2. Penolong Misterius

133 5 0
                                    

Arum menangis menahan rasa sakit di kedua tangannya yang disabet rotan oleh Tiara. Gadis itu menunggu sekolah sepi agar ia bisa keluar tanpa ketahuan siapapun dalam keadaan terluka parah.

Bukan tanpa alasan, pasalnya jika ada yang menemukannya dalam keadaan terluka. Orang tersebut pasti akan menanyakan siapa pelakunya. Sementara ia tidak mungkin mengatakan dengan gamblang kalau Tiaralah pelakunya.

Ia yakin Tiara akan semakin marah padanya. Selama ini saja ia tidak pernah sekalipun menyakiti Tiara, tapi tanpa alasan yang jelas Tiara justru membully-nya setahun ini.

Namun apa daya, ternyata ia jatuh pingsan. Tak terasa langit sudah sangat gelap. Arum berjalan keluar sekolah sambil meringis menahan perih dikedua tangannya.

Malam hari ini keadaan terlihat sangat sepi. Mungkin karena habis hujan sehingga tidak banyak orang yang ingin keluar malam.

Angin dingin menerpa tubuh Arum hingga gadis itu menggigil kedinginan.

"AW!" pekiknya saat ingin menyilangkan kedua tangan di depan dada agar membuatnya sedikit hangat. Alih-alih hangat luka di tangannya justru terasa perih saat bergesekan.

"Perih banget." Arum menatap tangannya dengan tatapan ngeri.

"Wih! Ada mangsa bos!"

Seorang pria tiba-tiba muncul dari kegelapan hingga membuat Arum terkejut.

Tak terduga beberapa laki-laki dengan penampilan seperti preman muncul, menyusul temannya yang lebih dulu mendekati Arum.

"Bagi duit," ujar salah satu laki-laki yang kemungkinan berusia awal dua puluhan.

"Nggak punya bang," sahut Arum lirih.

"Nggak punya? Hahaha!" Laki-laki itu terbahak mendengar perkataan Arum.

"Seragam sekolah Luis high school nih bos, pasti banyak duitnya," celetuk laki-laki yang berada di samping si bos.

"Geledah tasnya," perintah si bos preman.

"Jangan bang, ini buku semua isinya," ujar Arum memeluk tasnya dengan erat. Karena bagi Arum buku-buku itu sangat berharga karena ayahnya sudah bersusah payah membelinya. Dan perlu diketahui kalau buku-buku itu harganya sangat mahal.

"Nggak percaya gue, siniin tasnya," ujar laki-laki yang ada di depan Arum sambil berusaha menarik paksa tas yang dipeluk erat oleh gadis itu.

Pletak!

"Njiiing! Siapa yang nimpuk pala gue pake batu?!" Laki-laki yang sedang berusaha merebut tas Arum beralih mengelus kepalanya yang baru saja dilempar batu krikil. Meskipun batu itu berukuran kecil, tapi tetap saja terasa sakit saat terbentur kepala.

Laki-laki itu celingukan. Si bos dan anak buahnya juga ikut mengedarkan pandangannya mencari siapa yang berani mengganggu mereka.

Seseorang berjalan mendekat, dan dari postur tubuhnya dia seorang laki-laki. Dia memakai jaket hitam, masker dan topi

"Hajar Gun," perintah si bos. Tanpa menunggu lama anak buahnya itu langsung maju dan memukul seseorang itu. Dan sayangnya preman itu langsung tumbang seketika.

"Maju," perintah si bos sambil mendorong anak buahnya yang lain.

Di saat preman-preman itu menghajar penyelamatannya. Arum justru memanfaatkan kelengahan preman-preman itu untuk kabur.

"Maaf," batin Arum sambil berlari menjauh.

Hosh... Hosh... Hosh...

Arum berhasil kembali ke rumahnya dengan selamat. Cepat-cepat gadis itu mencuci seragam dan mengobati luka di tangannya.

"Arum!"

"Ayah?" Arum terkejut dan langsung membereskan kotak obat lalu mengenakan sweater.

Buru-buru Arum keluar kamar menghampiri ayahnya.

Lukman duduk di kursi melepas penat setelah seharian bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik.

"Kamu masak apa hari ini Rum?"

"Maaf yah, Arum belum masak. Arum baru pulang sekolah," sahut Arum merasa bersalah.

"Yaudah, ayah mandi dulu, nanti biar ayah bantu masak biar cepet mateng," ujar Lukman dengan santainya seraya berdiri.

Arum mulai mengeluarkan bahan-bahan seadanya dari dalam lemari es. Dan tak berapa lama Lukman membantu Arum memasak.

"Mau bikin apa?"

"Capcay yah," sahut Arum.

"Kamu ulek bumbunya, biar ayah yang potong sayurnya."

Arum tersenyum sambil mengangguk.

"Ayah udah kayak chef Juna belum, Rum?" tanya Lukman. Laki-laki berusia empat puluhan itu memotong sayuran dengan cepat.

"Jauh yah, chef Juna ganteng kalo ayah jelek," sahut Arum sambil tertawa mengejek.

"Bukan wajahnya, tapi cara ayah potong sayurnya, Rum," ujar Lukman.

"Kirain wajahnya."

"Kalo wajahnya mah jauh, kayak langit sama bumi. Chef Juna ganteng kebangetan, kalo ayah mah burik." Lukman menyenggol lengan Arum.

"AW!" Arum meringis seketika.

"Kamu kenapa? Jarinya kena pisau?" cerocos Lukman panik.

"Ayah kena prank!" teriak Arum seraya tersenyum lebar.

"Kirain jari kamu kena pisau beneran." Lukman mengembuskan nafas lega.

"Hehehe... Arum lagi latihan akting yah, mau ikut ekskul teater. Keren kan akting Arum?"

"Keren banget, sampe ayah panik," sahut Lukman sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah putri satu-satunya itu.

Arum terpaksa berbohong agar ayahnya tidak tahu kalau dibalik sweater yang ia pakai terdapat luka bekas sabetan rotan dari Tiara.

Lukman mengelus puncak kepala Arum dengan tatapan bangga sekaligus sedih, karena tak hanya cantik dan pintar, ternyata anaknya juga memiliki bakat berakting. Kekurangan Arum hanya satu, yaitu gadis itu terlahir dari keluarga miskin.

ZionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang