NING - 4

4.5K 878 93
                                    

Rambut, checked!
Dasi, checked!
Jas, checked!

"Ganteng banget! Suami siapa sih ini?" puji Ning, sambil menepuk-nepuk bahu jas Arya, setelah membantu pria itu bersiap kerja.

Kalau di sinetron atau cerita wattpad, si male lead akan menjawab, "Suaminya kamu, Sayang," saat dipancing seperti itu. Tapi pancingan itu tidak mempan bagi Nararya Hadiwinata. Lelaki itu hanya tersenyum.

"Makasih, Ning." Pria itu menunduk dan mengecup keningnya.

Sikap lelaki itu memang selalu manis. Tapi kini jika makin ditelaah, Ning makin menyadari bahwa lelaki itu tidak pernah mengatakan menyayanginya atau mencintainya. Jika diingat lagi, Arya hanya pernah mengatakan "tertarik" dan "jatuh cinta sama masakan kamu". Tidak pernah juga ada panggilan "Sayang" terucap sepanjang pernikahan mereka. Ning jadi ragu, apakah selama ini Arya pernah mencintainya?

Ning menyerahkan tas kerja Arya dan tas kecil berisi kotak bekal makan siang, lalu mengantarnya ke pintu apartemen.

"Hari ini Bapak pulang kesini kan?" tanya Ning, selagi sang suami memakai sepatunya.

"Maaf ya, nanti sore saya nggak kesini dulu."

Kesal, tapi tidak bisa menunjukkan kekesalan. Jadi Ning hanya bisa mengangguk.

Ning membukakan pintu apartemen untuk Arya. Lelaki itu melangkah keluar apartemen. Lalu sebelum pergi, lelaki itu kembali memeluk Ning dengan satu tangannya yang tidak memegang tas kerja.

"I'll miss you," kata Arya.

"Saya sekarang sudah kangen," jawab Ning.

Lelaki itu tertawa kecil dan mempererat pelukannya pada tubuh kecil itu selama beberapa saat. Setelahnya, ia tetap pamit dan pergi seperti biasa.

Kalau dipikir-pikir, dirinya makin mirip saja dengan perempuan simpanan, yang hanya dikunjungi sesekali, hanya saat diperlukan (tubuhnya). Dirinya hanya sedikit lebih baik daripada perempuan simpanan lain karena dirinya dinikahi, meski hanya nikah sirri.

Ning menunggu hingga suaminya masuk ke dalam elevator dan menghilang, sebelum beranjak berbalik dan masuk kembali ke apartemennya. Bertepatan dengan suaminya yang memasuki elevator, seorang lelaki keluar dari elevator tersebut. Ning mengenalinya sebagai tetangga apartemennya. Pintu apartemen mereka berhadapan, sehingga mereka beberapa kali saling menyapa dengan anggukan kepala atau senyuman, meski tidak pernah benar-benar saling mengenal nama.

Kali itupun Ning menganggukkan kepala sambil tersenyum kepada sosok itu, sebelum dirinya berbalik hendak masuk ke apartemennya. Tapi baru saja Ning hendak masuk ke apartemennya, ia mengurungkan niatnya karena melihat keanehan dari gerak-gerik tetangganya itu.

Tetangganya itu tampak kesulitan memasukkan passcode pintu apartemennya. Pun setelah berhasil menekan passcode-nya, pria itu justru jatuh bersandar di pintu yang terbuka.

Panik melihat orang jatuh tiba-tiba, Ning bergegas menghampiri tetangganya itu.

"Mas! Mas! Nggak pingsan kan?!" pekik Ning panik.

* * *

Ternyata tetangganya itu tadi memang nyaris pingsan. Lucunya, alasannya adalah karena kelaparan dan maag-nya kambuh. Meski Ning merasa aneh melihat orang yang pulang pagi dalam keadaan kelaparan, ia tidak banyak bertanya. Ia segera kembali ke apartemennya dan dengan cepat menyiapkan bubur.

Sang tetangga memakan bubur yang dibuat Ning dengan lahap. Ning mau geleng-geleng kepala, tapi takut dianggap tidak sopan. Jadi dia hanya mengulum senyum saja melihat orang kelaparan sedang makan.

"Makasih banyak ya Mbak. Maaf saya ngerepotin," kata sang tetangga, setelah menghabiskan bubur dan teh hangat yang dibawakan Ning. "Aduh saya jadi malu, pingsan gara-gara kelaparan," imbuhnya sambil cengengesan dan garuk-garuk kepala.

