27. Rumah Pemberi Resah Kembali Cerah

122 29 33
                                    

Sudah lama Jakarta tidak diguyur hujan. Namun, sore ini jutaan tetes air dari langit turun dengan ikhlas membasahi bumi gersang Ibukota. Memberikan sedikit sejuk seolah berusaha menenangkan hati seseorang yang sedang dilanda gundah.

Mobil Bian sudah terparkir apik di halaman rumah mewah yang dalam beberapa minggu terakhir menjadi saksi bisa kekacauan keadaan. Matanya terus menelisik, tetapi hatinya menimbang ragu untuk bisa berpijak kembali ke dalam sumber lukanya.

Bagi sebagian orang, rumah adalah tempat untuk menggugurkan segala gundah. Perengkuh jiwa sehingga luruh rusuh. Namun, bagi sebagian lagi termasuk Bian. Rumah tidak lebih dari pemberi lelah dan pengikat sesak. Terlebih bagi kesakitannya yang kini berteriak rusak.

Suara ketukan pada kaca mobilnya menyadarkan Bian, bahwa hal yang ia lakukan adalah sia-sia belaka. Detik selanjutnya, ia turunkan kaca mobil itu, sehingga terpampang nyata wajah seorang satpam yang bertugas menjaga rumahnya.

"Kenapa, Pak?" Bian bertanya normal, walaupun sekarang ia sedang berusaha menyembunyikan segala keresahannya.

"Saya khawatir loh Masnya kenapa-napa. Soalnya dari tadi gak turun dari mobil," jawab Pak Surya. Bian bisa tahu karena ia membaca lewat name tag yang ada di seragam putihnya.

Bian tersenyum canggung. Bingung memberikan respon apa untuk kekhawatiran pria yang lebih tua darinya itu.

"Atau Mas Bian gak ada payung, ya? Sini saya anterin ke terasnya," ajak satpam itu. Seolah menjadi sebuah keberuntungan bagi Bian umtuk berkilah.

"Iya, Pak. Saya cari payungnya ternyata gak ada. Makasih ya, Pak." Bian kemudian membuka seatbelt, lalu membuka pintu dan mendekatkan tubuhnya pada Pak Surya yang telah berlindung payung.

"Makasih ya, Pak," ujar Bian saat dirinya sudah sampai di teras rumah mewah itu.

"Sama-sama, Mas. Saya kembali lagi ke sana, ya." Bian mengangguk dan sejurus kemudian, Pak Surya sudah berbalik arah.

Omong-omong, sore ini Jena tidak ikut karena harus kembali ke Bandung. Bian tak mengapa, justru ia yang memaksa Jena untuk menyelesaikan urusannya. Ia takut tak bisa mengontrol dirinya dan berakhir terlihat kembali lemah di hadapan Jena. Lagi pula, Jena juga punya kehidupan pribadi selain dirinya. Jadi, biarkan kali ini waktunya digunakan untuk Jena dan kehidupannya yang lain.

Setelah mendapat kabar dari Kirana tentang ayahnya tiga hari yang lalu. Bian baru bisa memberanikan diri dan membulatkan tekad untuk datang menjenguk, sedangkan Kirana sendiri langsung menemui kakaknya untuk melihat langsung kondisinya.

Sebenarnya, ingatan tentang malam itu masih terputar jelas dalam otak Bian. Malam tentang kebohongan, pukulan, dan ingatan masa lalu bercampur dan bermuara menjadi satu kesakitan. Akan tetapi, bukan saatnya ia menggugu ingatan itu untuk kembali hadir dan merusak niat awal kedatangannya. Sebisa mungkin, Bian ingin benar-benar berdamai dan terbebas dari belenggu.

"Bian, lo pasti bisa! Lo sayang Bunda, lo sayang Brian, dan lo juga sayang sama Ayah Mama. Jangan buat mereka sedih hanya karena gue yang cuma mikirin perasaan gue doang," gumannya untuk memberikan sugesti pada dirinya sendiri sebelum kembali melangkah dan memasuki rumah itu.

Keadaan rumah sepi dan tidak ada kehangatan menyambutnya. Hanya beberapa asisten rumah tangga yang berlalu lalang mengerjakan benerapa tugasnya. Beberapa ada yang memang kenal dengan Bian dan memberikan sapaan sopan.

"Ibu lagi jaga Bapak di kamar bawah, Mas. Mas Bian bisa langsung aja masuk ke kamar." Salah satu asisten rumah tangga itu memberikan informasi.

Bian mengayunkan langkahnya perlahan, menuju salah satu daun pintu yang letaknya tidak jauh dari posisinya berdiri. Seingatnya dulu, kamar ayahnya di atas. Mungkin karena ia sudah terlalu lama tidak berkunjung, semuanya banyak mengalami perubahan.

Hello, Angel ✔Where stories live. Discover now