Tetaplah Tersenyum

4.4K 273 0
                                    


Langkah Arvin semakin cepat, keringat yang membasahi seragamnya tak lagi dipedulikan. Ia terus saja menyusuri lorong yang ramai dengan beberapa pasien. Rumah sakit Kencana, lantai tiga, lorong sebelah kanan, kamar nomor 118.

Jantungnya berdegup kencang. Ingatan Arvin kembali membuat khawatir. "Seminggu lalu, setelah ujian, Non Aletta dirawat di rumah sakit."

Pintu yang semula tertutup rapat, ia buka perlahan. Terlihatlah sosok gadis dengan wajah pucat yang duduk di atas pembaringan rumah sakit, infus, dan alat pendukung kehidupan lain melekat di tubuhnya, tubuh kurus itu terus dipaksa sehat oleh alat yang ada, rambut ... rambut hitam yang indah itu sudah tidak ada.

"Eh! Kak Arvin?! Masuk kok dadakan, sih? Keluar! Keluar dulu! Aku mau pakai wig! Ish!" Gadis itu sibuk meraih rambut palsu yang ada di nakas dekat tempat tidurnya.

Arvin yang sangat sedih mematung di tempatnya. Tak mendengar jelas kalimat Aletta.

Gadis yang sedang panik memakai wig itu mendesis tak henti-henti karena rambut palsunya tak juga rapi. "Kak! Kok nge-bug, sih?! Keluar! Aku 'kan mau tampil cantik! Keluar dulu, replay masuknya!" seru Aletta.

Seketika Arvin sadar. Ia menurut, keluar dari kamar Aletta sesaat, kemudian panggilan gadis itu terdengar, ia masuk dengan langkah melambat. Seluruh sendinya melemah untuk digerakkan, tatapannya memanas melihat keadaan Aletta. Sejak kapan? Sejak kapan Aletta menderita seperti ini?

"Gimana? Udah cantik?" tanya Aletta yang merapikan rambutnya. Senyuman ceria itu masih sama hanya saja ....

"Kamu kenapa?" tanya Arvin lirih.

Aletta yang masih bercermin menoleh. "Oh, rambutnya?" tanya Aletta memastikan spesifikasi pertanyaan Arvin. Pemuda itu mengangguk. Aletta kemudian tertawa kecil. "Dokternya kekurangan job, jadi dia nyoba jadi tukang pangkas, eh, ternyata kebablasan mangkasnya, sampe semua rambutku dipotong, haha!"

Gadis itu tertawa riang. Tidak terlihat ia sedang merasakan sakit atau apapun itu. Aletta yang mana ternyata menderita kanker otak stadium empat, masih tersenyum bahagia, membuat lolucon yang sangat-sangat gelap artinya.

"Ta—"

"Sayang~. Mama datang!" Suara itu menghentikan kalimat Arvin. Perempuan yang datang dengan beberapa bingkisan terdiam.

"Eh, Arvin? Tahu ruangan Tata dari mana, sayang?" tanya Ghea yang sedang meletakkan barang begitu masuk ke ruangan Aletta.

"Dari Bi Ilah, Tante."

"Udah selesai persiapan ujian masuk univ-nya?" tanya Ghea sembari mengambil salah satu makanan lantas mendekati Aletta.

"Udah, Tante."

Ghea mengangguk. "Ini dia puding mangganya! Rendah gula. Kamu mau yang seger-seger kemarin, 'kan? Itu di tas juga ada banyak buah, terus ada makanan enak lainnya. And, Mama juga bawain wig baru!" ujar Ghea heboh.

Aletta yang sedang memakan puding mangga langsung menoleh, tersenyum bahagia cewek itu melihat bentuk rambut palsu yang dibawa Ghea.

Perbincangan hangat Aletta dan Ghea, senyuman keduanya yang tampak tanpa beban, membuat Arvin merasa semakin sedih dan sesak.

"Arvin?" Panggil Ghea. Arvin menoleh, senyuman simpul perempuan paruh baya tersebut menenangkan kegelisahan Arvin. "Tante mau bicara, bisa?" tanya Ghea.

***

Keduanya duduk di taman rumah sakit. Ghea dengan tatapan kosong menatap para pasien yang menikmati suasana di luar rumah sakit.

"Aletta mengidap penyakit itu sejak SMP di bangku pertama. Waktu itu kami hancur sekali, seperti seseorang yang rumahnya dirampas perlahan. Tapi, Aletta selalu bilang 'Tata kuat, kok'. Ya, dia membuktikan itu."

Arvin tahu, sekuat apapun Ghea menahan air mata itu, akhirnya jatuh juga. Perempuan paruh baya itu akhirnya menangis, meluapkan kesedihan yang tertahan sebelumnya.

"Dia bertahan hingga sekarang, ia bertahan, dia tetep raih ranking pertama, dia tetap ikut olimpiade, meskipun keadaannya sangat tidak memungkinkan, ketika dia didiagnosa mengidap penyakit kanker otak, itu sudah stadium tiga. Bertahan sejauh ini, Aletta sudah membuktikan perkataannya. Saya bangga akan itu."

"Selalu dia mengingatkan, penyakit itu bukan apa-apa. Jangan hanya karena penyakit itu senyuman semua orang memudar, ia benci hal itu. Karenanya, selama bertahun-tahun ini kami bersikap biasa, menganggap semua yang menjadi ujian utama hanyalah sampingan saja."

Ghea menghela napas, air matanya dihapus. Kemudian senyuman di wajah perempuan tersebut muncul. "Sekian lama Aletta bersama kami, waktu itu dia meminta sesuatu. Meminta agar kamu dijadikan jodohnya, meskipun kami tahu itu akan mustahil. Tetapi, Aletta ingin melihat kamu, Arvin. Dia ingin melihat sosok kamu yang baru."

Arvin terdiam. Ia hanya bisa mendengarkan tanpa mau menyahut atau bertanya.

"Tetapi kemudian dia menghentikan perjanjian, karena keadaan kesehatan yang sudah mencapai stadium akhir. Sangat sulit sekarang untuk Aletta bertahan. Tante sama om nggak berharap banyak, sekarang kami fokus saja pada keinginannya. Keinginan agar semua orang tersenyum bahagia.

Tetap menjalani semua aktivitas, mengabaikan kesedihan yang hanya akan menghambat. Aletta, akan bahagia jika kita bahagia. Jadi, Tante mau kamu anggap semua ini tidak pernah terjadi, tersenyumlah, jadi Arvin yang Aletta kenal."

TBC

Udah deket ending. Makasih yang baca, makasih yang vote, makasih, makasih, makasih. Sedikit dukungan itu bikin saya terdorong untuk terus lanjut muehehe. Selain itu juga karena mau nulis cerita baru sih, wkwk.

ANTAGONIS [TAMAT]Where stories live. Discover now