Ning juga cuma membalas dengan cengengesan. "Nggak apa-apa Mas. Nggak repot. Cuma bubur doang."

"Saya baru pulang kerja, Mbak. Ini juga cuma mau numpang mandi dan ganti baju aja, trus berangkat lagi. Saking kerjaan banyak, saya sampe lupa makan. Pas di jalan baru merasa laper dan baru inget bahwa saya terakhir makan kemarin siang."

Ning manggut-manggut. "Kalau gitu, saya pamit dulu ya Mas. Mau siap-siap berangkat lagi kan?"

"Eh ini mangkok dan gelasnya belum saya cuci, Mbak."

"Nggak apa-apa, Mas." Ning langsung mengambil mangkuk dan gelasnya, lalu berdiri dari sofa. "Saya pamit dulu ya Mas."

"Eh, aduh, makasih banyak ya Mbak."

* * *

Ning kembali ke apartemennya dan segera merapikan meja makan, lalu mencuci piring. Saat mengantarkan Arya berangkat kerja tadi, Ning memang belum merapikan meja makan.

Saat merapikan meja makan itulah Ning baru sadar bahwa sayur dan lauk yang disiapkannya pagi ini masih tersisa cukup banyak. Memasak untuk porsi 2 orang memang tidak ekonomis, capek di badan doang. Makanya biasanya Ning memasak untuk sekalian makan seharian. Ning toh tidak keberatan makan menu itu-itu lagi.

Tapi tiba-tiba saja ia teringat pada tetangganya. Barangkali makanan ini akan lebih bermanfaat bagi tetangganya yang rentan kelaparan itu. Jadi akhirnya Ning memutuskan untuk mengemas nasi, capcay, beef teriyaki dan potongan pepaya dalam kotak makan. Lalu mengunjungi apartemen tetangganya kembali.

Ning baru saja hendak menekan bel apartemen tetangga, bertepatan saat pria itu keluar dari apartemennya. Pria itu sudah rapi kembali dengan celana jeans dan kemeja lengan panjang. Ning tidak tahu pekerjaan tetangganya ini, tapi dilihat dari pakaiannya yang tidak seformal Arya, barangkali tetangganya ini bekerja di sektor non-formal.

Tanpa basa-basi Ning langsung mengangsurkan kotak bekal itu pada lelaki itu.

"Wah, ini banyak banget, Mbak!"

"Saya kebetulan masak banyak, Mas. Sekalian aja buat Mas, supaya nggak pingsan lagi. Bisa sampai makan malam, atau bisa buat makan siang bareng temen juga Mas."

Pria itu terkekeh salah tingkah sambil garuk-garuk kepala. "Aduh saya malu."

"Wadahnya nanti minta tolong dikembalikan ya Mas. Nanti saya yang cuci aja nggak apa-apa."

Sang tetangga melihat kotak bekal itu, lalu tertawa. "Ibu saya juga suka marah kalau saya ngilangin tupperware. Nggak dibukain pintu rumah. Makanya saya tinggal disini."

Mendengar itu, sontak Ning tertawa. Tetangganya ini lucu juga. Padahal sebelumnya saat bertemu, pria ini hanya mengangguk sopan santun dengan senyum secukupnya saja.

"Tenang aja. Nanti tupperware nya saya balikin. Makasih banyak ya Mbak...."

Kalimat pria itu nampak menggantung. Tapi Ning tidak segera paham. Jadi dia cuma nyengir polos saja.

"Mbak, namanya siapa? Boleh tahu?" tanya pria itu.

"Oh," Ning buru-buru mengulurkan tangannya. "Saya Ning, Mas. Kemuning. Harusnya saya memperkenalkan diri ya, sebagai yang belakangan pindah kesini."

Saat Ning menempati apartemen itu, pria itu memang sudah menempati unit di depannya lebih dahulu.

Pria itu tersenyum lebar sambil menyambut tangan Ning.

"Saya Nares, Mbak. Senang kenalan dengan Mbak Ning."

"Panggil Ning aja, Mas. Mas Nares pasti lebih tua daripada saya."

"Oh gitu ya? Mbak Ning emang umur berapa?"

"Sembilan belas tahun Mas. Mas, karena udah kerja, pasti umur dua puluh tahunan lebih kan?"

Lelaki itu mengangguk. "Dua puluh enam," katanya. "Kalau gitu, senang kenalan sama kamu, Ning!"

"Sama-sama Mas Nares!"

* * *

Hari Senin, dikit aja dulu, yg remah2 dulu aja ya, jgn yg berat2. Hehehe

SLICE OF LOVEWhere stories live. Discover now