekarang.

Dia sungguh merasa sangat bersalah karena semakin memperbesar luka di hati buah hatinya.

"Maafin, Papa," lirih Bramantyo.

"Papa nggak seharusnya kayak gitu," bisik Aletta.

"Iya, maafin Papa ya sayang, maaf. Maaf, Papa salah."

Aletta melerai peluk. Ia mendongak melihat papanya yang menangis. Tangan kecil Aletta bergerak menghapus air mata di wajah yang agak keriput itu. "Papa sayang Tata, makanya Papa begini. Tapi kalau kita bahagia di atas penderitaan orang. Itu bukan bahagia namanya, Pa. Tata, nggak mau begitu. Cukup, sekarang Tata sadar, nggak perlu mencari yang tak mungkin didapatkan, tak perlu mengejar yang terus berlari di saat kita sudah memiliki segalanya."

Aletta tersenyum. Kemudian menoleh ke arah Ghea yang sejak tadi menatap keduanya dari jauh.

"Tata cukup hanya dengan ada Mama sama Papa di hidup Tata, kalau pun sesuatu terjadi sama Tata nanti——"

"Hei, kamu nggak akan kenapa-kenapa, kamu ngomong apa sih, sayang," tegur Ghea. Perempuan tersebut dengan anggun berjalan mendekat dan memeluk Aletta.

Sungguh, semarah apapun Aletta pada Bramantyo atau Ghea. Itu tidak akan bertahan lama. Apalagi jika sudah ditarik ke dalam pelukan seperti tadi. Seperti api yang membara yang langsung diselimuti es dingin. Semua langsung padam dalam sekejam.

"Tata sayang Mama, Papa."

"Kami juga," sahut Bramantyo dan Ghea bersamaan.

Aletta tak peduli satu sekolah atau satu dunia, membencinya, asal ia memiliki kedua orang tuanya di dunia ini. Aletta akan selalu bahagia.

"Oh iya," ujar Aletta melerai pelukan. "Papa tahu Diana dari siapa?"

***

"Helo my pren!" teriak Hendery dari arah gerbang. Mendekati Aletta yang baru saja memasuki pekarangan sekolah.

Aletta tak menjawab. Ia menatap dingin Hendery yang hendak merangkulnya.

"Kenapa lo?" tanya Hendery.

Pemuda itu menatap Aletta mencoba menebak-nebak apa yang terjadi pada gadis yang setahun lebih tua darinya ini hingga dia tak mau tersenyum seperti biasa. "Lo nggak dikasih uang jajan, ya?" tebak Hendery sok tahu.

"Lo yang ngasih tahu soal Diana, 'kan?" tanya Aletta tiba-tiba.

Senyuman ceria Hendery menghilang. Berganti dengan senyuman simpul dan tatapan yang berubah hingga tak bisa diartikan.

"Iya."

TBC

ANTAGONIS [TAMAT]Where stories live. Discover now